Bali, CNN Indonesia -- Selama puluhan tahun Wayan Suwiti, 47 tahun, setiap hari menapaki jalan terjal dan curam sejauh 1,5 kilometer untuk mengambil air buat kebutuhan rumah tangganya. Dia mengambil air dua kali dalam sehari biasanya sembari memandikan anak dan mencuci pakaian.
“Saya membawa satu ember besar sedang tiga anak saya membawa botol-botol bekas ukuran kecil diisi air,” kata Suwiti, beberapa waktu lalu di Banjar Bukian, Desa Pelaga, Kabupaten Badung, Bali.
Aktivitas Suwiti dilakukan juga ratusan perempuan yang tinggal di Banjar Bukian dan Banjar Kiadan, Desa Pelaga, Bali. Para perempuan bertugas mengambil air untuk kebutuhan minum dan memasak, sementara para pria bekerja di kebun dan ladang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga Banjar Bukian hanya mengandalkan Sungai Penataran karena mereka tidak mampu mengebor sumur. Desa Pelaga ini terletak di ketinggian sekitar 950 meter di bawah permukaan laut dan membutuhkan penggalian sumur hingga kedalaman hingga 800 meter untuk mendapatkan air.
Air yang sulit didapat ini membuat masyarakat memprioritaskan penggunaan air untuk memasak. Akibatnya, keperluan sanitasi kurang mereka perhatikan. Penduduk Banjar Bukian dan Kiadan terpaksa buang air besar sembarangan (BABS) akibat kesulitan mendapatkan air.
Kebiasaan buang air besar di lahan dan pekarangan sekitar tempat tinggal mengakibatkan penduduk Banjar Bukian pernah mengalami bencana muntaber besar-besaran sekitar tahun 1980an.
“Tidak ada korban jiwa, namun semua penduduk terkena muntaber,” kata Kelian Banjar Bukian, Wayan Debot.
Kebiasaan buang air besar sembarangan ini menyebabkan pencemaran bakteri E. coli ke dalam tanah dan mempengaruhi kualitas air. Apalagi, Banjar Bukian dan Kiadan, bagian dari Desa Pelaga merupakan daerah resapan air Daerah Aliran Sungai (DAS) Ayung yang terletak di bagian hulu.
Kondisi ini mendorong PT. Tirta Investama, penghasil produk air mineral merk Aqua, bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat Janma mengembangkan program Water Access, Sanitation and Hygiene (WASH).
Lewat program ini masalah kesulitan mendapatkan akses air bersih di Banjar Bukian dan Kiadan diatasi dengan mengajak serta masyarakat membangun sistem pompa hidram air pada 2013.
Pompa hidram ini dirancang oleh penemu asal Perancis, Josephem Montgolfierem pada abad ke-18. Pompa hidram merupakan pompa air yang bekerja menggunakan hentakan hidrolik air.
Prinsip kerja pompa ini adalah menggunakan energi kinetik dari air yang mengalir secara teratur melewati katup. Dengan hidram ini, air dari sumber mata air terdorong dan mengalir melalui pipa yang panjangnya hingga dua kilometer. Air yang disalurkan ini tertampung pada bak penyimpanan setinggi dua meter yang ada di rumah penduduk.
Meskipun debit air tidak sebesar pompa listrik, namun masyarakat Banjar Bukian yang berjumlah 33 kepala keluarga dengan jumlah anggota masyarakat sekitar 132 orang, tidak lagi mengalami kesulitan air sejak 2013.
Pemanfaatan air bersih dengan sistem bergilir selama lima hari. Masyarakat Banjar Bukian yang awalnya hanya memiliki satu hidram, kini memasang tiga hidram.
Bebas BABSSetelah masyarakat mudah mendapatkan akses air bersih, program WASH mengajak masyarakat mengubah kebiasaan dengan lebih memperhatikan sanitasi.
Masyarakat diajak menghentikan kebiasaan buang air besar sembarangan, mencuci tangan menggunakan sabun, mengelola air minum dan makanan rumah tangga, mengelola sampah rumah tangga dan mengelola limbah cair rumah tangga.
Program WASH melatih sekitar 20 orang masyarakat sebagai kader yang memberikan penyuluhan dan informasi mengenai gaya hidup sehat.
“Para kader berperan aktif dalam proses pemicuan, mereka mendekati masyarakat yang belum memiliki jamban sehat,” kata Koordinator Corporate Social Responbility Aqua Mambal, Ida Ayu Eka Pertiwi Sari.
Para kader juga menempel berbagai poster, banner, spanduk dan stiker di lingkungan desa mengenai informasi kebiasaan yang hendak diubah. Para kader juga mendatangi posyandu untuk melakukan promosi langsung kepada para ibu.
Masyarakat secara perlahan pun mau membangun jamban sehat di rumahnya. Selain itu warga banjar bersepakat membuat peraturan adat untuk menghindari pencemaran lingkungan dan pemborosan air bersih.
"Masyarakat tidak boleh buang air sembarangan, siapa pun yang melanggarnya akan dikenakan denda dan sanksi sosial," kata Wayan Debot.
Salah satu sanksi sosial, kata Debot, adalah pengumuman siapa saja yang melakukan pelanggaran dalam rapat pertemuan masyarakat yang diadakan rutin tiap bulan.
“Pemuka adat mendapat laporan dari masyarakat, jadi masing-masing saling mengawasi,” katanya.
Sebanyak 202 KK yang tinggal di Banjar Bukian dan Kiadan kini telah menggunakan jamban sehat sebagai sarana BAB. Pada 17 Januari 2014, kedua banjar itu pun dinyatakan sebagai bebas buang air besar sembarangan atau Open Defecation Free (ODF).
Kompor BiogasProgram WASH juga mengajarkan masyarakat dalam mengelola kotoran hewan. Kotoran hewan yang dibiarkan di tanah dapat meresap masuk ke dalam tanah dan membuat pasokan air tercemar bakteri E. coli.
Luas lahan yang dibutuhkan untuk membangun biogas rumah kurang lebih ukuran 4 x 6 meter membutuhkan jumlah ternak sapi 2-3 ekor atau 30 kg kotoran per hari.
Wayan Ardika, warga dusun Jempanang Desa Belok Sidan memiliki tiga sapi dan empat babi. Setiap hari, Ardika mengelola kotoran hewan ini yang dimasukkan dalam reaktor biogas.
Made Suyanti, 38, mengatakan biasanya menggunakan kayu bakar seikat dalam sehari untuk menggunakan kayu bakar untuk memasak. Namun, sejak adanya biogas yang mengalir ke rumahnya, dia tidak lagi perlu mencari kayu bakar.
“Kami tak perlu lagi repot mencari kayu bakar di kebun,” kata Suyanti.
 Wayan Ardika, warga dusun Jempanang Desa Belok Sidan, menunjukan reaktor pengolahan kotoran hewan menjadi sumber kompor biogas. (CNN Indonesia/Yuliawati) |
Pokja DAS AyungDAS Ayung sebagai sungai terbesar di Bali dengan luas luas 29, 717 ribu hektar are. DAS ini mengalir melewati enam kabupaten dan kota di Bali yakni Kabupaten Badung, Gianyar, Bangli, Tabanan, Buleleng, dan Kota Denpasar.
Pokja ini dibentuk dari hasil Workshop Pengelolaan DAS Ayung Secara Terpadu yang diprakarsai oleh PT. Tirta Investama, lembaga swadaya masyarakat Janma dan Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan Badung pada Juli 2013.
Menurut Ketua Pokja DAS Ayung Lestari, Made Sudarma, pendekatan terpadu perlu dikembangkan mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan dan pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi.
“Perusahaan memiliki kepentingan dengan DAS sebagai bahan baku untuk produksi membuat air mineral. DAS Ayung ini merupakan andalan masyarakat Pulau Dewata,”
Beragam kegiatan dipersiapkan untuk menjaga baku mutu DAS Ayung seperti konservasi, menjaga lingkungan dan kesehatan masyarakat. Menurut Sudarma, tanggungjawab menjaga DAS Ayung terletak pada banyak kelompok masyarakat dan industri yang telah memanfaatkan aliran sungai ini.
(yul)