Samarinda, CNN Indonesia -- Wajah duka Rahmawati mendadak kecewa, bahkan marah. Bibirnya bergetar hebat ketika mengulangi perkataan seorang koleganya yang mendesak dia menerima uang ganti rugi kematian putra keduanya, Muhammad Raihan Saputra.
Setelah kepergian Raihan 22 Desember 2014, perwakilan PT Graha Benua Etam (GBE) berkali-kali mendatangi kediaman Rahmawati menawarkan ganti rugi. Raihan memang ditemukan meninggal dunia di kolam bekas aktivitas tambang perusahaan tersebut.
“Sudah satu tahun anak kamu mati kok masih diingat? Kenapa kamu enggak mau terima uang itu? Terima saja,” sambil menahan air mata Rahmawati menceritakan ucapan koleganya kepada CNNIndonesia.com, Senin (22/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rahmawati marah sekaligus heran, bagaimana bisa ada orang yang mampu mengucapkan kata-kata, yang bukan hanya menyakiti hati, tetapi juga merendahkan harga dirinya itu? Rahmawati memang bukan orang berpunya dan tentu saja membutuhkan uang untuk kehidupan sehari-hari.
Tetapi bukan berarti mau menerima uang “duka” perusahaan yang dia anggap lalai menjalankan kewajiban reklamasi sehingga menewaskan putranya. Menukar nyawa anaknya dengan uang seberapa pun banyaknya, tak akan dipilih Rahmawati sepanjang hidupnya.
“Kok bisa ada yang bilang begitu ke saya? Dia teman saya sendiri. Kalau bisa saya minta nyawa anak saya dikembalikan daripada harus mendapatkan uang itu,” nada suara Rahmawati lebih keras.
Raihan adalah siswa kelas 4 SD Negeri 009, Pinang Seribu, Samarinda Utara, kelahiran 18 November 2004. Dia ditemukan dalam keadaan putih pucat, kaku, dan tidak bernyawa sekitar pukul 17.30 WITA setelah tenggelam sekitar waktu zuhur di kolam lubang tambang milik PT GBE.
 Rahmawati, ibu korban Muhammad Raihan Putra, memegang surat pernyataan terkait kematian anaknya, Senin (22/8/2016). (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Senin siang hari itu, Rahmawati mendengar teriakan dua teman Raihan memanggil-manggil namanya. Dia menghambur keluar dan mendengar penjelasan keduanya: Raihan tercebur di sungai.
Rahmawati menjerit histeris hingga keluarga dan tetangga mendengar dan mendekat. Mereka lantas bergegas menuju lokasi yang disebut kedua bocah itu.
Lokasi itu ternyata bukanlah sungai, melainkan sebuah kolam air asam bekas penambangan batubara PT GBE. Warga mulai ramai dan empat anggota Tim SAR terjun ke kolam sedalam 40 meter untuk mencari sosok Raihan.
Raihan ditemukan tewas di kedalaman 8 meter. Bagi Rahmawati, berlalunya waktu tak pernah membuat dia melupakan Raihan.
Namun bukan kematian Raihan yang masih sering membuat hatinya terluka. Melainkan bayangan kesendirian Raihan ketika berjuang menyelamatkan diri, upaya tangan mungil putranya menggapai-gapai keluar kolam, dan tak ada seorang pun di sana
“Dia sendirian di sana, enggak tahu harus bagaimana supaya bisa keluar dari kolam, dia enggak bisa berenang, dia pasti ketakutan,” suara Rahmawati semakin parau.
Lokasi lubang tambang bukan hanya berbahaya dari sisi keamanan dan keselamatan lantaran tak dipagari, tetapi juga mengandung asam tinggi sehingga tak layak dikonsumsi.
“Yang berenang mencari Raihan ke kolam itu bilang matanya perih karena air. Bagaimana dengan Raihan yang berjam-jam ada di dalam sana?” kata Rahmawati.
Untuk mencari keadilan atas kematian Raihan, Rahmawati telah mendatangi sejumlah pihak di antaranya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak Yohana Yembise, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Rahmawati juga membuat petisi di website
change.org bertajuk “Tutup dan Hukum Perusahaan Pemilik Lubang Tambang Batubara Samarinda yang Membunuh Anak-anak”, 22 Januari 2015. Petisi itu ditandatangani 11.546 orang per akhir bulan Agustus 2016.
Yang paling anyar, Rahmawati hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panitia Khusus Reklamasi dan Investigasi Korban Eks Tambang Batubara DPRD Kalimantan Timur, 2 Agustus lalu. Dalam RDP tersebut, Pansus mempertanyakan keengganan Rahmawati melakukan autopsi terhadap Raihan.
Rahmawati punya jawaban soal itu.
“Saya enggak mengerti hukum, apalagi waktu itu, saat hari kematian anak saya, hari itu anak saya ditemukan, suami saya diajak ke kantor polisi untuk menandatangani surat,” tutur Rahmawati.
Surat dimaksud adalah pernyataan di atas materai tertanggal 22 Desember 2014, tepat pada hari kematian Raihan. Surat yang ditandatangani suami Rahmawati, Misransyah, menyatakan orang tua korban menolak dilakukan autopsi dan tidak akan melakukan tuntutan kepada pihak mana pun di kemudian hari.
Perempuan kelahiran 6 Maret 1976 ini tinggal di Jalan Padat Karya RT 21 (sebelumnya RT 68) Nomor 9, Kelurahan Sampaja Timur, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda. Dia sehari-hari berjualan gorengan dan nasi campur untuk membantu suami yang menjadi pekerja di toko alat-alat kapal.
 Suasana di area pertambangan milik sebuah perusahaan di Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. (Dok Greenpeace Indonesia) |
Keduanya sama sekali tak memiliki latar belakang hukum untuk mengadvokasi diri dan keluarga mereka sendiri.
Rahmawati kecewa mengingat betapa cepat kepolisian bertindak menyodorkan surat pernyataan kepada sang suami. Dalam suasana duka dan bingung karena kehilangan Raihan, keluarga malah diminta menandatangani surat yang dia ketahui menjadi sangat penting di kemudian hari.
“Siapa yang bisa berpikir hari itu? Yang suami saya tahu, pembahasan di kantor polisi hanya soal autopsi, tidak ada hal lain, apalagi soal tuntutan. Autopsi juga enggak dijelaskan bahwa biaya akan ditanggung,” Rahmawati lirih.
Satu hari setelah kematian Raihan, perwakilan PT GBE datang ke kediamannya. Menyodorkan uang Rp15 juta sebagai tanda duka. Uang itu diterima pihak keluarga.
Uang santunan duka tidak menghentikan perkara kelalaian yang seharusnya diproses. Untuk itu, Rahmawati mengaku akan terus berjuang memperjelas status kasus kematian putranya.
Tujuannya sederhana: membuat jera perusahaan yang lalai menjalankan kewajiban reklamasi dan pascatambang, serta menghindari jatuhnya korban kesekian kalinya.
“Jangan sampai ada ibu lain yang merasakan sakit hati dan luka saya,” kata Rahmawati.
Direktur Kriminal Umum Polda Kaltim Komisaris Besar Winston Tommy Watuliu membenarkan bahwa uang santunan dan ketiadaan hasil autopsi tidak menghentikan proses hukum yang berlangsung. Untuk itu, Tommy menyebut sampai saat ini masih melakukan investigasi atas kematian anak-anak di lubang tambang.
Tommy juga membenarkan, autopsi hanya menjadi salah satu jalan mengungkap penyebab kematian. Apalagi polisi masih dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 112 UU tersebut menyatakan, setiap pejabat berwenang yang sengaja tidak mengawasi ketaatan penanggung jawab usaha terkait izin lingkungan dan mengakibatkan terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana penjara maksimal satu tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Meski kasus sudah lama bergulir, Tommy membenarkan penyidik belum meminta keterangan ahli hukum lingkungan hidup soal itu.
“Sekarang masih kami jajaki, semoga dalam waktu dekat bisa. Kami tidak bisa terlalu jauh menjelaskan soal proses penyidikan, investigasi masih dilakukan,” kata Tommy kepada CNNIndonesia.com, Jumat (2/9).
Raihan adalah satu, dari total 24 anak meninggal di bekas lokasi pertambangan sejak tahun 2011. Sebelum Raihan, ada Miftahul Jannah (10), Junaidi (13), dan Ramadhani (11) yang terjerembab di lubang milik PT Hymco Coal.
Berdasarkan catatan, 24 anak meninggal tersebut terdiri dari delapan anak di Kutai Kartanegara, 15 anak di Kota Samarinda, dan satu anak di Kabupaten Penajam Paser Utara.
 Seorang bocah bermain di area bekas lubang tambang batubara di kawasan Bengkuring, Samarinda, Senin, 22 Agustus 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Jumlah tersebut berbeda dengan data di Polda Kaltim. Tommy mengatakan, jumlah anak yang meninggal di lubang tambang di Kaltim sebanyak 21 orang.
“Kami harus melihat lebih detail lagi di TKP (tempat kejadian perkara). Karena ada perusahaan yang sudah memberi peringatan di lubang tambang. Tapi jumlahnya di data kami 21 anak meninggal,” kata Tommy.
Pengamat hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah “Castro” Hamzah menyebut, langkah Polda Kaltim yang belum memeriksa para saksi ahli, anggota Tim SAR yang menemukan korban, serta pihak perusahaan menunjukkan sikap ketidakberpihakan pada rasa keadilan masyarakat.
Selain UU 32/2009, lanjut Castro, seharusnya Polda Kaltim juga bisa menggunakan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal.
“Hukum harus punya keberpihakan, ini
public domain, ada kepentingan negara menjamin rasa keadilan publik yang belum terjawab dalam kasus ini,” ujar Castro di Samarinda, kepada CNNIndonesia.com.
Castro mengingatkan Polda Kaltim untuk tidak berhenti mengusut kematian anak di lubang tambang meskipun sudah ada ganti rugi atau tali asih yang diberikan perusahaan kepada keluarga korban. Kasus ini murni delik umum dan bukan delik aduan.
“Tanggung jawab pidana tidak hilang meskipun Bapak Raihan menandatangani surat pernyataan, harus tetap diproses. Perkembangannya setahu saya masih mentah,” ujar Castro.
Sejauh ini, hanya dua kasus kematian yang perkaranya sudah divonis di meja hijau. Yaitu kematian Dede Rahmad dan Emalia Raya berusia enam tahun yang tewas tenggelam di lubang tambang milik PT Panca Prima Mining, 24 Desember 2011. Keduanya adalah warga di Perumahan Sambutan Idaman Permai, Pelita 7, Kota Samarinda.
Pengadilan Negeri Samarinda hanya memvonis seorang sekuriti dari pihak kontraktor dengan penjara dua bulan dan membayar biaya perkara Rp1.000.
Vonis itu mungkin melukai rasa keadilan publik.
“Itu sama saja uang Rp1.000 ditukar dengan nyawa, apa yang terjadi dengan hukum di negara kita?” kata Castro.
Castro menjelaskan, vonis terhadap seorang sekuriti dari pihak kontraktor merupakan pelanggaran terhadap Pasal 125 UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba. Pasal itu menyebutkan, dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha tetap dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menyebut, kondisi lubang tambang di Kaltim sangat memprihatinkan. Pemerintah dan penegak hukum seolah abai, dapat dilihat dari bergulirnya kasus kematian korban yang nyaris tanpa perkembangan.
Berdasarkan data Jatam Kaltim, sebanyak 3.500 lubang tambang menyebar di seluruh provinsi, sebanyak 232 lubang di antaranya berada di Kota Samarinda. Ada 15 anak yang tercatat menjadi korban tenggelam di kota itu, dari total 24 orang. Angka berbeda disampaikan Polda Kaltim “hanya” 21 korban tewas.
Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, sejak awal sudah memprediksi bencana ini akan terjadi dan membuat kampanye Anti Generasi Suram pada tahun 2009.
Jatam juga memerkirakan pertambangan Kalimantan kolaps tahun 2020. Apalagi pemerintah kabupaten dan kota di Kaltim disebut tidak memiliki skenario pencegahan akan bahaya lubang tambang—yang terlihat dari jumlah Inspektur Tambang yang minim yaitu hanya 17 orang.
“Kasus lubang tambang hanya satu dari sekian banyak masalah akibat kebijakan pemerintah yang memilih industri kotor,” ujar Rupang kepada CNNIndonesia.com.
Jatam menyoroti Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kaltim yang dianggap memberikan logika sesat. Dalam laporannya, BLH secara resmi menyampaikan bahwa sejumlah kasus proses hukumnya dihentikan karena pihak keluarga telah menerima talih asih.
"Dari sini terlihat jelas pegawai BLH Kaltim terindikasi melindungi dan menutup-nutupi kejahatan perusahaan tambang," ujar Rupang.
Lubang-lubang tersebut memiliki kedalaman hingga 80 meter. Dari sisi kesehatan lingkungan, keberadaan air asam yang terdapat dalam lubang tersebut dapat mengganggu kualitas air warga sekitar.
Komisi Pengawas Reklamasi dan Pascatambang Daerah Kaltim yang dibentuk sejak Februari 2016 dan mengantongi legalisasi per Mei 2016 menolak menyebut angka pasti jumlah lubang tambang. Ketua Komisi Pengawas Bambang Sudarmono menyatakan, publik tidak bisa mengeneralisasi lubang tambang sebagai kolam mematikan.
 Bekas lubang tambang yang ditinggalkan oleh perusahaan tambang batubara di kawasan Berambai, Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu, 24 Agustus 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
“Kalau lubang tambang menyebabkan orang meninggal, berapa banyak? Ada kelalaian di sekitar situ, itu yang harus dipersoalkan, tidak bisa digeneralisasi,” kata Bambang kepada CNNIndonesia.com di Samarinda, akhir Agustus 2016.
