Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, pemberian sanksi berupa pencabutan kewarganegaraan bagi terpidana teroris tidak perlu diatur. Sanksi tersebut disebutkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurutnya, aturan yang tertuang dalam pasal 12B ayat 4 sampai 6 tersebut juga cenderung timpang dan melanggar hak asasi manusia.
"Tapi kalau Pemerintah dan DPR memaksa pencabutan kewarganegaraan tetap diatur maka hanya bisa dilakukan dengan mekanisme pengadilan," kata Al Araf di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada pasal 12B ayat 1 sampai 3 dijelaskan, kriteria orang yang mendapat pencabutan kewarganegaraan jika terbukti, diantaranya adalah yang memberikan, mengikuti, menyelenggarakan pelatihan militer baik dalam dan luar negeri.
Selain itu, orang yang mengumpulkan, menyebarluaskan dokumen pelatihan juga termasuk terkena pencabutan kewarganegaraan. Orang yang bermaksud melepaskan wilayah di negara lain, juga terkena sanksi ini.
Al Araf menegaskan mekanisme pencabutan kewarganegaraan tidak boleh melalui aparat pemerintah seperti imigrasi. Menurutnya hanya mekanisme sistem peradilan yang boleh melakukan pencabutan.
Wakil Ketua Panitia Khusus revisi UU Antiterorisme Hanafi Rais mengatakan, sanksi pencabutan kewarganegaraan merupakan opsi terakhir. Menurutnya, sanksi ini masih jadi pertimbangan.
"Kalau ingin lakukan pemberantasan teror, pencabutan ini jadi opsi terakhir. Mungkin bukan jalan keluar melihat perkembangan saat ini," kata Hanafi.
Hanafi berharap, terduga teroris tidak lantas dibinasakan dengan berbagai cara setelah tertangkap. Dia menduga ada 'pesanan' dari Amerika Serikat maupun PBB dalam beberapa pasal di draf revisi UU Antiterorisme ini.
(sur)