Mahasiswa, Simbiosis Mutualisme Yogya-Papua

Anggi Kusumadewi | CNN Indonesia
Rabu, 10 Agu 2016 12:39 WIB
Aliansi Mahasiswa Papua melontarkan ancaman eksodus. Migrasi massal mahasiswa tak sepele. Kantor Staf Presiden langsung mencari tahu situasi di Yogya.
Aliansi Mahasiswa Papua melontarkan ancaman eksodus. (CNN Indonesia/Joko Panji Sasongko)
Yogyakarta, CNN Indonesia -- Spanduk merah terbentang di halaman Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I Yogyakarta. Tulisan pada spanduk itu berbunyi, “Warga Papua ‘Separatis’ di Seluruh Pulau Jawa Siap Pulang.”

Siapapun yang melihat spanduk tersebut bisa langsung mengernyitkan dahi. “Arep muleh toh? Lek muleh numpak opo? Larang ra tikete?” kata seorang pedagang angkringan yang berjualan di sekitar Asrama Papua, kawasan Miliran, Yogya, melontarkan rentetan pertanyaan polos.

Saat itu sekitar sepekan setelah insiden di Asrama Kamasan. Hati para penghuni asrama masih panas. Mereka geram dengan ucapan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang meminta kepada pengusung aspirasi separatisme untuk tak tinggal di Yogya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kami sudah menggelar rapat koordinasi. Kami telah membuat kesepakatan, dan menyatakan sikap untuk kembali ke Papua,” kata Roy Karoba, pengurus Biro Politik Aliansi Mahasiswa Papua –organisasi yang mengusung tuntutan referendum bagi Papua dalam tiap aksinya.

Ancaman itu cukup mengagetkan. Migrasi massal mahasiswa dari Yogya yang dikenal luas sebagai kota pendidikan, tempat bertemunya para pelajar dari berbagai penjuru negeri ini, bukan perkara sepele.

Kantor Staf Presiden langsung menghubungi dosen di Yogya, mencari tahu soal seberapa serius ancaman pulang itu digulirkan. Staf khusus presiden juga dikirim ke Yogya untuk menemui sejumlah mahasiswa Papua guna mengetahui keluh kesah dan kesulitan mereka di kota itu.

Tak semua mahasiswa Papua di Yogya ikut dalam pertemuan itu. Mereka yang hadir berasal dari berbagai universitas. Namun para pentolan Aliansi Mahasiswa Papua tak termasuk di dalamnya.

Ancaman Aliansi Mahasiswa Papua tak cuma menimbulkan kepanikan pemerintah pusat, tapi juga Pemerintah Provinsi Papua. Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua terbang ke Yogya untuk berdialog dengan para mahasiswa. Gubernur Papua Lukas Enembe yang sedang sakit pun mempercepat rencana kunjungannya ke Yogya dari pertengahan Agustus menjadi awal bulan.
[Gambas:Video CNN]

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai yang lulusan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa AMPD Yogya mengatakan, sebagian mahasiswa Papua berpendapat mereka bukannya tak berkontribusi sama sekali untuk Yogya.

“Ada pandangan bahwa mereka adalah investor yang datang ke Yogya tidak dengan cek kosong, tapi membawa uang. Satu orang bisa menghabiskan Rp30 juta per tahun di Yogya. Sementara ada banyak mahasiswa Papua di Yogya,” kata Pigai.

Dosen AMPD Tri Agus Susanto memperkirakan mahasiswa Papua di Yogya sekitar 8.000 orang. Namun jumlah itu tak pasti karena berubah-ubah tiap tahunnya. Kampus AMPD sendiri 40 persen mahasiswanya berasal dari Indonesia timur, terutama Papua dan Nusa Tenggara Timur.

Dengan jumlah mahasiwa Papua sebanyak itu di Yogya, ujar Agus, tak mungkin semua ingin pulang, terlebih mereka yang kuliah dengan dana beasiswa dan tinggal menyelesaikan tugas akhir.

“Mereka mungkin emosi. Tapi implementasinya akan sulit karena karakter dan latar belakang mahasiswa Papua pun beda-beda. Apa mungkin mahasiswa pascasarjana Ilmu Pemerintahan yang dapat beasiswa dari Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, atau mereka yang menerima beasiswa LPMAK (Lembaga Pengembangan Amungme dan Kamoro) dari Freeport, mau meninggalkan kuliahnya di Yogya?” kata Agus.

Pegawai negeri sipil Papua penerima beasiswa pemerintah kabupaten biasanya berorientasi “yang penting cepat lulus untuk kembali bekerja di daerah.”

Para mahasiswa Papua penerima beasiswa juga pemasukan cukup besar bagi Yogya. Pengeluaran mereka di atas standar, jauh berbeda dengan rata-rata mahasiswa.

“Jika awal bulan saja, mereka belanja sampai dua troli. Padahal kebanyakan mahasiswa hanya menenteng keresek,” ujar Agus.

Ia berkata, mahasiswa merupakan aset berharga Yogya. “Mahasiswa adalah wisatawan paling menguntungkan, karena tinggal di Yogya kurang lebih lima tahun, menghidupi orang Yogya dengan makan di angkringan dan lain-lain, menggerakkan roda perekonomian. Multiefek.”

“Jadi saya tidak bisa membayangkan kota ini tanpa mahasiswa. Ada 300 ribu mahasiswa baru per tahun,” kata Agus.

Hikayat kota pelajar

Yogya, sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia, menjadi salah satu wilayah pendidikan di negeri ini. Sri Sultan Hamengkubuwono IX mempersilakan anak-anak Indonesia datang ke Yogya untuk bersekolah. Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh warga Yogya, dan kerap dianggap anak sendiri oleh induk semangnya.

Sejarah kota pendidikan tak lepas dari peran Yogya sebagai salah satu pusat perjuangan kemerdekaan. Kala Jakarta diserang Belanda usai Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya kepada dunia, Presiden Sukarno memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta. Selama tiga tahun, Januari 1946-Desember 1949, Yogya menjadi pusat pemerintahan Indonesia.

Saat ibu kota dikembalikan ke Jakarta, peran Yogya tak lantas redup. Pemerintah membangun Universitas Gadjah Mada di Yogya sebagai penghormatan. Para pejuang Republik yang rata-rata pelajar putus sekolah lantas berkuliah di sana. Maka pada masa itu, ke kampus dengan menenteng senjata adalah hal biasa.

Universitas Gadjah Mada dibangun pemerintah sebagai penghormatan atas jasa Yogyakarta selama perjuangan kemerdekaan. (Detikcom/Bagus Kurniawan)
Mahasiswa Papua, menurut seorang peneliti di Yogya, baru masuk ke kota itu sekitar tahun 1970-an, berbeda dengan sebagian pelajar daerah lain yang sudah lebih dulu menjejak Yogya pada 1940 atau 1950-an. Puncak gelombang mahasiswa Papua menuju Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat terjadi tahun 1990-an sebagai bagian dari komitmen pemerintah Indonesia memajukan mereka.

Yogya sendiri, ujar Ernawati dari Forum Solidaritas Yogya Damai, memiliki motif ekonomi dengan membangun fasilitas pendidikan dan mendatangkan pelajar dari seluruh Indonesia. Yogya ingin menaikkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

“Mahasiswa dari berbagai daerah didatangkan, asrama-asrama dibangun. Papua punya tujuh asrama di Yogya. Daerah-daerah lain juga punya asrama di sini. Mahasiswa menghasilkan dana cukup besar,” kata Ernawati.

Asrama dibangun bukan hanya oleh pemerintah provinsi, melainkan juga pemerintah kabupaten/kota. Tak kurang dari 30 provinsi di Indonesia memiliki asrama mahasiswa di Yogya. Total ada sekitar 73 asrama mahasiswa dari berbagai daerah yang didirikan di Yogya oleh pemerintah daerah masing-masing.

Sementara perguruan tinggi di Yogya kurang lebih berjumlah 136. Berdasarkan catatan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, kuantitas mahasiswa di perguruan tinggi swasta di Yogya saja selalu bertambah tiap tahun. Dari 170 ribu orang pada 2009 menjadi 222 ribu orang pada 2014.

Jumlah keseluruhan mahasiswa di Yogya, baik perguruan tinggi maupun swasta, tiga tahun lalu, 2013, ada sekitar 310 ribu orang pelajar. Dari angka itu, hampir 79 persen atau 245 ribu orang di antaranya merupakan mahasiswa perantau dari luar Yogya.
Dulu, menurut seorang pendatang yang kini menetap di Yogya, sistem indekos tak seperti sekarang. “Misalnya saya kos, saya jadi bagian dari orang rumah itu, keluarga itu. Mereka anggap saya anak sendiri, dan biasa memarahi saya.”

Yogya terus didatangi pelajar salah satunya karena keakraban yang terjalin antara induk semang dengan para anak kos. Tak jarang ada anak kos yang diambil menjadi menantu lantaran sudah cocok dengan keluarga itu, tentu juga dengan putri atau putra si ibu kos.

“Sekian tahun pemilik rumah dan anak kos di Yogya menyatu. Tapi makin ke sini, cara berpikir pemilik kos sudah berubah. Generasi berikutnya lebih perhitungan. Banyak pula kos yang dibangun terpisah dari pemiliknya sebagai investasi. Anak kos tidak lagi seatap dengan induk semang karena komersialisasi itu.”

Jadi jika ada yang mengatakan mahasiswa Papua tidak berbaur, ujarnya, nyatanya nyaris semua mahasiswa di Yogya sekarang tidak berbaur.

“Sudah beda dengan generasi saya. Kalau dulu saya diajak kerja bakti, meski malas harus ikut karena yang menyuruh ibu kos. Sekarang tidak begitu lagi. Mahasiswa Banjar, Medan, apa selalu ikut gotong royong di sini? Tidak juga. Sama saja dengan mahasiswa Papua. Cuma mereka diuntungkan warna kulit. Ikut atau tak ikut ya tak mencolok.”

Dengan simbiosis mutualisme antara mahasiswa dan warga setempat, serta realitas heterogen di sekitar, penting bagi Yogya yang menyandang titel sebagai kota pendidikan, untuk kembali menyemarakkan iklim pluralisme.
(agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER