Jakarta, CNN Indonesia -- Penolakan pemerintah Republik Indonesia atas rekomendasi putusan Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan (
International People's Tribunal on Crimes Against Humanity, IPT) 1965 mendapat cibiran dari pihak korban.
Salah satu korban, Martin Aleida, mengatakan pemerintah tak bisa menghindar dari putusan IPT 1965 yang digelar di Den Haag, Belanda, 10-13 November 2015 itu. Sebagai negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa, ujar Martin, Indonesia akan didesak dunia internasional untuk menyelesaikan tragedi yang disebut hakim IPT 1965 sebagai genosida.
“Pemerintah akan terkepung, karena Indonesia masuk PBB. Kalau masuk dalam sistem PBB, walaupun lambat pemerintah akan terjebak,” kata Martin usai pemutaran video putusan persidangan IPT 1965 di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (20/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Martin, pemerintah Indonesia tidak mungkin mengabaikan putusan IPT 1965 karena dunia internasional akan menyorot. IPT memiliki wakil di tiap negara di berbagai belahan dunia seperti Belanda, Australia, Inggris, Jerman, Swedia, Perancis, Belgia, Kanada/Amerika Serikat, Skotlandia, dan Thailand.
Martin menegaskan, putusan hakim IPT 1965 bukan meminta pemerintah Indonesia minta maaf kepada Partai Komunis Indonesia, melainkan hanya merekomendasikan agar pemerintah meminta maaf kepada korban, menghentikan impunitas, dan menceritakan peristiwa sebenarnya yang terjadi pada masa itu.
“Jadi tidak ada hubungannya dengan PKI,” kata Martin.
Menurut mantan wartawan Harian Rakyat yang berafiliasi dengan PKI itu, penyelesaian Tragedi 1965 merupakan masalah pemulihan peradaban bangsa. Dengan meminta maaf kepada korban, ujar Martin, dunia akan memandang Indonesia sebagai negara yang memberikan perhomatan tinggi terhadap hak asasi manusia.
[Gambas:Video CNN]Tak mengikatKoordinator Yayasan IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana berkata, sebelum mengeluarkan putusan, hakim ketua menganalisis fakta-fakta yang disajikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
“Jadi tidak valid jika pemerintah mengatakan bahwa IPT 1965 ini tidak sesuai dengan sistem hukum Indonesia. Apalagi ini sifatnya rekomendasi,” kata Nursyahbani.
Namun ia mengakui putusan IPT 1965 tak memiliki kekuatan memaksa untuk dilaksanakan pemerintah RI. Wewenang hakim diperoleh dari otoritas moral para korban, pegiat hak asasi manusia, dan peneliti.
Maka, ujar Nursyahbani, suatu negara yang tidak mengindahkan kesepakatan internasional akan mendapat sanksi sosial dan moral.
“Hampir semua mekanisme HAM, kecuali
International Criminal Court, sanksinya pemberian rasa malu kepada suatu negara yang tidak mengindahkan kesepakatan-kesepakatan internasional,” ujar kata dia.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan menolak putusan IPT 1965. Menurutnya, Indonesia memiliki sistem hukum sendiri yang tidak dapat diintervensi negara asing dan lembaga asing.
"Mereka (IPT) kan bukan atasan kami. Indonesia punya sistem hukum sendiri. Saya tidak ingin orang lain mendikte bangsa ini," ujar Luhut di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (20/7), pada saat yang sama dengan pembacaan putusan IPT 1965.
Luhut pun mengatakan, akan menanggapi keras pihak manapun yang berupaya memengaruhi prinsip hukum dan sikap pemerintah atas Tragedi 1965.
(agk)