LAPORAN KHUSUS

Pemangkasan Anggaran Sri Mulyani Repotkan Pengawasan Tambang

Riva Dessthania Suastha & Rosmiyati Dewi Kandi | CNN Indonesia
Kamis, 08 Sep 2016 15:11 WIB
Kewajiban pengawasan perusahaan tambang dari daerah ke pusat membuat ESDM bingung karena selain bukan pemberi izin, Sri Mulyani memangkas anggaran.
Aktivitas pemindahan material batubara ke dalam kapal tongkang di Desa Bakungan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Kamis, 25 Agustus 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ribuan izin yang tersebar di Provinsi Kalimantan Timur untuk pertambangan batubara telah memunculkan sejumlah dampak negatif bagi lingkungan. Satu penyebab yang dianggap paling krusial yaitu lemahnya pengawasan terhadap kewajiban perusahaan yang telah disyaratkan dalam undang-undang.

Beleid soal pengawasan sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, beserta turunannya Peraturan Pemerintah Nomor 55/2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Tambang Minerba. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga memiliki Inspektur Tambang di pusat hingga daerah yang ditugaskan melakukan pengawasan.

Namun pemangkasan anggaran yang baru-baru ini dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membuat seluruh kementerian mengencangkan ikat pinggang. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4/2016, anggaran Kementerian ESDM dipangkas untuk belanja operasional Rp217,88 miliar dan efisiensi belanja lainnya Rp553,98 miliar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apakah pemangkasan ini berdampak pada pengawasan perusahaan tambang? Bagaimana langkah yang dilakukan Kementerian ESDM terkait pengawasan?

Berikut wawancara khusus dengan Direktur Teknik Lingkungan Ditjen Minerba ESDM Muhammad Hendrasto, 6 September 2016:

Bagaimana Anda melihat persoalan pertambangan batubara, khususnya di Kalimantan Timur?

Ada soal lubang (void) bekas tambang yang pasti akan terjadi karena memang tidak bisa seluruhnya kembali ke rona awal. Pertama yang harus diperhatikan, berapa lubang bekas tambang serta luasannya, mengacu pada dokumen lingkungan hidup. Kedua, pemanfaatan lubang bekas tambang harus sesuai kesepakatan para pemangku kepentingan yaitu pemda, masyarakat, dan LSM. Kami mengawal pelaksanaan pascaatambang yang sudah disepakati tadi. Perusahaan wajib memiliki rencana reklamasi dan pascatambang. Tetapi reklamasi tidak selalu harus menutup void dan tidak selalu revegetasi. Reklamasi adalah menata dan memulihkan areal bekas tambang agar kembali fungsi ekosistemnya dan sesuai dengan peruntukannya sejak awal. Kalau statusnya hutan, harus kembali menjadi hutan. Kalau peruntukkannya harus ditutup, ya void harus ditutup. Maka itu harus mengacu pada kesepakatan antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sekitar. Mana yang harus ditutup dan mana yang tidak.

Apa saja temuan Direktorat Teknik Lingkungan sejauh ini?

Setelah pengalihan izin ke provinsi karena ada UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, mereka juga baru tahu bahwa banyak IUP operasi produksi (OP) yang tidak aktif. Kami enggak tahu kenapa hal itu bisa terjadi. Karena sejak UU itu berlaku, masih ada kabupaten dan kota yang belum menyerahkan data ke provinsi. Kami sebenarnya baru mau mendata, tidak hanya data yang OP tapi juga berapa lubang tambang yang ada. Catatan void kami sejauh ini hanya dari tambang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kontrak Karya (KK), jumlahnya 266. Yang aktif 56 dan tidak aktif 180. KK ada tiga yang tidak aktif sehingga total 183. Ini untuk izin dari pusat. Kami sudah minta ke provinsi tapi mereka masih terus mendata.

Aktivitas pertambangan di sebuah lahan konsesi di Kutai Kartanegara. (CNN Indonesia/Safir Makki)


Meski izin di daerah apakah ada kewajiban lapor ke ESDM?

Sebenarnya harus melaporkan. Jadi dalam PP 55/2010 (tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Minerba) pemda melaporkan yang dikumpulkan dari kabupaten kota di bawahnya. Tetapi tidak berjalan sejak 2010, ketika KPK melakukan Korsup (Koordinasi Supervisi Pengelolaan Pertambangan Minerba) baru daerah melapor yang diminta KPK yaitu soal jaminan reklamasi. Pasal itu tidak diindahkan daerah. Sekarang setelah ada korsup KPK mereka laporkan sebatas apa yang diprioritaskan KPK. Karena memang kewajiban melapor itu pada pemberi izin.

Adakah laporan pemberi izin kepada ESDM?

PP ada, tapi tidak berjalan. Tidak ada dasar peraturan untuk memberi sanksi jika PP tidak berjalan.

Berdasar UU 23/2014, pengawasan pertambangan dilakukan oleh pusat tetapi pemberian izin ke pemerintah provinsi. Bagaimana melakukannya?

Seharusnya pengawasan oleh pemberi izin. Maka begitu ada pengalihan ke pusat sesuai UU 23, menjadi tidak semudah itu. Sebenarnya UU 23 ini produk Kemdagri, banyak dari daerah yang datang ke kami.

Menteri Keuangan memangkas anggaran di seluruh kementerian, sementara pengawasan pertambangan dilakukan oleh pusat, bagaimana nasib kewajiban pengawasan tersebut?

Bukan dipotong lagi, tetapi hilang sudah keseluruhan, kami enggak bisa gerak lagi. Sekarang hanya menyisakan gaji saja. Terus terang merepotkan untuk kami melakukan tugas dalam hal pengawasan. Awalnya anggaran kami Rp25 miliar. Setelah dipotong ya habis. Kami mengawasi 150 izin pertambangan dengan kategori PKP2B dan KK. Sekarang kami harus mengawasi ribuan IUP itu. Saya bingung metodenya seperti apa untuk mengawasi sebesar itu.

Selain karena pemangkasan anggaran, berarti UU 23 ini jadi memberatkan tugas pengawasan ESDM?

Maka itu kami bicara dengan Kemdagri, aturan itu seperti apa, karena dari sini tidak ada yang diajak bicara mengenai UU 23. Intinya yang mengawas itu harus yang memberikan izin. Kami sudah memberikan masukan bahwa bisa ASN pusat tapi ditempatkan di provinsi agar kalau dia ASN maka operasionalnya ada di kami. Kami mengusulkan untuk membentuk semacam kantor wilayah tapi sampai sekarang belum ada keputusan karena untuk penempatan pegawai kami di provinsi, itu di Kementerian PANRB.

KLHK membuat kajian valuasi ekonomi pertambangan yang disebut merugikan negara dari sisi lingkungan, kesejahteraan, serta dampak sosial dan ekonomi. Tanggapan Anda?

Hasil valuasi sudah dipresentasikan di mana-mana selama Korsup KPK. Tapi kami juga sudah diskusi antar Dirjen di ESDM dengan KLHK yang mengeluarkan kajian itu. Sebenernya kami mempertanyakan dasar penghitungan valuasi itu. Kami melihat CSR perusahaan, kegiatan reklamasi, dan pengelolaan lingkungan belum menjadi faktor plus perhitungan valuasi. Penghitungan semata-mata hanya dari dampak negatif. LH bilang akan mengkaji lagi karena sebenarnya perhitungannya belum tuntas tapi sudah dipresentasikan. Kita punya hitungan valuasi ekonomi bahwa selain ada faktor peggurang juga ada faktor manfaat dan positif. Soal void juga jangan dilihat hanya dari sisi negatif. Void sebagai sumber air dan sumber listrik juga harus diperhitungkan.

Area pertambangan batubara di Kutai Kartanegara. (Dok Greenpeace Indonesia)


Badan Lingkungan Hidup (BLH) di Kaltim dan Kota Samarinda menyebut, pertambangan batubara di dekat permukiman sebenarnya bisa jadi tidak menguntungkan, menurut Anda?

Bukan hanya IUP, PKB2B juga ada yang dekat permukiman yaitu PT Insani Bara Perkasa (IBP). Saking dekatnya dengan permukiman, di sana ada beberapa kejadian orang meninggal di area konsesi. Sebenernya pengelolaan lingkungan di IBP dijalankan dengan baik tapi lantas perusahaan itu dibekukan karena ada anak meninggal. Anak itu masuk ke daerah terlarang padahal kita tahu berdasarkan PP Nomor 55/2010, tidak boleh sembarang orang masuk tambang tanpa izin. Di bawah pengawasan kami, IBP melaksanakan dengan baik kewajiban mereka. Yang kami tahu, masyarakat di sana menggali lubang masih di dalam konsesi IBP untuk pembangunan jalan dan masjid. Lalu ada yang jatuh di situ, IBP yang dituntut. Dalam hal ini, bukan kelalaian.

Kami juga menyampaikan, kalau masih dalam konsesi berarti menjadi tanggung jawab perusahaan. Kami minta mereka melakukan sosialisasi, patroli, dan melibatkan masyarakat. Soal menguntungkan atau tidak, dapat dilihat setelah melakukan studi kelayakan sebelum mengajukan izin. Layak ekonomi kah, teknis kah, lingkungan kah. Dengan nilai ekonomi produksi dikurangi biaya pengelolaan dan kewajiban lainnya, jika tidak untung seharusnya enggak menambang. Jadi tidak ada istilah pertambangan yang dibuka dekat permukiman tidak untung. Kalau konsesinya kecil kan kewajiban lingkungan kecil juga.

Apa yang harus dilakukan perusahaan pertambangan dan pemerintah agar area sekitar konsesi tidak selalu negatif?

Seharusnya mereka punya dokumen pascatambang. Asal itu diikuti dengan diimbangi sistem pengawasan yang baik, saya rasa tidak masalah. Jadi kuncinya ada di pengawasan. Kalau tidak diawasi akan terjadi bias. Aturan sudah cukup lengkap, apalagi KLHK sudah sangat saklek, tinggal dijalani. Pengawas juga harus diawasi. Maka itu kami tidak tahu kenapa pengawasan dialihkan ke pusat. Apa karena pengawasan di daerah tidak berjalan?

Berapa besar anggaran ideal yang dibutuhkan untuk pengawasan?

Sejauh ini, satu orang idealnya mengawasi dua atau tiga perusahaan. Kebayang kan kalau ada sekian ribu izin, berapa pengawas yang dibutuhkan? Sekarang Inspektur Tambang yang ada di pusat hanya 30 orang, calon yang akan diangkat 100. Untuk di daerah sekitar 300 orang, tapi ada calon 1.000. Jadi total itu hampir 1.000 dari yang sudah diangkat maupun calon yang ada di daerah. Pengawasan harus ke daerah yang memerlukan biaya.

Apa yang akan Anda lakukan dalam hal pengawasan setelah pemotongan anggaran?

Sementara akan terus berhubungan lewat laporan-laporan daerah. Bisa melalui email dan lain-lain. Ada beberapa aspek dalam pengawasan seperti jaminan reklamasi, nah pengawasan ini yang kami minta untuk dipertahankan dan tidak dipotong. Karena ketika perusahaan menempatkan jamrek, hal itu harus diverifikasi. (asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER