LAPORAN KHUSUS

Cerita Para Komuter Bekasi Berangkat dari 'Bulan'

Yuliawati, Gilang Fauzi, Rinaldy Sofwan Fakhrana | CNN Indonesia
Rabu, 14 Sep 2016 16:53 WIB
Jarak dari rumah Tami, Bekasi, ke tempat kerjanya di Tebet, Jakarta, 35 kilometer. Namun perjalanan pada jam kerja bisa tiga jam lebih. Ini tragedi kaum urban.
Antrean kendaraan melintas di ruas tol Jakarta Cikampek di kawasan Bekasi, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Paramayuda)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bila Anda aktif di media sosial, mungkin ingat dengan ilustrasi ini. Seorang astronot berada di bulan. Di sebelahnya, tertancap papan petunjuk berwarna hijau yang memperlihatkan Jakarta dan Bumi dalam satu arah. Sebaliknya petunjuk ke Bekasi tampak berlawanan arah.

Gambar itu pernah begitu populer di media sosial, salah satu dari beragam meme mengenai Bekasi. Tren meme soal Bekasi ini pun 'ditangkap' operator Indosat dengan membuat iklan: “Liburan ke Aussie lebih mudah dibanding ke Bekasi’.

Namun, berbeda nasib dengan meme lucu itu, masyarakat Bekasi berang atas iklan tersebut hingga berunjuk rasa dan menggugat perusahaan ke pengadilan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak jelas siapa yang pertama kali membuat meme berisi sindiran dan keluhan yang menunjukkan beratnya perjalanan menuju, dan dari Bekasi.

Sindiran dan keluhan dalam meme itu memang sangat berlebihan. Namun, perjalanan ulang-alik kaum komuter Bekasi memang cukup berat.

Meme yang pernah beredar viral di media sosial. (Dok. Istimewa)
Perjalanan berat setidaknya dialami oleh Tami Wicaksono (42) yang sudah lebih dari dua dekade menghabiskan rutinitas bolak-balik dari rumahnya di Kota Legenda, Bekasi, Jawa Barat, ke tempat kerjanya di Tebet, Jakarta Selatan.

Jarak dari rumah Tami ke tempat kerja berkisar 35 kilometer. Namun perjalanan pada jam kerja bisa memakan waktu lebih dari tiga jam.

Tami sudah terbiasa bangun pukul 04.00 dini hari untuk menyiapkan sarapan keluarga, salat subuh, mandi, dan berkemas untuk bekerja.

Kayawati di perusahaan manajemen perhotelan itu hanya punya waktu satu jam untuk menyelesaikan urusan rumahnya. Setelah itu dia harus memburu waktu, sebelum fajar benar-benar menyingsingkan semburat cahaya pagi.

"Kalau telat berangkat, lebih dari jam 05.00, sudah pasti kena macet," kata Tami.

Tami lebih sering menggunakan kendaraan umum untuk berangkat kerja. Dari rumahnya, dia akan memesan ojek untuk diantarkan ke pintu tol Bekasi Timur.

Tami menggunakan bus yang melewati jalur tol untuk mengantarkannya sampai ke Cawang, jalur pintu masuk utama para komuter dari Bekasi. Dari Cawang dia akan beralih kendaraan, baik bus ataupun TransJakarta ke gedung tempatnya bekerja.

"Sampai kantor kurang lebih jam 08.00," kata Tami.

Tami juga sesekali menggunakan kendaraan pribadi ke tempat kerja. Dengan menggunakan mobil pribadi ke tempat kerja, Tami harus berangkat tak lebih dari pukul 05.00 dari rumahnya.

Pada jam pagi buta itu, tol dari arah Cikarang menuju Jakarta sudah ramai oleh kendaraan para komuter yang juga memburu waktu untuk sampai tempat kerja.

"Titik kemacetan paling parah itu di pintu keluar dari Halim," kata Tami.

Sebagai pekerja yang terpatok shift kerja, maka jam pulang Tami pun berbarengan dengan para pekerja lainnya yang ada di Jakarta.

Tami biasa pulang sekitar pukul 17.00-18.00, jam ketika para komuter saling bergegas memburu waktu untuk lekas-lekas sampai peraduan.

Seperti ketika berangkat kerja, waktu yang dibutuhkan oleh Tami untuk pulang ke rumah pun berkisar 2-3 jam. Pada jam malam itulah Tami bisa meluangkan waktunya untuk keluarga di rumah, sebelum bersiap mengulangi rutinitasnya di pagi buta.

Bekasi bukan yang terjauh

Bila dibandingkan daerah penyangga Jakarta lainnya, Bekasi bukan yang terjauh dari ibu kota. Jarak Bekasi dengan titik terdekat Jakarta sekitar 29 kilometer. Adapun jarak Jakarta-Tangerang adalah 26 kilometer, Jakarta-Depok 32 kilometer, dan Jakarta-Bogor 38 kilometer.

