Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Nasional, Merah Johansyah, menyatakan lubang bekas tambang yang dibiarkan menganga di sekitar permukiman warga Kalimantan Timur merupakan bentuk pembantaian secara sistematis oleh pemerintah.
“(Pembiaran lubang bekas tambang) nyatanya telah memakan korban. Ini merupakan pembantaian secara sistematis terhadap warga Kaltim. Bahkan tidak hanya di Kaltim, tapi masih banyak kasus di daerah lain,” ujar Merah di Jakarta.
Sekitar 4.464 bekas lubang tambang dari total 1.488 izin usaha pertambangan di Kalimantan Timur hingga kini dibiarkan terbuka. Berdasarkan data yang dihimpun Jatam, terdapat 232 lubang bekas tambang di Samarinda, ibu kota Kalimantan Timur, yang masih menganga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Merah, sejauh ini lubang-lubang bekas tambang di Samarinda tersebut telah menewaskan 15 orang. Ada pula korban jiwa lain di luar Samarinda, yakni delapan orang di Kutai Kartanegara dan satu orang di Pasir Panajem Utara.
Pembiaran lubang bekas tambang, ujar Merah, disebabkan oleh maraknya obral izin tambang yang dikeluarkan pemerintah kepada korporasi untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam.
Namun maraknya pemberian izin itu tidak disertai pengawasan dan kontrol ketat dari pemerintah terhadap kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan pemegang izin usaha pertambangan, khususnya kewajiban memulihkan dan mereklamasi lahan bekas tambang.
Merah menilai, sejauh ini pemerintah dan penegak hukum tidak pernah benar-benar menyelesaikan secara tuntas kasus bekas lubang tambang maut. Kemauan pemerintah untuk mengusut kasus-kasus itu, ujarnya, amat rendah.
Menurutnya, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus bersama-sama bertanggung jawab untuk menanggulangi dan mencegah bertambahnya korban jiwa terkait pembiaran lubang bekas tambang.
"Harus ada pencegahan dari pemerintah. Kalau tidak, korban akan terus jatuh. Awal 2016 hingga bulan ini terhitung sudah lima korban yang jatuh meninggal akibat lubang tambang ini," kata Merah.
Langgar HAMKomisi Nasional Hak Asasi Manusia, setelah meninjau langsung di lapangan, menyatakan penelantaran lubang bekas tambang di Kalimantan Timur telah melanggar hak-hak hidup dasar warga setempat.
Menurut Sub Komisi Penanganan Komnas HAM Siti Noor Laila, prinsip HAM yang telah dilanggar dalam kasus ini adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Selain itu, setidaknya Komnas HAM telah menemukan empat bentuk pelanggaran HAM dalam peristiwa kematian 25 korban jiwa akibat terperosok ke bekas lubang tambang yang dibiarkan terbuka itu.
Beberapa hak dasar warga yang dilanggar yakni hak untuk hidup, hak atas lingkungan yang sehat dan bersih, hak atas rasa aman, serta hak untuk memperoleh keadilan.
Komnas HAM meminta Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk melakukan moratorium pemberian izin tambang baru, khususnya di kota-kota yang memiliki masalah lahan tambang terbanyak seperti Samarinda, Kutai Kartanegara, dan Penajem Utara.
Noor Laila juga menyatakan Pemerintah Kalimantan Timur harus mengevaluasi izin-izin pertambangan yang telah ada dan memastikan perusahaan tambang melakukan kewajibannya memulihkan lahan bekas tambang, khususnya reklamasi.
"Pemerintah seharusnya bisa menindak tegas perusahaan dan memberikan sanksi jika mereka melanggar prosedur eksplorasi, reklamasi, dan eksploitasi," kata Noor Laila.
Komnas HAM juga mendesak Kepolisian Daerah Kalimantan Timur untuk menuntaskan proses penyelidikan terkait kasus lubang bekas tambang maut itu, termasuk memproses hukum perusahaan yang mengabaikan kewajibannya hingga berbuah kematian.
(agk)