Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Suara bising bus kota berwarna oranye itu mulai akrab dengan telinga saya sejak 2014, ketika saya memutuskan pindah ke Jakarta untuk bekerja.
Menumpang Metromini bisa dikatakan sangat tidak enak, tapi sulit untuk melepasnya.
Lahir dan besar di Bandung, saya kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan hawa ibu kota yang menyengat. Parahnya, suhu di dalam bus uzur itu rasanya jauh lebih panas, bak dimasak dalam oven.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deru dan panas menjalar dari mesin yang berada tepat di perut mobil, di tengah-tengah impitan penumpang.
Pada jam sibuk, bus berukuran sedang itu bisa terisi penuh penumpang, hingga ke bagian pintu.
Belum lagi, saya mesti berlama-lama berada dalam "pemanggang" berjalan itu karena kemacetan di jalan yang rutin terjadi setiap hari.
Keringat mengucuri sekujur tubuh saya yang berdiri berdempetan dengan para penumpang lain.
Ingar-bingar suara mesin terdengar, ditambah suara pengamen yang tak selalu senada dengan petikan gitarnya.
Kelihaian para copet sudah jadi pemandangan biasa di sini, dan saya sendiri pun beberapa kali hampir jadi korban trik licik mereka.
Saat itu saya pikir, saya benci bus kota dan tidak akan menaikinya lagi. Saya benci kota ini.
Terkadang saya juga bertanya-tanya, bagaimana bisa masyarakat Jakarta bertahan menggunakan bus itu.
Ada alternatif lain untuk orang-orang yang tidak mau mengalami pengalaman suram seperti yang saya alami: TransJakarta.
Bus besar yang mempunyai lajur khusus itu tentu lebih banyak terhindar dari kemacetan (meski di ruas tertentu seperti Sudirman dan Semanggi terpaksa berbaur dengan kendaraan pribadi).
Otomatis, waktu tempuh dengan TransJakarta jadi lebih singkat. Selain itu, meski bus penuh pada waktu-waktu tertentu, kabin yang ber-AC membuat perjalanan sedikit lebih nyaman dibanding bus biasa.
Saya tentu akan memilih menggunakan bus dingin dan bebas asap rokok itu kapan saja, ketimbang menaiki kendaraan tua yang compang-camping.
Sialnya, pekerjaan sebagai wartawan memaksa saya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan cepat, setiap hari.
Meski lebih nyaman, bus TransJakarta masih belum bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan ini.
 Penumpang antre menunggu bus TransJakarta di halte Monumen Nasional, Jakarta. (ANTARA FOTO/Reno Esnir) |
Jarak antarbus TransJakarta yang jadi kendaraan andalan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu belum bisa konsisten. Kadang tak butuh waktu sampai lima menit untuk menunggu bus di halte. Namun jika sedang sial, saya bisa menunggu hingga satu jam lamanya.
Belum lagi rute
busway juga masih terbatas. Jalan-jalan utama di Jakarta memang bisa dengan mudah dilibas. Namun untuk tempat-tempat tertentu, saya masih harus bergelantungan di bus Metromini.
Setahun belakangan, saya ditugaskan untuk meliput di Mabes Polri, Blok M, Kebayoran Baru. Untuk bisa mencapai tempat itu menggunakan TransJakarta dari tempat tinggal saya di Mampang Prapatan, saya mesti menumpang rute Ragunan-Dukuh Atas dan transit ke arah Blok M, memakan waktu 1,5 jam.
Untuk bisa mencapai Mabes Polri dengan cepat, saya mesti menaiki bus Metromini. Itu pun tidak secepat yang dibayangkan.
Menumpang bus Metromini 75 melewati Mampang Prapatan dan Tendean yang selalu padat, saya terpaksa berpanas-panasan selama satu jam untuk menempuh jarak yang sebenarnya bisa dihabisi dalam 15 menit tanpa kemacetan.
Meski sudah dua tahun menggunakan kendaraan ini pun, rasanya sama saja seperti kali pertama saya menginjakkan kaki di Jakarta: panas dan bising.
TransJakarta memang sudah menambah armada dan rute untuk mencapai lebih banyak tempat dengan lebih cepat. Namun, untuk saya pribadi, itu masih belum cukup.
Meski membenci habis-habisan, pada akhirnya saya masih tetap harus bergantung dan bergelantung pada bus kota untuk mencapai tempat kerja saya sehari-hari. Tidak ada pilihan lain.