LAPORAN KHUSUS

Lubang Tambang Bertebaran di 'Perumahan Jokowi'

Rosmiyati Dewi Kandi | CNN Indonesia
Kamis, 08 Sep 2016 09:56 WIB
Sejak izin usaha pertambangan diterbitkan di Kaltim, Komisi Pengawas mencatat, belum ada yang berhasil melakukan reklamasi dan pascatambang. Perusahaan kabur.
Suasana di area pertambangan milik PT Kitadin di Embalut, Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. (Dok Greenpeace Indonesia)
Samarinda, CNN Indonesia -- Minibus sewaan yang mengantar tim CNNIndonesia.com tiba di Jalan Kalan Luas RT 17, Desa Lubuk Sawah, Kelurahan Mugirejo, Kecamatan Sungai Pinang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, 23 Agustus 2016.

Pintu belum lagi terbuka sempurna ketika terlihat seorang lelaki berkulit gelap dengan perawakan agak gemuk menatap ke arah minibus.

Fotografer urung menurunkan peralatan untuk memotret lubang tambang yang berjarak tak kurang dari 50 meter di sisi kanan minibus. Lubang itu merupakan bekas lokasi tambang milik PT Cahaya Energi Mandiri (CEM).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lelaki itu terus memerhatikan gerak-gerik, seolah mengawasi. Sambil terus berbicara di telepon, matanya awas menatap rombongan yang menumpang minibus.

Dewi Sartika, warga Jalan Kalan Luas RT 17, Kelurahan Mugirejo, berbisik, pria itu merupakan salah seorang karyawan PT CEM. “Preman perusahaan sudah biasa mengikuti,” bisik Dewi.

Karyawan PT CEM itu duduk di atas sepeda motornya, tak sampai 10 meter dari lokasi mobil di parkir. Tak jauh dari dia juga terlihat lubang tambang memanjang.

Rencana memotret dan berlama-lama di areal itu batal. Tim bergegas meninggalkan lokasi setelah sekitar 10 menit kemudian karyawan PT CEM tak juga beranjak.

Menurut Dewi, aparat setempat bukan tidak tahu ada preman di kampung mereka yang dulu tenang, jauh sebelum perusahaan tambang datang. Namun hal itu tidak lantas membuat Ketua Rukun Tetangga, Lurah, dan Camat tergerak untuk melakukan sesuatu.

"Mereka bilang ada preman di sini, bawa parang. Kami ini di kampung sendiri, kenapa kami diamankan di kampung sendiri? Kalau memang ada preman di sini, kenapa bukan preman itu yang disuruh pergi dari kampung kami?” kata Dewi.
Dewi merasa kecewa dengan perangkat pemerintah yang ada di desanya. Alih-alih melindungi warga, Ketua RT, Lurah, hingga Camat malah kompak mendukung keberadaan tambang yang dianggap telah merugikan warga RT 17.

Dewi Sartika berdiri di dekat bekas lahan tambang batubara yang sudah dipagar kawat renggang di Mugirejo, Samarinda Ilir, Kalimantan Timur, Selasa, 23 Agustus 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Lurah dan Camat bahkan pernah mengaku tidak tahu keberadaan PT CEM yang menambang batubara di desa itu. Dewi menyoroti kerusakan lingkungan yang secara langsung mengganggu perekonomian dan pertanian warga.

Bisnis rengginang dan dendeng daun singkong yang dilakukan Dewi melalui Kelompok Wanita Tani (KWT) kandas lantaran debu tambang mengganggu produksi. Padahal dua produk tersebut merupakan unggulan KWT yang sudah meneken kontrak dengan supermarket Giant dan Hypermart.

Pada 2014 hingga menjelang lebaran tahun ini, omzet Dewi atas penjualan rengginang dan dendeng daun singkong mencapai Rp6 juta setiap pekan. Namun kini, Dewi terpaksa mengubah produksinya menjadi tingting kacang dan sambal pecel. Omzetnya pun tak menentu.
“Karena bahan rengginang dan dendeng harus dijemur sebelum diproduksi. Saya sudah tidak bisa lagi menjemur karena debu tambang sampai ke rumah,” Dewi berkata lirih.

Dewi adalah salah seorang warga yang aktif menolak keberadaan tambang. Ibu tiga anak kelahiran Januari 1976 ini ingin lingkungan desanya yang asri sebelum kehadiran PT CEM kembali lagi.

Dia ikut bersama warga yang melaporkan PT CEM ke Distamben Kaltim, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Samarinda, wali kota, dan gubernur.

Mereka melaporkan, jarak areal tambang PT CEM yang terlalu dekat dengan permukiman menimbulkan kebisingan karena perusahaan itu beroperasi penuh selama 24 jam, debu kegiatan tambang mengancam kesehatan dan menghancurkan kegiatan ekonomi warga, merusak areal pertanian, menyebabkan krisis air di musim kemarau, dan menciptakan banjir lumpur di musim hujan.
Rumah Dewi di RT 17 hanya berjarak tak lebih dari 200 meter dari lokasi tambang baru milik PT CEM. Aktivitas tambang itu baru dimulai lagi pada akhir Juni 2016, dan lagi-lagi warga tidak dilibatkan sebelum izin usaha pertambangan (IUP) diterbitkan Pemerintah Kota Samarinda.

Informasi terakhir yang diperoleh Dewi, areal tambang tersebut sudah masuk ke tahap pematangan lahan.

“Kami enggak tahu pematangan lahan itu apa. Yang kami tahu, lubang-lubang bekas tambang PT CEM di lokasi sebelum-sebelumnya masih belum direklamasi. Kenapa tidak direklamasi dulu, malah sudah buka lagi,” Dewi gusar.

Lubang tambang tanpa pagar pengaman yang dijaga karyawan PT CEM tadi kedalamannya diperkirakan mencapai 80 meter. Lubang itu bukan yang pertama.

Masih di kawasan RT 17, lubang lainnya mengaga lebar, berjarak tak lebih dari 100 meter dari ‘perumahan Jokowi’. Demikian warga menyebutnya lantaran merupakan proyek yang digagas Presiden Joko Widodo.

Lubang itu dikelilingi pagar kawat yang sangat renggang—masih memungkinkan anak-anak meloloskan badannya ke area berbahaya itu. Satu papan bertuliskan “AWAS BAHAYA” rebah di tanah.

‘Perumahan Jokowi’ yang dibangun mulai Februari 2016 khusus untuk warga berpenghasilan rendah itu terlihat mangkrak. Sejumlah pekerja mengaku tidak menerima gaji selama dua bulan beruntun.

Lokasi pertambangan yang sangat dekat dengan permukiman warga jelas melanggar aturan. Berdasar Peraturan Menteri LHK Nomor 4/2014 tentang Parameter Ramah Lingkungan, jarak minimal pertambangan dengan permukiman minimal 500 meter.
BLH Samarinda mencatat, sekitar 30-40 persen aktivitas pertambangan telah memberi dampak negatif bagi lingkungan, dan tak kurang dari 30 persen berada dalam jarak sangat dekat dengan permukiman.

Prinsip keseimbangan ekonomi dan lingkungan yang seharusnya diterapkan perusahaan tambang tidak dilakukan, terutama di area tambang yang dekat dengan permukiman.

Warga bermain di 'perumahan Jokowi' yang terhenti pembangunannya di Mugirejo, Samarinda Ilir, Kalimantan Timur, Selasa (23/8/2016). (CNN Indonesia/Safir Makki)
Sekretaris BLH Kota Samarinda Agus Tri mengatakan, perusahaan yang memiliki konsesi di dekat permukiman seharusnya menghitung ulang biaya operasional dan syarat izin lingkungan sebelum menambang. Karena dipastikan, biayanya akan lebih besar dibanding menambang di tengah hutan.

Dia mencontohkan, perusahaan tambang di areal permukiman harus membuat settling pond (unit pengolahan air limbah) yang biayanya mencapai Rp500 juta. Angka yang lebih sering dianggap berat oleh perusahaan.

Namun jika perusahaan membuat settling pond kurang optimal, maka dampak buruk akan langsung menimpa warga sekitar seperti lumpur yang menimpa pertanian warga, merusak kualitas air, serta kerugian immateril lainnya.

“Sering kali, biaya yang dikeluarkan untuk mengganti kerugian warga jauh lebih besar dari biaya membuat settling pond yang optimal, dan ini banyak terjadi,” katanya.

Untuk itu, Agus meminta, jika pengusaha tidak mampu melestarikan lingkungan, seharusnya pejabat berwenang tidak menerbitkan IUP untuk perusahaan tersebut.

“Permen LH memang membolehkan aktivitas tambang dalam radius 500 meter dari permukiman, namun kewajiban yang harus dijalankan perusahan juga lebih banyak,” tuturnya.

Agus mengingatkan, menutup lubang tambang merupakan bagian dari good mining practice. Dia meminta perusahaan tambang dan publik tidak salah kaprah dengan memasukkan kewajiban menutup lubang tambang dalam anggaran jaminan reklamasi.

Good mining practice itu mulai dari land clearing sampai mengembalikan lahan sebagaimana asalnya, jadi otomatis lubang tambang itu harus ditutup tanpa membebankan ke biaya reklamasi. Kecuali peruntukkannya lain,” kata Agus.
Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, PT CEM mengantongi IUP operasi produksi batubara di sejumlah lokasi yaitu Kelurahan Sungai Siring, Sungai Pinang Dalam, Sambutan dan Tanah Merah Kecamatan Samarinda Ilir dan Samarinda Utara. Perusahaan ini memiliki SK IUP nomor 545/315/HK-KS/VI/2010 dengan luas 1.680 hektare.

Dengan konsesi itu, PT CEM tercatat sebagai perusahaan terbesar keempat di Kota Samarinda untuk menambang batubara. IUP PT CEM akan berakhir pada 30 April 2018.

Dari luas konsesi PT CEM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, ada 17 kolam tambang perusahaan itu. Satu di antaranya memakan korban yaitu Ardi bin Hasyim, bocah berusia 13 tahun, yang ditemukan tewas mengambang di lubang di Kelurahan Sambutan, Kecamatan Sambutan, 25 Mei 2015.

KLHK sempat menyegel PT CEM pada 22 Maret lalu. Namun saat ini, PT CEM masih beroperasi. Bahkan salah satu lokasi penambangan baru milik perusahaan itu baru dimulai pada akhir Juni lalu, berada tepat di sebelah rumah Dewi.

Konfirmasi yang dikirimkan CNNIndonesia.com melalui email kepada PT CEM hingga kini belum direspons.

Terkait pertambangan, KLHK pernah melakukan kajian valuasi ekonomi. Dari valuasi yang dilakukan terhadap sembilan kabupaten di Indonesia, pertambangan dianggap merugikan bagi lingkungan, kesehatan masyarakat sekitar, serta kerusakan sosial dan ekonomi.

Kerugiannya tak tanggung-tanggung, mencapai ribuan triliun rupiah. Dua dari sembilan kabupaten yang dikaji KLHK adalah Kutai Kartanegara dan Kutai Timur di Kaltim.

Reklamasi dan pascatambang yang sesuai ketentuan seharusnya dapat menjadi jawaban atas persoalan lubang tambang. Tapi Provinsi Kaltim memang berstatus darurat untuk kedua kewajiban tersebut.

Hal itu diakui Ketua Komisi Reklamasi dan Pascatambang Daerah Kaltim Bambang Sudarmono. Komisi Pengawas juga mengakui PT CEM sebagai salah satu perusahaan tambang yang meninggalkan jejak lubang seabrek-abrek.

“Darurat dari aspek kesehatan, keselamatan kerja, lingkungan hidup, dan sosial,” kata Bambang kepada CNNIndonesia.com.

Sebuah alat berat meratakan tanah untuk menimbun kembali bekas lubang tambang milik sebuah perusahaan di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Kamis, 25 Agustus 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Di atas kertas, kata Bambang, aturan reklamasi dan pascatambang jelas yaitu melakukan upaya stabilisasi lereng gunung, melakukan pengamanan, pengelolaan air asam tambang, serta pemanfaatan lahan bekas tambang.

Dia meyakini perusahaan memiliki itikad baik untuk melakukan hal itu. “Tapi perusahaan memang kurang memahami prinsip reklamasi, bagaimana parameter penilaiannya, bagaimana yang berhasil,” ujar Bambang.
Sejak izin usaha pertambangan diterbitkan di Kaltim, Komisi Pengawas mencatat, belum ada IUP yang berhasil melakukan reklamasi dan pascatambang.

Seorang sumber bahkan menyebut, banyak IUP yang sudah tutup diam-diam. Tanpa laporan, tanpa reklamasi, apalagi pascatambang. “Setahu saya kabur saja, meninggalkan lokasi, dicari tidak tahu ke mana,” bisik sumber tersebut.

Dia mengatakan, Distamben seharusnya bisa menjadi pelapor atas dasar pembiaran perusahaan tidak melaksanakan aturan pertambangan mengacu pada UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan PP Nomor 78/2010 tentang Reklamasi Dan Pascatambang.

“Itu kewajiban perusahaan mengakhiri usaha tambang dengan baik. Lapor saja pihak berwajib, jadi tindakan kriminal. Saya enggak tahu apakah sudah ada yang dibawa ke ranah hukum atau belum,” katanya.

Sumber itu menyatakan, dari sisi pengawasan jelas sangat lemah. Dia mencontohkan, jika sebuah perusahaan ingin meminta perpanjangan IUP, maka dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi. Hasil evaluasi mengungkapkan, dari IUP seluas 100 ha, namun meninggalkan lubang 40 ha.

“Makanya dari sisi pengawasan lemah, kok bisa ada lubang seluas itu? Kalau pengawasan berjalan, enggak bisa ada lubang segitu. Lantas IUP itu berarti tidak layak diperpanjang. Tapi dilema juga, kalau tidak diperpanjang, siapa yang tanggung jawab sama kolam lubang tambang itu?” tuturnya.

Kepala Distamben Pemprov Kaltim Amrullah mengakui, persoalan utama pertambangn di daerahanya adalah reklamasi dan pascatambang.

Dana penempatan jaminan reklamasi (jamrek) menurut data Distamben sebesar Rp494,18 miliar dan US$120 ribu per akhir tahun 2015. Jaminan pascatambang sebesar Rp107,23 miliar dan US$559 ribu di periode yang sama. Jumlah tersebut untuk membiayai 338 IUP jamrek dan 98 IUP pascatambang.
Namun Amrullah tak menjelaskan lebih detail atas nama perusahaan mana saja dana-dana tersebut dan untuk berapa luas area lubang tambang. Lupa, Amrullah beralasan.

Menurut Amrullah, Distamben masih dalam tahap melakukan identifikasi masalah dan melaporkannya setiap tiga bulan sekali kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Koordinasi Supervisi (Korsup) Minerba.

“Kami sudah bersurat ke seluruh perusahaan, 1.172 yang operasi produksi 448 dan eksplorasi 684. Perusahaan memang tidak melaksanakan kewajiban, tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan,” Amrullah mengakui.

Amrullah berjanji, Distamben akan terus memburu perusahaan yang mengabikan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Jika peringatan Distamben tidak diindahkan, dia memastikan perusahaan tersebut akan dituntut secara hukum.

Hal yang sama juga akan dilakukan Dewi Sartika. Dia tidak akan berhenti melakukan demonstrasi dan menindaklanjuti laporannya.

Pada 2 September lalu, rumah Dewi kedatangan tamu dari BLH Kota Samarinda dan perwakilan PT CEM, mengajak berdamai dan menawarkan bantuan.

Perempuan itu menolaknya. (asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER