Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Samarinda menyebut, jika merujuk pada aturan yang ada dibuat pemerintah, maka ada banyak lubang tambang yang tidak diwajibkan untuk ditutup. Kondisi yang dinilai Sekretaris BLH Samarinda Agus Tri sangat berbahaya jika terjadi di kota itu.
Agus mendasarkan pernyataannya pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7/2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4/2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha dan atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara, serta Peraturan Daerah Kaltim Nomor 8/2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pascatambang.
Permen LH mengatur, luas permukaan lubang galian boleh tetap terbuka selama tidak lebih dari 20 persen dari total izin usaha pertambangan (IUP) jika lubangnya terkonsentrasi atau tidak lebih dari 30 persen jika lubangnya terfragmentasi. Aturan itu berlaku untuk penambangan dan pascatambang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Berarti jika ada IUP 1.000 hektare, maka boleh ditinggalkan lubangnya 200 hektare. Kalau itu diterapkan di Kota Samarinda, maka akan sangat signifikan mengganggu lingkungan,” kata Agus kepada CNNIndonesia.com, 27 Agustus lalu.
Agus menyebutkan, luas konsesi tambang batubara di seluruh Kota Samarinda sekitar 30 ribu ha. Berarti, perusahaan bisa menyisakan 6 ribu ha lubang tambang.
“Bisa dibayangkan kalau ada 6 ribu hektare lubang. Secara
de facto, jika aturan itu diimplementasikan, Samarinda terganggu,” ujar Agus.
Pasal 12 ayat 5 Permen ESDM mengatur peruntukkan lainnya dalam reklamasi tahap operasi produksi yaitu area permukiman, pariwisata, sumber air, atau area pembudidayaan.
Menurut Agus, pemanfaatan lain harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu menjaga agar tidak ada korban jiwa, memastikan air layak dikonsumsi, dan menyesuaikan pemanfaatan lahan dengan rencana tata ruang kota.
BLH Kota Samarinda tidak bisa menolak menjalankan ketentuan yang tercantum, baik dalam Permen LH maupun Permen ESDM. Namun Agus menegaskan, BLH bersikap sangat hati-hati.
“Kami masih melakukan kajian komprehensif karena masih khawatir kombinasi Permen LH dengan Permen ESDM di perkotaan. Kalau total diimplementasikan, banyak sekali lubang tambang yang tak perlu ditutup,” tutur Agus.
 Suasana di area pertambangan milik sebuah perusahaan di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. (Dok Greenpeace Indonesia) |
BLH Provinsi Kaltim bahkan sudah terang-terangan menolak menggunakan Permen LH tersebut. Kepala Bidang Pencemaran BLH Kaltim Suyitno mengatakan kepada CNNIndonesia.com, lembaganya telah mengajukan protes kepada KLHK terkait keberadaan indikator ramah lingkungan yang justru menghalalkan pembiaran lubang tambang.
“Kami sudah protes. Ini bertentangan sekali dengan kaidah lingkungan,” kata Suyitno.
Suyitno menyesalkan pemerintah pusat membuat aturan tersebut tanpa melihat secara keseluruhan situasi pertambangan di daerah.
Apalagi aturan itu mendasarkan persentase 20 persen dan 30 persen dari IUP atau luas konsesi. Padahal tidak seluruh izin konsesi yang diberikan dieksplorasi perusahaan.
“Kalau IUP 10 ribu hektare, paling yang dieksplorasi 2 ribu atau 4 ribu ha. Kalau boleh ditinggal 20 persen atau 30 persen, ditinggal semua dong lubang tambangnya? Pasal itu memang kecelakaan, enggak bisa dilakukan di sini,”
Untuk itu, BLH Kaltim menggunakan acuan sesuai kaidah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang memerintahkan agar lubang tambang ditinggalkan sekecil mungkin. Hingga kini, Suyitno belum tahu apa langkah yang akan diambil KLHK terkait aturan yang justru menimbulkan ironi tersebut.
“Kami minta peraturan itu dicabut atau direvisi agar pasal itu tidak digunakan. Tapi sampai sekarang belum tahu bagaimana kelanjutannya,” ujar Suyitno.
Sementara itu, Pasal 9 ayat 2 huruf f Perda Kaltim Nomor 8/2013 menyatakan, rencana sisa lubang tambang akhir harus memiliki luasan maksimal 10 persen dari luasan areal terganggu.
Agus Tri telah menyampaikan kekhawatiran tersebut secara resmi kepada pemerintah pusat. Hasilnya, pusat memberi kelonggaran bahwa setiap ketentuan dikembalikan sesuai kondisi daerah.
Agus juga meminta pusat mengkaji ulang ketentuan dalam Permen LH agar tidak menjadi perdebatan. “Areal terganggu, termasuk lubang tambang yang ditinggalkan perusahaan akhirnya membebani tugas kami,” katanya.
Dia menyebutkan, tak kurang dari 30 persen konsesi tambang di Kota Samarinda berjarak 500 meter. Dari sisi regulasi, hal ini memang dibolehkan oleh Permen LH Nomor 4/2012.
“Tapi dari sisi keuangan, beban perusahaan sebenarnya berat jika dekat dengan permukiman, karena kewajiban mereka menjadi ekstra. Biaya operasional juga lebih besar ketimbang tambang di tengah hutan,” ujar Agus.
Untuk itu, dia mengingatkan agar pejabat berwenang tidak menerbitkan IUP untuk pengusaha yang tidak mampu melestarikan lingkungan. Dia juga berharap perusahaan menghitung ulang biaya tanggung jawab lingkungan yang harus dihabiskan sebelum menambang di sekitar permukiman.
Agus mengingatkan, menutup lubang tambang merupakan bagian dari good mining practice. Dia meminta perusahaan tambang dan publik tidak salah kaprah dengan memasukkan kewajiban menutup lubang tambang dalam anggaran jaminan reklamasi.
“
Good mining practice itu mulai dari
land clearing sampai mengembalikan lahan sebagaimana asalnya. Setelah lahan seperti sediakala, baru dilakukan reklamasi dan pascatambang,” kata Agus.
 Salah satu area lubang tambang milik perusahaan di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Kamis, 25 Agustus 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Penjelasan Agus ini menjawab perbedaan tentang perkiraan biaya reklamasi yang disebutkan Distamben dengan sejumlah pihak. Distamben mengatakan, biaya reklamasi sekitar Rp70 juta per hektare, namun pihak lain memerkirakan angkanya mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah per hektare.
Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Pengenaan Sanksi Administrasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati membenarkan ada toleransi yang diberikan dalam Permen LH terkait lubang tambang. Namun hal itu bukan berarti menghalalkan perusahaan untuk tidak bertanggung jawab terhadap dampaknya.
Dia mencontohkan, 17 lubang tambang yang ditinggalkan PT Cahaya Energi Mandiri (CEM), pemegang IUP di Kelurahan Mugirejo, Kecamatan Sungai Pinang, Kota Samarinda. KLHK telah memberikan sanksi administratif kepada perusahaan dengan luas konsesi 1.680 hektare tersebut—terbesar keempat di Samarinda.
“Kami pakai paksaan agar perusahaan itu menghentikan dulu kegiatan perusahaan di tempat terjadinya pelanggaran dan dia harus menimbun lubang tambang,” kata Vivien kepada CNNIndonesia.com.
Vivien mengaku menerima sejumlah keluhan warga dan lembaga swadaya masyarakat terkait isu lubang tambang di Kaltim. Tapi bagaimana pun, KLHK tidak bisa terlibat terlalu jauh karena tanggung jawab utama persoalan tersebut ada pada pemerintah daerah setempat.
Dia menyatakan, Perda Nomor 8/2013 telah memberi mandat kepada Pemprov Kaltim untuk membentuk Komisi Pengawas Reklamasi dan Pascatambang. Di seluruh Indonesia, hanya Kaltim yang membentuk Komisi Pengawas untuk memantau perusahaan, bukti bahwa persoalan pertambangan sudah sangat serius dan mengkhawatirkan di provinsi seluas 12,72 juta hektare itu.
“Komisi harus memastikan betul semua berjalan, Komisi ini badan independen kok. Yang seperti ini hanya ada di Kaltim, karena mereka risau lubang tambang yang banyak ditinggal,” tutur Vivien.
Ketua Komisi Pengawas Reklamasi dan Pascatambang Kaltim Bambang Sudarmono mengatakan, ketentuan meninggalkan lubang maksimal 10 persen dari area terganggu juga diikuti sejumalh persyaratan berdasarkan Pasal 9 Perda.
Yaitu minimal 80 persen dari over burden dikembalikan ke lubang tambang sesuai sifat batuan: yang berpotensi asam ditaruh di bawah dan di atas untuk yang tidak berpotensi asam, menjaga stabilitas lereng dan menjamin tidak ada longsor, pengelolaan air asam tambang, serta seluruh area revegetasi harus ditaburi tanah pucuk dan ditanami cover crop.
Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur belum rampung melakukan pendataan jumlah lubang bekas pertambangan batubara. Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim yang menyebut angka 3.500 lubang—dan 232 di antaranya ada di Kota Samarinda—tak mau dikonfirmasi oleh Kepala Distamben Amrullah.
Direktur Teknik Lingkungan Direktorat Jenderal Minerba ESDM Muhammad Hendrasto mengakui ada protes dari daerah terkait beleid tersebut. Namun dia menilai hal itu sebagai salah interpretasi di daerah yang bisa terjadi karena kurang sosialisasi.
“Protes itu kami sampaikan juga ke KLHK. Tapi yang dimaksud Permen LH itu bukan berarti membolehkan void 20 persen,” ujar Hendrasto kepada CNNIndonesia.com.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah membenarkan ada persoalan dalam Permen LH tersebut. Peraturan itu dibuat—oleh Deputi Kerusakan Lingkungan—tanpa melihat kondisi pertambangan di Indonesia secara menyeluruh sehingga aplikasinya sulit direalisasikan di daerah, terutama di Kaltim.
"Mereka berpikir, kegiatan pertambangan bisa gali terus tutup lubang saja, padahal di lapangan berbeda. Permen itu sifatnya sangat teoritis dan harus direvisi, mungkin akan mulai tahun depan," kata Karliansyah kepada CNNIndonesia.com.
(asa)