Jakarta, CNN Indonesia -- Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan dia belum menerima surat permohonan grasi atau pengampunan terpidana mati Merry Utami. Dia menjelaskan, setiap surat yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo akan ditembuskan kepada dia dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
"Sampai sekarang saya belum mengetahui itu. Kalau ada, kami pasti tahu. Mungkin lagi di staf, saya tidak tahu," kata Pramono di Kantor Sekretaris Kabinet, Jumat (29/7).
Sebelumnya, kuasa hukum Merry Utami, Troy Latuconsina berencana mengajukan grasi kepada Jokowi agar kliennya bisa terbebas dari hukuman mati atas perkara penyelundupan 1,1 kg heroin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merry merupakan mantan pekerja migran yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang diduga dilakukan mantan suaminya. Pada 2001, Merry diduga menjadi korban perdagangan orang dan akhirnya terjebal dalam sindikat narkoba internasional.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mengirimkan permohonan penundaan eksekusi Jokowi agar Merry dapat mengajukan grasi.
Mereka meminta perbaikan penyelidikan seperti memperbaiki sistem investigasi, penanganan terhadap perempuan, terutama korban perdagangan orang yang dijebak menjadi kurir narkoba.
Merry sebelumnya masuk daftar 14 orang yang sedianya dieksekusi dini hari tadi. Namun, Merry tak jadi dieksekusi. Kejaksaan Agung akhirnya hanya mengeksekusi empat orang.
Pramono enggan menanggapi lanjut pertimbangan itu dan kelanjutan nasib Merry.
"Mengenai jumlah atau masih (akan dieksekusi) ini sepenuhnya kewenangan ada pada Jaksa Agung," kata mantan Wakil Ketua DPR ini.
Pertimbangan PemerintahSelain Komnas Perempuan, Mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie juga meminta Jokowi meninjau kembali hukuman mati kepada para sejumlah terpidana hukuman tersebut.
Menanggapi itu, Pramono menuturkan, berbagai masukan menjadi catatan pertimbangan pemerintah. Dia mengatakan, eksekusi bukan hal menggembirakan yang dilakukan pemerintah.
"Tentu dipertimbangkan pemerintah. Semua yang inkrah dan dilihat tidak ada upaya 'perbaikan' maka kewenangan ktu dilakukan jaksa agung," kata mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan ini.
Dalam keterangan tertulis, Habibie menyampaikan, berdasarkan laporan advokat dan lembaga swadaya masyarakat, salah seorang terpidana yakni Zulfikar Ali ternyata tidak bersalah.
Sehingga dia mengimbau Jokowi mempertimbangkan kembali moratorium kebijakan hukuman mati. Hal tersebut, sambung Habibie, dikarenakan lebih dari 140 negara sudah menetapkan atau menghapus kebijakan tersebut.
Zulfikar Ali juga merupakan satu dari 10 terpidana mati yang tidak dieksekusi tadi. Empat terpidana yang dieksekusi ialah Freddy Budiman (37, WNI), Michael Titus (34, Nigeria), Humprey Ejike (40, Nigeria), dan Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane (34, Afrika Selatan). Keempat terpidana tersebut sudah mengajukan dua kali PK dan ditolak oleh Mahkamah Agung.
(asa)