Jakarta, CNN Indonesia -- Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan situasi di wilayah mereka pascainsiden di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I, Jalan Kusumanegara, telah normal.
“Yogya tetap aman dan kondusif,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda DIY, AKBP Any Pudjiastuti, kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (20/7).
Rilis resmi Polda DIY menyatakan warga Yogya tak rasis, apalagi menolak orang Papua. “Pada tanggal 15 Juli pun, warga DIY menggelar aksi bunga di Titik Nol dengan tema ‘Kitorang Jogja Cinta Papua.’ Aksi tandingan ini untuk menepis isu-isu miring.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, menurut Polda DIY, teriakan sejumlah orang yang bernada SARA pada 15 Juli itu bukan ditujukan kepada mahasiswa Papua, melainkan terhadap “unsur separatis.”
Seruan-seruan rasialis dan lontaran nama-nama binatang terdengar ketika Asrama Mahasiswa Papua dikelilingi sejumlah organisasi masyarakat dan petugas polisi Jumat pekan lalu (15/7). Ucapan-ucapan itu, menurut para mahasiswa yang berada dalam asrama, berasal dari anggota ormas yang ramai-ramai datang ke asrama.
Total ada sekitar 100 orang anggota ormas, gabungan dari Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri Indonesia, Pemuda Pancasila, Paksi Katon, dan Laskar Jogja.
“Sungguh, mereka katakan, teriakkan itu di depan saya punya mata dan telinga. Kepada kami, mahasiswa Papua, masyarakat Papua,” ujar seorang mahasiswa Papua yang tak mau namanya disebutkan karena alasan keamanan.
Polda DIY menyatakan, pengerahan pasukan ke asrama bukan untuk mengepung mahasiswa Papua, melainkan mengantisipasi keributan di tempat umum antara para mahasiswa itu dengan sejumlah ormas antiseparatis yang datang ke sana.
“Petugas mengupayakan aksi digelar di dalam asrama,” ujar Polda DIY.
Sebelumnya, para mahasiswa Papua yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat berencana menggelar
long march dari asrama ke Titik Nol KM sebagai bagian dari aksi damai mendukung Gerakan Pembebasan Papua (
United Liberation Movement for West Papua, UWLMP) menjadi anggota penuh
Melanesian Spearhead Group (MSG).
MSG ialah organisasi lintas pemerintah di kawasan Pasifik Selatan yang terdiri dari empat negara Melanesia, yakni Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu. Melanesia merupakan ras penduduk Papua.
Namun kedatangan aparat yang kemudian mendorong mahasiswa masuk ke dalam asrama, membuat aksi tersebut batal dilakukan.
Terkait tudingan represif yang diarahkan kepada institusi Kepolisian, Polda DIY membantah. Menurut mereka, penangkapan dilakukan bukan tanpa alasan.
“Saat melakukan
sweeping di area belakang asrama Kamasan, ditemukan enam warga Papua bersepeda motor yang masih berada di luar, dan ada yang membawa panah. Saat hendak diberi pengarahan dan ditanya surat identitas serta SIM, mereka malah lari dan ada yang memukul tugas. Mereka juga tidak bisa menunjukkan SIM. Maka diamankan.”
Terkait senjata, mahasiswa di dalam asrama berkata, para anggota ormaslah yang datang membawa senjata seperti kayu dan linggis.
 Aparat Kepolisian saat mengepung Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, Jumat 15 Juli. (Dok. Dodok Putra Bangsa) |
Pulang ke PapuaPascainsiden di Asrama Kamasan itu, menurut Ernawati dari gerakan prodemokrasi di Yogya, warga Papua masih merasa tak nyaman.
“Mereka merasa tidak aman. Isu-isu rasilias tak hilang, terlebih Sultan mengeluarkan
statement keras soal separatis. Di jalan, mereka masih diteriaki kata-kata rasialis,” kata Erna yang sehari-hari berkomunikasi dengan para mahasiswa Papua itu.
Kemarin, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X berkata, tiap tahun ia selalu mengingatkan kepada orang Papua di Yogya agar jangan melakukan aksi separatisme. Pun kali ini, Sultan meminta kepada orang Papua yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia, agar tidak mengusung aspirasi separatisme.
Bagi yang ingin berpisah dari Republik Indonesia, Sultan meminta mereka untuk tak tinggal di Yogya.
“Mereka (mahasiswa Papua) mempertimbangkan untuk pulang ke Papua, melanjutkan sekolah di sana. Mereka akan lihat situasi dulu. Kalau di sini terus terancam, amat mungkin mereka pulang,” kata Ernawati.
Hingga saat ini, ujarnya, umpatan atau ucapan bernada pengusiran terhadap orang Papua masih muncul dari pihak tertentu. Salah satu mahasiswa Papua di Yogya berkata, mereka masih akan mencari solusi.
Terkait ucapan Sultan, Ernawati menyebut Yogya sendiri pernah menuntut kemerdekaan. “Yogya dihuni sebagian warga yang separatis, pernah menuntut merdeka, bahkan sempat siap-siap bikin paspor Yogya.”
September 2015, Sri Sultan Hamengkubuwono X diadukan Ketua Gerakan Anak Negeri Anti-Diskriminasi, Willie Sebastian, ke Presiden Joko Widodo atas tudingan separatisme "hanya" karena soal tanah. Saat itu Willie berkata, Sultan ingin menguasai tanah milik negara dan karenanya menyalahi aturan pertanahan.
Sementara soal Papua, Ernawati mengatakan semua itu tak lepas dari sebab akibat. “Jika tak ingin Papua merdeka, jangan lakukan pelanggaran hak asasi manusia di Papua.”
Berbagai kasus kekerasan di Papua yang tak terungkap sampai sekarang, ujarnya, membuat rakyat Papua merasa resah, dan mestinya itu dijawab oleh pemerintah Republik Indonesia bukan dengan kekerasan pula.
Pertengahan Juni lalu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan telah membentuk tim terpadu untuk mempercepat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat.
Tim terpadu tersebut, menurut Luhut, bertugas membuat kriteria pelanggaran HAM dengan imparsial dan terukur.
Menurut Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai, dalam satu tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, lembaganya mencatat terjadi berbagai pelanggaran HAM, termasuk penangkapan, penganiayaan, dan penyiksaan, terhadap sedikitnya 700 orang Papua.
(agk)