Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti pasal yang mengatur penangkapan dan penahanan terhadap terduga teroris dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah mengatakan, beleid yang tertuang dalam Pasal 43A itu berpotensi melanggar hak asasi terduga teroris yang tertangkap.
"Karena semua orang yang kemudian ditangkap, dicabut kemerdekaannya, harus melalui prosedur hukum, harus tahu kenapa dia ditangkap dan semua hak-haknya yang mengikuti tetap harus dilindungi," ujar Roichatul di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (9/6).
Dalam beleid tersebut mengatur penyidik atau penuntut dapat mencegah terduga teroris dengan dibawa atau ditempatkan dalam wilayah tertentu selama enam bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain persoalan itu, Komnas HAM mengusulkan agar ada badan pengawas dalam mengawasi kinerja penanganan tindak pidana terorisme. Meski, kata dia, lembaga ini tidak harus berbentuk badan baru.
Roichatul melihat revisi UU Antiterorisme terlalu menitikberatkan kepada penindakan daripada pencegahan. Pencegahan berupa deradikalisasi juga dinilainya masih salah kaprah.
Sebab, selama ini menurutnya deradikalisasi tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang radikal. Namun juga keluarga dari terduga teroris yang sudah tertangkap.
"Komnas HAM memandang, deradikalisasi hanya dilakukan pada orang yang radikal. Tidak bisa kepada keluarganya atau orang tertentu yang diduga," ujar Roichatul.
Sebelumnya, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai ada upaya paksa penahanan yang melebar jadi 450 hari pada terduga teroris sebelum persidangan.
Berdasarkan KUHAP, Erasmus menambahkan penangkapan hanya dilakukan dalam waktu sehari, setelahnya penyidik menentukan levelnya dapat dijadikan tahanan atau tidak. Penangkapan pun hanya membutuhkan dua alat bukti terhadap tersangka.
(yul)