Jakarta, CNN Indonesia -- Kisruh isu dwikewarganegaraan Arcandra Tahar yang berujung pencabutan jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral hanya berselang 20 hari setelah dilantik dianggap bukan masalah sepele.
Menurut beberapa pihak, kewarganegaraan menunjukkan nasionalisme seseorang yang nantinya akan berpengaruh pada pengambilan kebijakan. Hal ini juga diamini oleh pengamat eknomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmi Radhi.
"Setelah isu Arcandara ini, ke depannya harus seperti apa? Pemerintah dalam memilih menteri pos penting seperti ini harus yang memiliki integritas. Selain itu, juga harus memiliki jiwa merah putih," ujar Fahmi dalam acara bincang-bincang di Jakarta, Sabtu (20/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fahmi lantas menjabarkan bahwa nasionalisme itu memang akan berpengaruh kepada kebijakan yang diambil oleh seseorang karena sosok itu tentu akan melakukan upaya apa pun untuk kemakmuran rakyat.
"Sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 dari Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," tutur Fahmi.
Mantan anggota tim Anti-Mafia Migas ini kemudian mengambil contoh pelajaran dari apa yang terjadi dalam kasus Arcandra. Menurutnya, nasioalisme dari Arcandra dipertanyakan.
Bukan hanya karena kasus diwikewarganegaraannya karena memegang paspor Amerika Serikat, tapi juga kebijakan saat memberikan rekomendasi perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga bagi PT Freeport Indonesia.
"Kalau menterinya tidak punya kebangsaan, bisa dengan mudah izin Freeport diperpanjang.
Perlu jiwa kebangsaan, kembalikan sebesar-besarnya untuk rakyat, bukan investor. Konstitusi sudah mengamanatkan seperti itu," katanya.
Namun sebelumnya, Plt Menteri ESDM, Luhut Panjaitan, mengklarifikasi bahwa penerbitan rekomendasi ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia disetujui oleh mantan menteri Sudirman Said.
Terlepas dari masalah Freeport, anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, Kurtubi, mengatakan bahwa nasionalisme memang merupakan elemen krusial dalam diri seorang menteri sektor ESDM.
"Seorang menteri ESDM harys memiliki integirtas dan kiblat ke kosntitusi, seperti Pasal 33 UUD 1945 yang pro-rakyat," kata Kurtubi.
Namun selain itu, seorang menteri ESDM, kata Kurtubi, juga harus memiliki keahlian, pengetahuan, dan pengalaman yang baik.
Kurtubi sendiri menganggap Arcandra sebenarnya merupakan orang yang mumpuni, termasuk dalam mengontrol biaya yang diajukan oleh investor migas.
Kurtubi lantas menjabarkan satu contoh konkret, yaitu dalam proyek pembangunan fasilitas Liquified Natural Gas (LNG) blok Masela di darat (onshore).
"Terbukti ketika Inpex mengusulkan biaya untuk LNG plan di Masela US$22 miliar, setelah dievaluasi oleh Arcandra, turun menjadi US15 miliar. Keahlian seperti itu dibutuhkan oleh bangsa ini," kata Kurtubi.
Keahlian ini, kata Kurtubi, sangat dibutuhkan karena sektor migas di Indonesia menganut sistem bagi hasil dengan kontraktor, di mana seluruh cost ditanggung oleh negara.
"Agar negara tidak dibohongi oleh kontraktor, kita harus memiliki orang-orang ahli seperti Arcandra untuk mengontrol usulan biaya dari kontraktor yang ingin membangun fasilitas migas di offshore, onshore. Dia masih dibutuhkan," ucap Kurtubi.
(yul)