Petinggi Anak Usaha Grup Lippo Keberatan dengan Dakwaan

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Selasa, 12 Jul 2016 09:35 WIB
Doddy yang pada 2009 menjabat Dirut Artha Pratama Anugerah, anak usaha Lippo, berkata sebagian perusahaan yang tercantum dalam dakwaan tak terkait dia.
Doddy Aryanto Supeno (kiri), salah satu petinggi anak usaha PT Lippo Group, menangis saat memeluk kerabatnya usai menjalani persidangan. (ANTARA/Muhammad Adimaja)
Jakarta, CNN Indonesia -- Terdakwa kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Doddy Aryanto Supeno yang merupakan salah satu petinggi anak usaha PT Lippo Group, keberatan dengan dakwaan jaksa penuntut umum.

"Dakwaan jaksa uraiannya kabur, tidak jelas, dan tidak lengkap," ujar kuasa hukum Doddy, Jeremy William, saat membacakan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (11/7).

Jeremy berkata, surat dakwaan tidak menyebutkan peran Doddy secara jelas dalam perkara suap yang melibatkannya. Padahal, ujar Jeremy, ada sejumlah nama lain yang juga disebutkan dalam surat dakwaan seperti Eddy Sindoro selaku Presiden Komisaris Lippo Group, Hery Sugiarto, Ervan Adi Nugroho, dan Wresti Kristian Hesti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa Eddy Sindoro memerintahkan salah satu stafnya, yakni Wresti, untuk memberikan suap pada panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution melalui terdakwa.

Suap sebesar Rp150 juta itu diberikan untuk menunda salinan putusan perkara dua anak usaha Lippo Group di PN Jakarta Pusat, yakni PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) versus PT Kwang Yang Motor Co, Ltd (Kymco), serta PT First Media melawan PT Across Asia Limited (AAL).

Doddy disebut Jeremy tak terkait dengan perusahaan yang tengah berperkara tersebut. Oleh sebab itu ia menilai surat dakwaan janggal.

Doddy, ujar Jeremy, hanya menjabat sebagai Direktur Utama PT Artha Pratama Anugerah (APA) yang merupakan anak usaha Lippo Group pada tahun 2009.

"Dalam surat dakwaan, hanya PT APA yang berkorelasi dengan Doddy. Sementara perusahaan yang lain ini terkesan diarahkan (terkait Doddy), padahal tidak ada hubungannya sama sekali," kata Jeremy.
Doddy didakwa memberi suap Rp150 juta untuk Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution terkait penanganan dua perkara anak usaha grup bisnis tersebut. Hal itu tercantum dalam surat dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 29 Juni.

Uang Rp150 juga diberikan agar Edy menunda proses pelaksanaan putusan pengadilan terkait perkara perdata yang melibatkan PT MTP dan PT AAL.

Diketahui PT MTP tak memenuhi panggilan aanmaning atau peringatan pengadilan untuk melaksanakan putusan terkait perkara perdata dengan PT Kymco. Eddy Sindoro kemudian memerintahkan Wresti mengupayakan penundaan pemanggilan tersebut.

Uang kemudian diperoleh dari Hery Soegiarto selaku Direktur PT MTP yang diberikan pada Edy melalui terdakwa di ruang bawah tanah Hotel Acacia pada Desember 2015.

Sementara itu, perkara PT AAL bermula dari putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan PT AAL pailit pada 7 Agustus 2015. Atas putusan kasasi tersebut, PT AAL memiliki waktu 180 hari untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Namun hingga batas akhir waktu tersebut, PT AAL tidak segera mengajukan PK.

Demi kredibilitas perusahaan yang tengah berperkara di Hong Kong itu, Eddy Sindoro kemudian kembali memerintahkan Wresti mengupayakan pengajuan PK ke PN Jakarta Pusat. Singkat cerita, Wresti kemudian menawarkan sejumlah uang pada Edy, disepakati jumlah sebesar Rp50 juta.

Uang selanjutnya diberikan Ervan melalui terdakwa kepada Edy di Hotel Acacia pada 20 April 2016. Tak lama setelah penyerahan uang itu, terdakwa dan Edy Nasution dibekuk petugas KPK dengan barang bukti berupa tas kertas bermotif batik yang berisi uang Rp50 juta. (agk)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER