LAPORAN KHUSUS

Tahun 1965, Awal Kemacetan Abadi Jakarta

Yuliawati, Rinaldy Sofwan Fakhrana | CNN Indonesia
Rabu, 14 Sep 2016 09:01 WIB
Gejala kemacetan di Jakarta sudah terlihat sejak 1965. Pemerintah lambat dalam membuat kebijakan transportasi publik. Kemacetan pun makin parah, sulit diatasi.
Ribuan kendaraan terjebak kemacetan di ruas tol dalam kota, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kemacetan di Jakarta bukan hal baru. Sebuah berita pada Juli 1965 melaporkan lalu lintas ibu kota yang mulai merayap.

“Seorang rekan wartawan tinggal di Senayan, Kebayoran. Orangnya gesit tak suka ‘menyeleweng’ di jalan. Setiap pagi berangkat dari rumah dengan mobil jam 7.15 sampai di kantornya, Pintu Besar Selatan, jam 08.00. Berarti 45 menit. Jarak Senayan-Pintu Besar Selatan 12 kilometer. Jadi gerak mobil itu per jamnya hanya 16 kilometer, sama dengan kecepatan sepeda.”

Paragraf di atas adalah penggalan dari berita harian Kompas, Senin 5 Juli 1965, yang kala itu laporannya masih menggunakan ejaan lama. Berita tersebut menunjukkan betapa kemacetan sebagai problem klasik di Jakarta, gejalanya sudah tampak sejak 1965.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini, 51 tahun kemudian, problem yang sama masih menghantui ibu kota. Bahkan permasalahannya makin parah seiring bertambahnya penduduk, sementara jumlah penggunaan kendaraan pribadi meningkat dan tak ada sistem transportasi massal.

Pada masa 1960-an, dari berbagai laporan berita pada masa itu, kemacetan disebabkan infrastruktur jalan yang minim, jumlah kendaraan pribadi yang terus bertambah, ketiadaan tempat parkir khusus, dan ketidaktertiban para pengguna di jalan. Ketika itu, becak adalah kendaraan yang paling banyak hilir mudik di ibu kota.

“Pada masa itu kemacetan disebabkan jalanan dipenuhi becak dan sepeda yang berlalu lintas tidak teratur dan semrawut,” kata Darmaningtyas, Direktur Institut Studi Transportasi (Instran) kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

Becak atau kendaraan beroda tiga yang digenjot dengan tenaga manusia, masuk Jakarta mulai 1930-an. Awalnya sebagai alat angkut dagangan para tauke (pedagang Tionghoa) yang kemudian berubah fungsi mengangkut manusia.

Becak di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, tahun 1968. (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia Commons CC BY-SA 3.0)
Sejak 1967, Gubernur Ali Sadikin mengusulkan penghapusan becak. Pada 1983, di bawah kepemimpinan Gubernur DKI R Soeprapto, tercatat ada 39 ribu becak di Jakarta, baik resmi dan nonresmi.

Dua tahun setelah menginventarisir becak, Soeprapto pada 1985 untuk pertama kalinya membuang sekitar 5 ribu becak ke Teluk Jakarta sebagai rumpon atau alat bantu penangkapan ikan.

Selain menghapus becak, pemerintah pada masa Presiden Soeharto membangun jalan layang kereta dari Stasiun Manggarai hingga Stasiun Kota. Pembangunan jalur ganda dimulai 1988 dan selesai 1992. Pembangunan itu mampu mengurangi kemacetan dan kecelakaan di perlintasan kereta api.

Sayangnya pelintasan jalur layang rel kereta api hanya berhenti dari Manggarai hingga Kota sepanjang 6,7 kilometer. Padahal perlintasan rel kereta api ini menimbulkan kemacetan mulai Bogor-Manggarai, juga Serpong-Tanah Abang.

Pada masa Orde Baru, pemerintah memilih membangun jalan layang dan jalan tol daripada membangun sistem transportasi massal. Ketiadaan sistem transportasi massal yang memadai menyebabkan penduduk Jakarta dan daerah pinggirannya memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Keterlambatan sistem transportasi massal

Rencana Jakarta memiliki sistem transportasi massal yang bergerak cepat dan mengangkut banyak orang, muncul sejak 1987 dari kalangan luar pemerintahan.

“Kesempatan membangun sistem transportasi massal itu masa 1980-an saat ada booming minyak.” Ellen Tangkudung, Ketua Dewan Transportasi Jakarta.
Wacana ini berlanjut dengan studi Consolidated Network Plan (CNP) pada 1993 yang merekomendasikan Mass Rapid Transit (MRT) atau angkutan massal cepat sebagai pilihan yang paling layak bagi Jakarta.

“Kesempatan membangun sistem transportasi massal itu masa 1980-an saat ada booming minyak. Banyak uang seharusnya dapat digunakan untuk fokus ke angkutan umum,” kata Ketua Dewan Transportasi Jakarta, Ellen Tangkudung, kepada CNNIndonesia.com.

Pemerintah pun menyambut hasil studi itu dan mengatakan akan memulai proses angkutan massal bawah tanah pada 1997.

Di sela-sela diskusi soal MRT, berkembang juga wacana pembangunan O-bahn atau bus cepat dengan jalur bus dan kereta yang ditemukan Daimler Benz, sebuah produsen kendaraan asal Jerman.

Rencana ini muncul hampir berbarengan dengan pembangunan triple decker atau jalan layang tiga susun pada 1997. Proyek jalan layang tiga susun itu disebut sebagai kombinasi antara jalan layang tol dengan Light Rail Transit (LRT), dari Cinere hingga ke Stasiun Kota.

Proyek ini diajukan Siti Hardiyanti Rukmana --anak presiden Soeharto-- lewat perusahaan Citra Lamtorogung Persada Group.

Sayangnya semua rencana itu tak sampai tahap eksekusi. Pembicaraan yang berlarut itu terhenti pada 1998 karena negara terhantam krisis ekonomi.

Pascakrisis, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso yang memimpin Jakarta 1997-2007, memunculkan ide pembangunan subway atau angkutan rel di dalam terowongan pada 2000.

Sutiyoso mengatakan akan memulai pembangunan pada 2001, dari Jalan Fatmawati hingga Jakarta Kota. Biaya yang diperlukan US$1,75 miliar dengan 60 ribu tenaga kerja.

Namun rencana pembangunan subway itu pun tak berlanjut ke tahap eksekusi.

Sutiyoso kemudian memilih membangun monorel pada 2004, namun lagi-lagi berhenti saat proses pembangunan tiang beton. Tiang-tiang itu hingga kini teronggok di Jalan Asia Afrika, Senayan, dan Jalan Rasuna Sahid, Kuningan.

Sejumlah kendaraan melintas di antara tiang monorel yang terhenti pembangunannya di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Ketika pemerintah Jakarta berhenti pada wacana membangun sistem transportasi massal, beberapa negara di Asia Tenggara mengimplementasikannya.

Singapura yang pertama kali membangun sistem Mass Rapid Transit (MRT) mulai 22 Oktober 1983, dan beroperasi 1987. Sistem transportasi di negara itu dilanjutkan dengan pembangunan LRT yang beroperasi mulai 6 November 1999.

Bangkok, ibu kota Thailand yang memiliki persoalan hampir sama dengan Jakarta, berhasil membangun jalur kereta bawah tanah yang dioperasikan mulai 2004, juga skytrain pada 1999.

“Setelah krisis, pemerintah tidak berencana untuk membangun angkutan massal, malah membangun yang lain, sehingga tidak fokus menyelesaikan masalah angkutan massal,” kata Ellen.

Sistem Bus Rapid Transit (BRT) atau dikenal dengan Busway Transjakarta adalah salah satu langkah perbaikan angkutan massal di Jakarta. Namun sistem busway yang dioperasikan mulai 2004 ini pun tak berjalan mulus. Proyek pengadaan kendaraan sempat terjerat kasus korupsi.

Meski busway menunjukkan perbaikan sarana angkutan massal, namun tidak cukup untuk menyelesaikan kemacetan di Jakarta.

Bahkan, beberapa tahun terakhir, Jakarta kerap didaulat sebagai kota dengan kemacetan yang parah. Pada pertengahan 2015, hasil survei Castrol Magnetec dengan menghitung Stop-Start Index memosisikan Jakarta sebagai juara macet.

Hasil riset perusahaan oli itu menyebutkan tingkat macet di Jakarta mencapai 33.240 ribu per tahun. Pada akhir 2015, aplikasi Waze mengadakan survei yang menyebutkan Jakarta menduduki peringkat ke-11 terburuk. 

Pengerjaan konstruksi terowongan mass rapid transit (MRT) di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, 8 September 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Menurut Darmaningtyas, persoalan kemacetan yang makin parah ialah efek dari keterlambatan pembangunan sistem transportasi massal. Kebutuhan sistem ini mendesak dengan kondisi pertumbuhan kendaraan pribadi yang pesat tiap tahun, mencapai 17,5 juta menurut Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya pada 2014.

Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, pemerintah berupaya terus mengatasi kemacetan dan meningkatkan pelayanan transportasi publik. Hal ini terlihat dari peningkatan pelayanan kereta rel listrik, busway, dan bus. Serta dimulainya proses pembangunan MRT dan LRT. 

Sejak 2007, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki blue print atau kerangka kerja bernama Transportasi Makro untuk mengurai persoalan kemacetan dan transportasi ibu kota.

“Ada tiga strategi, yakni peningkatan kualitas transportasi umum, pembatasan lalu lintas, dan peningkatan infrastruktur,” kata Andri.

Selain itu, Kementerian Perhubungan sejak enam bulan lalu membuat Badan Transportasi Jabodetabek untuk mengintegrasikan kebijakan Jakarta dan daerah penyangganya.

Persoalan kemacetan memang mendesak untuk segera diselesaikan. 

“Transportasi ibarat jantung bagi kehidupan kota besar. Bila jantung berhenti berdetak, maka berakhirlah kehidupan kota,” kata Darmaningtyas. 

Menjelang Hari Perhubungan Nasional yang jatuh 17 September 2016, CNNIndonesia.com akan menyajikan beberapa artikel soal kemacetan dan hal-hal terkait permasalahan transportasi di Jakarta.


[Gambas:Video CNN] (yul/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER