Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tidak lagi melibatkan siswa senior dalam Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) menimbulkan beragam reaksi. Program pengganti kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) itu dibuat untuk mengantisipasi kekerasan yang dilakukan siswa senior kepada para junior yang memang terjadi di sekolah.
Dua orang alumni sebuah SMA negeri di Jakarta menyebut, kekerasan yang mereka alami justru bukan saat MOS. Lebih mengerikan lagi, mereka mengalaminya sepanjang tahun selama menjadi siswa kelas X.
Seorang alumni SMA yang menolak disebut namanya mengatakan, selama enam bulan pertama sekolah, siswa kelas X tidak berani menginjakkan kaki di kantin. Alasannya, jalan menuju kantin dan kantin itu sendiri telah ditunggui para senior kelas XII yang selalu melakukan kekerasan, fisik maupun verbal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak sedikit siswa kelas X salah satu sekolah di Jakarta Selatan itu yang membawa makanan dari rumah agar tidak perlu pergi ke kantin untuk mengisi perut. Tapi tetap masih ada pula siswa yang memberanikan diri pergi ke kantin.
“Aku pernah ke kantin dan ditanya sama kelas XII mau ke mana. Terus mereka nitip, ngasih uang Rp1.000 tapi nitip jajanan seharga Rp11.000. Udah gitu minta kembalian juga Rp10.000. Cara malaknya begitu,” tuturnya saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Rabu (13/7).
Bukan hanya itu, siswa kelas XII juga selalu meminta disediakan uang dengan nominal ratusan ribu per hari per kelas. Jumlah itu membuat setiap siswa di kelas X, masing-masing sebanyak 40 orang, harus menyetorkan uang secara rutin dalam jumlah tertentu hingga terkumpul sebesar yang diminta senior.
“Semua kelas X diwajibin kolekan setiap hari. Uang itu kadang buat beli sepatu buat anak kelas XII atau kadang buat tawuran. Yang harus kolekan cuma anak kelas X, kelas XI enggak,” ujarnya.
Seorang alumni lainnya bercerita, siswa kelas XII selalu memerintahkan siswa kelas X dan kelas XI untuk berkelahi satu sama lain. Pada waktu-waktu tertentu, siswa kelas XII akan mencari jagoan di kelas X untuk diperintah agar melawan jagoan dari siswa kelas XI.
“Nanti anak kelas X dan kelas XI berantem, terus anak kelas XII malah tepuk tangan dan bersorak senang,” tuturnya.
Kekerasan brutal lainnya yang dilakukan senior di sekolah itu, lanjut sang alumni, adalah saat pelantikan untuk meresmikan nama pada setiap angkatan. Kekerasan terutama ditujukan kepada siswa laki-laki kelas X yang dikumpulkan di tempat tertentu oleh senior kelas XII.
Setelah dikumpulkan, para siswa kelas X itu diberi nama tertentu yang buruk dan kemudian dipanggil satu per satu untuk menerima pukulan di wajah. Tak tanggung-tanggung, para senior membawa sarung tinju hingga sandal bakiak untuk memukul wajah siswa kelas X tersebut.
“Selain itu, pernah juga aku lihat anak kelas XII menyuruh baris anak kelas X di tangga dan mereka digampar-gamparin gitu aja enggak tahu kenapa,” ceritanya.
Kekerasan tersebut belum termasuk yang verbal ketika para senior perempuan mengomentari penampilan fisik siswi junior. Mulai dari model rambut yang tidak boleh terlihat cantik, seragam sekolah yang harus kebesaran, hingga pemberian nama-nama yang merendahkan.
Bentuk kekerasan lainnya juga tak kalah mengerikan: siswa perempuan kelas X yang disukai siswa laki-laki kelas XII harus mau menjadi pacar. “Enggak bisa nolak kalau diminta jadi pacar. Dan enggak ada yang nolak juga meskipun cowoknya gimana gitu, dari pada kenapa-kenapa,” katanya.
Atas segala kekerasan verbal dan nonverbal siswa senior terhadap juniornya itu, dia yakin pihak sekolah sebenarnya mengetahui. Namun entah karena alasan apa, para guru mengabaikan hal itu.
Dia meyakini guru mengetahui hal itu lantaran pernah ada seorang siswa laki-laki kelas X yang dipukuli hingga rahang mulut dan giginya bergeser. Orang tua siswa tersebut mendatangi sekolah namun tidak ada langkah yang dilakukan.
“Anak yang dipukul itu malah keluar dari sekolah, padahal waktu itu sekolah baru mulai dua bulan,” tuturnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Menengah Kemdikbud Hamid Muhammad membenarkan banyak titik kelamahan pada pelaksanaan MOS karena kegiatannya tidak berorientasi penyiapan siswa belajar di tempat baru, melainkan lebih kepada perpeloncoan.
“Setiap tahun selalu saja ada kekerasan oleh siswa kepada siswa lain. Jadi cara-cara kekerasan dalam pelantikan atau orientasi siswa itu adalah cara lama yang tidak boleh lagi terjadi,” kata Hamid.
(rdk)