Lara Hati Isabel, Gadis Timor yang Direnggut Tentara

Martahan Sohuturon | CNN Indonesia
Kamis, 01 Sep 2016 07:47 WIB
Isabel diambil paksa oleh tentara Indonesia dari keluarganya di Timor Timur. Namanya pun diganti. Agama pun berubah dari Katolik ke Protestan.
Isabelinha de Jesus Pinto (kedua dari kiri) saat menghadiri peringatan Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa di Cikini, Jakarta, Selasa (30/8). (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon)
Jakarta, CNN Indonesia -- Satu hari pada tahun 1979, hidup berubah selamanya bagi Isabelinha de Jesus Pinto. Anak perempuan itu dipisahkan secara paksa dari kedua orang tuanya. Ia diambil dari tempat tinggalnya di distrik Viqueque, Timor Timor, dan dibawa ke Bekasi, Jawa Barat, untuk diangkat anak oleh seorang tentara Indonesia.

Semula orang tua Isabel menolak putri mereka diadopsi. Tapi, dengan berat hati, setelah menerima ancaman, tawaran adopsi itu akhirnya mereka terima.

Ayah Isabel saat itu masih menyimpan keyakinan, putrinya adalah sosok yang kuat dan pemberani sehingga mampu menghadapi apapun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Isabel akhirnya menjadi anak angkat tentara dan berganti nama.

Di keluarga barunya, Isabel menjadi anak keenam. Ia satu-satunya anak perempuan dalam keluarga sang tentara.

Bukan cuma nama yang berubah, agama pun ikut berganti. Isabel tak lagi membuat tanda salib sebelum dan sesudah berdoa. Ia berpindah keyakinan, dari Katolik menjadi pemeluk Kristen Protestan.

Masa kecil Isabel tak seperti kebanyakan anak seusianya. Ia tak punya waktu bermain. Ibu dan kelima kakak angkatnya pun kerap memperlakukan dia dengan jahat dan kasar.

Asyiknya menjadi murid sekolah tak dirasakan Isabel. Hari-harinya diisi dengan berjualan es, mencuci piring, dan mencuci pakaian.

Padahal saat Isabel diadopsi, sang tentara berjanji untuk merawat dan menyekolahkannya dengan baik. Nyatanya, setelah lima tahun berlalu, kehidupan tak kunjung berubah bagi Isabel. Tetap menyedihkan.
Pada 1984, Isabel pindah ke sebuah kota di Sulawesi. Ia tak lagi tinggal bersama orang tua angkatnya, tapi dengan kakek dan nenek angkatnya.

Meski begitu, kepindahan itu hanya membawa sedikit perubahan bagi Isabel. Walau ia jadi mencicipi bangku sekolah, perlakuan buruk tetap ia terima tiap hari.

Angin segar berembus pada 1991. Kehidupan lebih manusiawi mulai ditapaki Isabel, saat tanggung jawab atasnya dipindahtangankan ke sepupu orang tua angkatnya.

Isabel kembali merasa disayangi, tanpa dijahati seperti tahun-tahun sebelumnya.
Isabelinha de Jesus Pinto (kiri) saat menghadiri peringatan Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa di Cikini, Jakarta, Selasa (30/8). (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon)
Delapan belas tahun berlalu, Isabel menanggung rindu untuk kembali bertemu kedua orang tua kandungnya.

Pertemuan dengan sepupunya pada 2009 akhirnya menjadi pintu bagi Isabel untuk bertemu lagi dengan orang tua kandungnya.

Kini Isabel telah kembali menggunakan nama asli pemberian orang tua kandungnya: Isabelinha de Jesus Pinto.

Isabel pun bertransformasi, dari sosok tertindas menjadi pejuang. Ia bergabung bersama sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia, Asia Justice and Rights (AJAR).

AJAR mendesak pemerintah Indonesia untuk menyatukan kembali anak-anak Timor Timur (kini Timor Leste) yang diculik dan diambil dari tempat tinggal mereka, dengan keluarganya.
Menurut Isabel, ada ribuan anak-anak Timor Timur yang dipisahkan dari keluarga mereka dan dibawa ke Indonesia pada rentang waktu 1975-1999.

“Sebaiknya mereka (anak-anak Timor Timur yang direnggut paksa) dicari agar bisa bertemu dengan keluarga mereka. Saya mengalami bagaimana berpisah dengan keluarga. Kami bertemu setelah 30 tahun berpisah. Keluarga saya mencari saya,” kata Isabel saat menghadiri peringatan Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa di Cikini, Jakarta, Selasa (30/8).

Sepanjang kisahnya, beberapa kali mata Isabel terlihat berkaca-kaca.

Pemerintah, ujar Isabel, memerhatikan kondisi anak-anak Timor Timur yang menjadi korban penculikan. Sebab banyak di antara mereka diabaikan orang tua angkatnya sehingga kini mengalami kesulitan ekonomi, tak memiliki tempat tinggal layak, dan tak memperoleh akses kesehatan.

Hingga kini, Isabel berupaya sekuat tenaga melupakan lembaran kelam dalam hidupnya.

“Masa itu sudah lewat. Sekarang hidup saya sudah baik,” kata Isabel, bak merapal mantra pengusir mimpi buruk.

Ia menghela napas. Selamanya, luka membekas di hati Isabel. (agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER