Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Dalam Negeri didesak tidak membekukan data administratif warga negara yang tak kunjung merekam KTP elektronik akhir September nanti. Pelayanan publik dikhawatirkan akan tersendat jika pemerintah merealisasikan wacana itu.
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Sukamdi mengatakan, pembekuan data dapat dikategorikan sebagai sanksi. Sebelumnya, Kemdagri enggan menyebut wacana itu sebagai hukuman kepada masyarakat.
“Proses merekam data hingga menjadikannya e-KTP masih bermasalah. Konsekuensi waktu yang harus ditanggung warga justru disebut pelanggaran,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (1/9).
Sukamdi menuturkan, tidak sedikit warga negara yang tidak mendapat pelayanan maksimal dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Ia juga menyoroti hambatan yang dihadapi masyarakat pelosok untuk merekam data.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagian warga menghadapi persoalan akses karena berada di perbatasan atau pedalaman. Mereka harus mengeluarkan ongkos transportasi, meskipun pendaftaran e-KTP gratis," ucapnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Provinsi Papua Yan Piet berkata, saat ini baru 20 persen warga di daerahnya yang merekam data e-KTP. Minimnya alat perekam dan kondisi geografis merupakan dua penyebab utama.
Di Papua terdapat 882.309 individu yang sudah merekam e-KTP. Mayoritas dari mereka berdomisili di Kota Jayapura, sebanyak 79.157 orang. Kabupaten Deiyai merupakan daerah yang warganya paling sedikit merekam data e-KTP, yaitu 327 orang.
Kendala juga dialami Wina, warga asal Cirebon yang berdomisili di Sleman, Yogyakarta. Petugas Dinas Dukcapil setempat beralasan, mereka belum dapat merekam data e-KTP warga yang domisili aslinya di luar Yogyakarta.
"Aturan dari pusat belum tentu diterapkan dengan baik di kabupaten atau kota. Adakah jaminan layanan prima dari pemerintah bagi warga yang ingin datang merekam e-KTP?” ujar Sukamdi.
(abm)