Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, ingin mempercepat proses revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembahasan mengenai revisi tersebut dibahas dalam pertemuan di Kantor Kemenpolhukam, Jakarta, Jumat (15/7), bersama Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dan Jaksa Agung HM Prasetyo.
"Kami ingin mempercepat proses revisi UU antiteror, itu tadi kami bicarakan," ujar Luhut.
Luhut menjelaskan, dia telah bertemu dan berdiskusi dengan sejumlah anggota DPR menyampaikan kekhawatiran agar jangan terlalu lambat dalam penyelesaian draf revisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Tito Karnavian mengatakan, Polri perlu mendapat dukungan dari TNI dan Badan Nasional Penamggulangan Terorisme (BNPT) dalam melakukan tindakan pra pencegahan, kontra ideologi, serta kontra radikalisasi.
“Polri akan menegakan hukum semaksimal mungkin seperti mendorong langkah soft dalam penanganan terorisme,” ujar Tito.
Pemerintah bersama DPR telah sepakat untuk merevisi UU 15/2003 untuk memudahkan aparat penegak hukum melakukan upaya preventif pencegahan terorisme. Kesepakatan ini dicapai setelah aksi teror yang lolos dari radar intelijen sehingga meledak bom di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari lalu.
Salah satu fokus pemerintah dalam draf revisi tersebut yaitu keberadaan Pasal 43B yang dianggap kontroversial sehingga harus diatur kembali. Pasal 43B berpotensi mengembalikan peran TNI dalam pemberatasan terorisme yang justru bertentangan dengan semangat reformasi.
Human Rights Working Group (HRWG) memiliki sejumlah catatan kritis terhadap pasal-pasal dalam draf revisi UU tersebut. Pasal 25 RUU yang membolehkan perpanjangan masa tahanan, tuntutan, dan proses peradilan; penghapusan izin penyadapan dari pengadilan negeri dan tidak ada prosedur pengawasan yang diatur dalam Pasal 31 RUU; serta penempatan terduga teroris di tempat tertentu yang termuat dalam Pasal 34A RUU, yang justru bertentangan dengan semangat penghukuman antipenyiksaan.
HRWG mengingatkan pemerintah dan DPR bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyepakati sejumlah resolusi yang mengaskan keutamaan prinsip HAM dalam penanganan terorisme. Pemberantasan terorisme sebagai musuh bersama, kata HRWG, tak bisa digunakan sebagai justifikasi untuk melakukan tindakan brutal oleh penegak hukum.
Sementara itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut, pemerintah perlu memasukkan pasal mengenai hak korban dari aksi terorisme. Permintaan disampaikan karena revisi UU 15/2003 terlalu fokus pada penanganan pelaku dan terduga pelaku teror.
(rdk)