Ketika ditanya, mengapa banyak lubang tambang yang dibiarkan menimbulkan korban jiwa, Bambang bergeming, tak bisa menjawab.
Dia lantas menjelaskan, fokus utama Komisi yang dia pimpin adalah memastikan reklamasi dan pascatambang oleh perusahaan berjalan sesuai ketentuan, terutama yang dekat permukiman dan memengaruhi kualitas air. Dia berharap dapat membenahi sengkarut lubang tambang tersebut.
Sejauh ini, Komisi Pengawas telah mendatangi lebih dari 20 lokasi tambang di Kota Samarinda, Kabupaten Berau, dan Kabupaten Kutai Kartanegara. “Di Samarinda memang kami datangi yang bermasalah, ada CEM (PT Cahaya Energi Mandiri), CV Limbuh. Kami periksa CEM banyak lubangnya, seabrek-abrek,” kata Bambang.
Dua perusahaan lain yaitu CV Arjuna dan PT GBE juga dianggap sebagai perusahaan yang paling sulit persoalannya. Namun Bambang menolak menjelaskan lebih lanjut karena baru akan dilaporkan kepada Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak pada November mendatang.
Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Pengenaan Sanksi Administrasi KLHK Rosa Vivien Ratnawati menyebut, jatuhnya korban jiwa di lubang tambang merupakan bukti bahwa negara tidak hadir untuk rakyat. Perencanaan dan pengawasan kegiatan pertambangan belum benar-benar menjadi perhatian pemerintah daerah.
"Seharusnya penegakkan hukum digunakan untuk memperlihatkan negara hadir. Kasus Kaltim sampai lebih dari 20 anak meninggal itu menandakan bahwa negara tidak hadir, ini kan gila," ujar Vivien kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Untuk itu, keberadaan Komisi Pengawas diharapkan menjadi solusi penting bagi pengelolaan pertambangan di provinsi itu. Paradigma pengelolaan LH harus mulai dari perencanaan dan inventarisasi soal daya dukung dan tampung lingkungan serta kajian strategis LH.
Penegakan hukum, menurut Vivien, bukan jalan utama menghindari dampak buruk kegiatan perusahaan tambang, melainkan harus dimulai dari proses penerbitan izin yang taat hukum.
"Di seluruh Indonesia, pembentukan Komisi ini hanya terjadi di Kaltim, karena mereka sudah risau banyak lubang tambang yang ditinggal. Kalau perencanaan dan pengawasan berjalan, dampak (korban jiwa) ini tidak akan terjadi. Seharusnya pemda merespons," kata Vivien.
Sejauh ini, KLHK hanya memberikan sanksi administratif berupa penghentian kegiatan perusahaan kepada dua perusahaan yaitu PT Cahaya Energi Mandiri dan PT Energi Cahaya Industritama. Sementara ada 600-an perusahaan di seluruh Indonesia menjadi tanggung jawab pengawasan KLHK setiap tahun dengan sumber daya manusia dan anggaran terbatas.
Standar biaya pengawasan untuk satu perusahaan sekitar Rp40 juta hingga Rp50 juta, yang dilakukan didampingi polisi hutan dan pemda. Selama pengawasan, KLHK menyisir dokumen perizinan, pengelolan air asam tambang, proses penambangan, pengelolaan air, udara, dan limbah yang dilakukan perusahaan.
"Karena itu, kami enggak bisa turun hanya terfokus pada Kaltim atau hanya Samarinda dan Kutai Kartanegara," katanya.
Dalam kasus korban Raihan, Rahmawati mengaku tak akan pernah berhenti memperjuangkan keadilan bagi mendiang putranya.
“Keinginan saya adalah bikin jera dan kasih peringatan ke PT GBE bahwa enggak semua orang tua mau dikasih uang dan menganggap masalah selesai. Uang tidak bisa ditukar dengan nyawa anak saya,” Rahmawati menegaskan.
PT GBE merupakan perusahaan tambang batubara yang terdaftar dengan Nomor Surat Keputusan Izin Usaha Pertambangan (IUP): 545/267/HK-KS/V/2011. Perusahaan tersebut beroperasi dengan luas 493,7 hektare sejak 18 Mei 2011 dengan izin yang berakhir 9 November 2015.
Perusahaan itu disebut sebagai perusahan yang paling tidak taat dan pernah dihentikan sementara. Dari evaluasi tambang yang dilakukan Dinas Pertambangan Provinsi Kaltim dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Samarinda, PT GBE sudah dua kali dibekukan.
Dari tujuh lubang yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan perusahaan ini, baru satu lokasi yang ditimbun: lokasi Raihan jatuh dan meninggal.
(asa)