Lantas mengapa begitu banyak keluhan mengenai Bekasi?

Kemacetan yang dialami Bekasi terkait dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin bertambah, namun tak dibarengi dengan infrastruktur yang memadai.

Data pertumbuhan penduduk Kota Bekasi menunjukkan, pertumbuhan populasi di kota itu setiap tahunnya sekitar empat persen, dengan jumlah penduduk saat ini sebanyak 2,5 juta jiwa.

Bekasi yang berbatasan langsung dengan Jakarta Timur menjadi pilihan tempat bermukim para komuter yang mengais rezeki di Jakarta dan sekitarnya. Bahkan, menurut Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik pada 2010, migrasi neto di DKI Jakarta justru negatif, sebanyak 239 ribu orang.

Jumlah penduduk masuk Jakarta mencapai 644 ribu orang, sementara warga yang pindah ke luar Jakarta mencapai 883 ribu orang.

Data ini menunjukkan pola urbanisasi yang berubah. Kaum imigran yang semula menyasar Jakarta, kini beralih memilih daerah pinggiran seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Pembuatan tiang pancang untuk jalur transportasi kereta api ringan atau Light Rail Transit (LRT) di Jatibening, Bekasi, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
Menurut Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Elly Sinaga, pembangunan perumahan, gedung perkantoran, dan pusat perbelanjaan di Jabodetabek berlangsung begitu pesat beberapa tahun terakhir.

“Namun sayangnya, kualitas dan kuantitas transportasi publik tidak jalan beriringan dengan pembangunan itu,” kata Elly.

Bila mengacu pada data BPS mengenai komuter DKI Jakarta tahun 2014, kaum komuter atau ulang-alik menuju dan dari Jakarta paling banyak berasal dari Bekasi dengan jumlah sebanyak 359 ribu.

Angka itu merupakan 14,8 persen dari 2,4 juta jiwa jumlah komuter di Jabodetabek.

Bila ditambahkan dengan jumlah komuter yang berkegiatan di luar Jakarta, total komuter Bekasi sebanyak 460 ribu orang. Mayoritas tujuan para komuter Bekasi ini adalah bekerja.

Data yang dikeluarkan Dinas Perhubungan DKI Jakarta 2013 lebih fantastis. Data itu menyebutkan, jumlah komuter setiap hari sebanyak 3,67 juta jiwa. Sebanyak 36,2 persen atau 1,33 juta di antaranya berasal dari Bekasi.

Dinas Perhubungan juga menyebutkan, jumlah komuter Bekasi yang menggunakan kendaraan pribadi sebanyak 77 persen atau 917 ribu jiwa.

Banyaknya penggunaan kendaraan pribadi inilah yang membuat perjalanan menuju dan dari Bekasi menjadi begitu padat dan sesak. Mereka memilih menggunakan kendaraan pribadi karena transportasi massal publik belum tersedia dengan baik.

Kereta rel listrik (KRL) atau Commuter Line jurusan Bekasi- Jakarta yang menjadi andalan kaum komuter Bekasi pun belum memberikan pelayanan prima.

Stasiun Manggarai, Jakarta, kerap dikeluhkan penumpang Commuter Line karena antrean kereta di sana yang membuat perjalanan terhambat. (CNN Indonesia/Andry Novelino).
Tri Wahyuni adalah salah satu konsumen Bekasi yang tidak puas dengan pelayanan KRL. Dia kesal karena acap kali perjalanan KRL terhambat antrean di Manggarai.

Antrean itu cukup menyita waktu perjalanannya. Bila dalam kondisi normal, perjalanan dia dari Bekasi menuju Jakarta menghabiskan waktu hanya 45 menit, antrean kereta bisa membuat perjalanan molor menjadi 1,5 jam.

“Hampir setiap hari saya membuat tweet menyampaikan kekesalan kepada KRL. Lembaga itu salah satu penyedia jasa yang paling sering minta maaf, karena ketidaklancaran pelayanannya, ” kata Tri Wahyuni yang tinggal di Harapan Baru, Bekasi Barat.

Menurut Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah, untuk mengatasi problem kemacetan, kebijakan transportasi antara Jakarta dan wilayah sekitarnya akan dibuat terintegrasi dan saling terhubung. Semua kebijakan kini akan saling dikoordinasikan dan disinkronkan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek.

“Sehingga pengaturannya itu tidak memindahkan macet. Sekarang kan hanya memindahkan macet. Di sini lancar, di sana macet. Jika sudah terintegrasi mudah-mudahan bisa mengatasi secara keseluruhan,” kata Andri.

[Gambas:Video CNN] (yul/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER