Samarinda, CNN Indonesia -- Panen raya para petani di RT 13, Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, tidak berumur panjang. Setelah delapan tahun menikmati kehidupan sebagai petani, Baharuddin harus bersaing dengan deru mesin dari pertambangan batubara milik CV Arjuna sejak tahun 2008.
Pemilik konsesi tambang batubara keempat terbesar di Kota Samarinda ini mulai mengeruk batubara bermodal karung dan cangkul. Sedikit demi sedikit batubara itu diangkut dengan sarana dan peralatan seadanya.
Saat itu, Baharuddin belum khawatir. Aktivitas pertanian masih berjalan seperti biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rona Kelurahan Makroman pada tahun tersebut memang menggiurkan. Lahan pertanian subur, air mengalir jernih dari puncak Gunung Lampu, melewati lereng-lereng yang rimbun, sebelum akhirnya dapat dikonsumsi warga.
Di sisi lain, bongkahan-bongkahan besar batubara terlihat di antara areal sawah dengan permukiman warga. Menggunakan cangkul, CV Arjuna dengan mudah menemukan emas hitam itu.
“Awalnya, dia ambil batubara pakai karung, pakai cangkul, melibatkan RT, lalu muncul eksavator. Meningkat lagi jadi
dumptruck, diangkut tengah malam. Setelah itu beli lahan 2 hektare, dan sampai seluas sekarang,” kata Bahar.
Pria asal Bugis kelahiran Mei 1961 ini tinggal di sebuah rumah kayu berbentuk panggung di RT 13 Nomor 50 sejak tahun 2000. Dia menjadi Ketua Kelompok Tani Tunas Muda dan menularkan kemampuan bertani kepada warga sekitar—areal sawahnya sekaligus dijadikan tempat penelitian mahasiswa pertanian Universitas Mulawarman.
Bertani menjadi pilihan Bahar ketika tiba di kawasan itu dengan membeli lahan seluas 6 hektare seharga Rp45 juta. Dia membangun kolam budidaya perikanan dan mulai menanam padi.
Setelah enam bulan, Bahar merasakan panen raya pertamanya dan meraup pundi-pundi rupiah sebesar Rp71 juta. Cerita sukses itu terus berlanjut hingga Bahar bisa mengantongi Rp100 juta setiap tahun dari hasil panennya.
Bukan itu saja, Bahar juga memperluas lahannya menjadi 10 ha saat ini. Namun kehadiran CV Arjuna telah memukul hasil panennya—membuat dia harus rela meninggalkan komoditas padi dan beralih menanam cabai untuk tetap menjaga keuntungan.
 Wajah areal pertambangan yang dekat dengan pertanian dan permukiman warga di Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara. (Dok Greenpeace Indonesia) |
Bukan hanya Bahar, ratusan warga Kelurahan Makroman mengalami kerugian yang sama. Areal tambang milik CV Arjuna seluas total 1.452 hektare yang sangat dekat dengan permukiman warga Makroman menjadi penyebabnya.
Bahar mengantar CNNIndonesia.com melihat lokasi tambang milik CV Arjuna yang ditempuh dengan waktu 20 menit berjalan kaki dari rumahnya akhir Agustus lalu. Air bening mengaliri parit-parit kecil di sekitar area pertanian warga.
Namun, warna air itu menipu. Bahar mengatakan, kejernihannya tidak sebaik kualitas sebelum dirusak aktivitas pertambangan.
Setelah mendaki lereng-lereng Gunung Lampu, nampak area tambang batubara milik CV Arjuna. Sekitar pukul 11.00 WITA hari itu, aktivitas menyedot air di kolam lubang tambang sedang dilakukan.
Penyedotan menggunakan mesin agar bisa mencaplok batubara yang berada di bagian ujung kolam. “Sudah sebulan lebih mereka sedot air belum selesai juga,” tutur Bahar.
Luas pertambangan CV Arjuna termasuk lima besar konsesi di Kota Samarinda. Keempat perusahaan lainnya yaitu PT Internasional Prima Coal seluas 3.238 ha; PT Nuansacipta Coal Investment seluas 2.003 ha; PT Energy Cahaya Industritama memiliki 1.977 ha, dan PT Cahaya Energi Mandiri mengantongi izin di atas lahan 1.660 ha.
CV Arjuna hanya salah satu dari 58 pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP) di Kota Samarinda. Perusahaan ini mulai menggali emas hitam di Kelurahan Sambutan, Makroman, Pulau Atas dan Sungai Siring, Kecamatan Sambutan dan Samarinda Utara, pada 2007 setelah mengantongi IUP.
Di lokasi yang berjarak sekitar 19 kilometer dari pusat kota Samarinda, CV Arjuna membagi lahan konsesinya dalam dua blok yaitu blok I seluas 695 hektare dan blok II 902 ha dengan mempekerjakan tiga kontraktor yaitu PJP, SRP, dan JKU.
Namun, masalah batubara tak hanya soal lahan.
Pemerintah sebenarnya tak punya data pasti berapa luas area konsesi tambang batubara di provinsi itu. Ada perbedaan data mencolok yang menggambarkan betapa tidak teraturnya pemerintah kabupaten, kota, provinsi, hingga pusat dalam menerbitkan dan mengawasi izin pertambangan.
Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Kalimantan Timur, misalnya, memiliki perbedaan dengan Komisi Pengawas Reklamasi dan Pascatambang Pemprov Kaltim. Distamben menyatakan, jumlah IUP batubara dan mineral lainnya di provinsi itu “hanya” mencapai 5,22 juta hektare dengan total izin 1.422 hingga April lalu.
Jumlah itu terdiri dari IUP eksplorasi sebanyak 684 izin dengan luas 2,78 juta ha serta Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebanyak tujuh izin dengan luas 251 ribu ha. Sementara IUP OP sejumlah 488 izin dengan luas 1,06 juta ha serta 23 PKP2B untuk OP seluas 754 ribu ha.
“Lebih dong (dari 5,2 juta ha). Itu sekitar 12 juta hektare. Mungkin data dari Distamben lebih tepat karena laporan masuk ke meja mereka. Tapi yang pasti, eksplorasi pasti lebih besar dari operasi produksi,” Ketua Komisi Pengawas Bambang Sudarmono kepada CNNIndonesia.com.
 Area tambang masih menyisakan bongkahan batubara. Perusahaan sedang melakukan penyedotan air untuk melanjutkan menambang di Makroman, Samarinda Ilir, Selasa (23/8/2016). (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Bukan hanya itu saja. Perbedaan lain juga ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada data produksi dan ekspor batubara tahun 2012. Perbedaan itu membuat ada potensi penerimaan pajak yang hilang mencapai Rp28,5 triliun pada tahun tersebut.
“Terdapat indikasi bahwa tidak semua eksportir batubara Indonesia melaporkan ekspornya, baik kepada Kementerian ESDM maupun dalam SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan pajak),” demikian keterangan KPK.
Merujuk Pasal 105 ayat 4 dan Pasal 110 UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Minerba, badan usaha berkewajiban melaporkan hasil penjualan minerba kepada menteri, gubernur, serta bupati atau wali kota. Bagi yang melanggar dan menyampaikan laporan palsu, dikenai sanksi pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda Rp10 miliar.
Soal ini, Ketua Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Sektor Minerba KPK Dian Patria mengatakan, koordinasi dan supervisi (korsup) minerba berlanjut terus hingga menyasar ke 32 provinsi di Indonesia.
“Perbedaan data itu satu persoalan, ada banyak pelanggaran lainnya. Kami meminjam istilah ‘legal tetapi tidak
legitimate’,” ujar Dian saat diskusi dengan media, 30 Agustus lalu.
Pelanggaran lain yang dimaksud Dian yaitu pelanggaran pajak, pelanggaran kehutanan dan lingkungan, dan carut marut izin yang seluruhnya seolah tanpa sanksi. Selain itu, ada pula pengabaian kewajiban keuangan oleh korporasi seperti penempatan dana jaminan reklamasi, jaminan pascatambang, jaminan kesungguhan, hingga jaminan lingkungan.
Poin penting lain yang disoroti dalam pengelolaan pertambangan yaitu proses lelang ketika penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Hal itu sesuai perintah Pasal 90 UU 4/2009 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12/2011 tentang tata Cara Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan dan Sistem Informasi Wilayah Pertambangan Minerba.
Namun di Kaltim, kata Kepala Distamben Pemprov Kaltim Amrullah, lelang WIUP belum pernah dilakukan lantaran sejak hal itu diatur dalam UU 4/2009, provinsi tersebut tidak lagi menerbitkan IUP. Selain moratorium yang diterbitkan pusat, Gubernur Awang juga memerintahkan untuk menghentikan penerbitan izin pertambangan melalui Surat Edaran Nomor 180/1375-HK/2013 yang ditujukan kepada bupati dan wali kota se-Kaltim.
"Proses lelang WIUP belum berjalan karena penyisiran perusahaan tambang berstatus
Clean and Clear (CnC) masih belum selesai kami lakukan. Selain itu juga memang tidak ada izin (pertambangan) baru jadi bagaimana lelang mau berjalan," ujar Amrullah kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Amrullah, proses lelang WIUP berlaku bagi pengajuan izin pertambangan baru. Sementara selama ini, izin menambang hanya berupa perpanjangan atau peningkatan status dari IUP eksplorasi menjadi IUP operasi produksi.
Secara umum, UU 4/2009 telah mengatur ketentuan pidana bagi “setiap orang yang mengeluarkan IUP, Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan IUP Khusus yang bertentangan dan menyalahgunakan kewenangan". Sebagaimana diatur dalam Pasal 165, sanksi pidana paling lama dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp200 juta.
Di sisi lain, Amrullah mengakui ada sejumlah persoalan dalam pertambangan di Kaltim. Namun dia menolak menjelaskan lebih jauh lantaran masih melakukan pendataan terhadap persoalan-persoalan tersebut.
“Prioritas kami sekarang mendata, dilakukan inventarisasi, jadi satu per satu persoalan bisa diselesaikan,” kata Amrullah.
Ketika Distamben masih sibuk mendata, kehancuran yang nyata sudah terjadi. Dan Bahar menjadi saksi bagaimana batubara mengubah kehidupan warga Kelurahan Makroman.
Menurut Bahar, bukit dan hutan yang mengelilingi areal persawahan warga mulai gundul setelah kedatangan CV Arjuna. Perusahaan ini bahkan beroperasi hingga 24 jam, menghasilkan deru eksavator dan kepulan debu dari emas hitam.
 Sebuah alat berat sedang dioperasikan di areal pertambangan untuk menimbun kembali bekas lubang tambang di Kutai Kartanegara, Kamis, 25 Agustus 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Aktivitas tambang CV Arjuna mendapat perlawanan alot dari Bahar. Dia menolak pertambangan karena asam tambang mencemarkan air bersih untuk irigasi pertanian, pertambakan, mandi, mencuci, dan konsumsi warga.
“Saat hujan deras, banjir itu bukan cuma air tapi bercampur lumpur. Ikan mati, tidak bisa lagi mengharap dari budidaya perikanan,” kata Bahar.
Tak ternilai berapa ratus hektare areal sawah yang tercemar lantaran aktivitas pertambangan. Belum termasuk dampak tak langsung warga yang terang-terangan menjual tanah garapannya untuk ditambang. Kini, sebagian mereka harus puas menjadi buruh tani setelah uang ratusan juta hasil menjual tanah sudah habis.
Menghasilkan gabah kering seberat 7 ton untuk sekali panen kini tinggal cerita.
“Dulu penghasilan saya sekitar Rp100 juta per tahun, tapi sekarang enggak bisa diprediksi,” Bahar berkisah.
Belum cukup dengan konsesi yang ada saat ini, CV Arjuna juga mengincar 10 ha lahan milik Bahar. Perwakilan CV Arjuna menawarkan uang Rp5 miliar untuk mendapatkan tanahnya, tapi dia menolak.
Bersama setidaknya 150 orang warga lain, Bahar kerap melakukan demonstrasi. Selain Kelompok Tani Tunas Muda yang dia pimpin, dua lainnya yaitu Kelompok Tani Karang Anyar dan Kelompok Budi Daya Ikan Terpadu juga ada dalam barisan para demonstran yang menolak hingga menggugat CV Arjuna.
“Target kami melakukan demo itu supaya bekas tambang semua direklamasi. Sekarang lubang ada di mana-mana, saat ini ada 11 lubang di Makroman yang belum ditutup. Kami juga ingin dampak lingkungan juga diatasi,” ceritanya.
Selain RT 13 yang didiami Bahar dengan 97 kepala keluarga lainnya, RT 17 dan RT 18 juga,terdampak langsung oleh aktivitas tambang CV Arjuna. “Yang paling parah memang RT 13,” tutur Bahar.
Bukan hanya aksi, melalui Gerakan Samarinda Menggugat, para korban tambang mengajukan gugatan warga negara di Pengadilan Negeri Samarinda, 23 Juni 2013. Gerakan ini menggugat Wali Kota Samarinda, Gubernur Kaltim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM, dan DPRD Kota Samarinda.
Pada Juli 2014, mereka memenangkan gugatan.
Dalam putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim PN Samarinda Sugeng Hiyanto, para tergugat dinyatakan bersalah karena lalai melaksakan kewajiban menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pengadilan menghukum tergugat untuk menerbitkan kebijakan meliputi evaluasi seluruh izin tambang yang telah dikeluarkan.
Atas putusan itu, Pemkot Samarinda mengajukan banding, namun belum ada tindak lanjutnya hingga kini.
Bahar terus mengkhawatirkan dampak pertambangan hingga hari ini. Rumah Bahar seakan menjadi perisai terakhir melindungi areal sawah di Kelurahan Makroman dari tambang si emas hitam.
(asa)