Jakarta, CNN Indonesia -- Kemajuan sebuah bangsa tak hanya diukur dari kemajuan infrastruktur dan layanan transportasi publik. Lebih mendasar dari itu, peradaban tercermin dari orang-orang yang tahu bagaimana caranya beradab, termasuk saat berkendara.
Smart driving merupakan sebuah norma bagi pengguna moda transportasi untuk berkendara secara cerdas, sekaligus menanamkan perilaku mengemudi ekonomis dan ramah lingkungan (
eco driving).
Di negara-negara maju,
eco driving telah menjadi pedoman baku bagi pengguna transportasi. Bukan hanya soal teknis berkendara ramah lingkungan,
eco driving juga menanamkan etika mengemudi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"
Eco driving ini soal
mindset. Dari pola pikir itu kemudian teraktualisasikan lewat perilaku mereka di jalanan," kata Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal.
Prinsip dasar
eco driving menerapkan panduan berkendara aman, nyaman, dan hemat energi. Terdapat pedoman teknis berkendara yang baik mulai dari tehnik pemindahan transmisi hingga pengereman dan pengendalian akselerasi.
Selain Eropa, pengendara di sejumlah negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan Hong Kong juga telah mengimplementasikan pedoman
eco driving.
Jakarta dan kota sekitarnya yang menjadi jantung peradaban Indonesia, masih terbilang udik soal berkendara. Dari skala 0-100, kata Ahmad, Jakarta berada di angka kisaran 30 untuk urusan
smart driving.
Berdasarkan hasil riset di lapangan, Ahmad menyimpulkan adanya penghematan rata-rata 20 persen bahan bakar ketika pengendara menerapkan
eco driving saat berkendara.
Angka penghematan energi itu didapat dari akumulasi hasil praktik kelas
eco driving yang digagas Ahmad bersama tim. Kursus yang dibuka setiap triwulan itu digelar gratis dan terbuka untuk umum.
"Tapi ya sepi peminatnya. Setiap kelas dibuka itu pesertanya masih bisa dihitung dengan jari," kata Ahmad.
Ahmad mulai terjun sebagai pegiat lingkungan pada dekade akhir 1990-an. Tahun 2003, dia mulai memfokuskan diri sebagai periset pencemaran udara.
Polusi Jakarta terbilang parah. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mematok standar polutan debu 20 mikrogram per meter kubik. Sementara partikel debu polutan di Jakarta setiap harinya mencapai 100 mikrogram permeter kubik, lima kali lipat dari batas standar.
"Ini artinya sudah sangat berpolusi," ujar Ahmad.
 Banyak warga Jakarta yang menghindari polusi udara dengan mengenakan masker. (CNN Indonesia/Djonet Sugiarto). |
Kendaraan bermotor adalah penghasil terbanyak polutan sebesar 47 persen. Sementara 22 persen polutan dihasilkan oleh industri, dan sisanya dari aktivitas pembakaran sampah, penggalian, konstruksi bangunan, dan debu jalanan.
Berdasarkan Dinas Perhubungan DKI Jakarta, saat ini ada sekitar 25,7 juta perjalanan setiap hari di Jabodetabek. Dari jumlah itu, sebanyak 19,9 juta perjalanan atau 74,7 persen menggunakan kendaraan pribadi. Sisanya sebanyak 25,3 persen menggunakan kendaraan umum.
Banyaknya jumlah kendaraan pribadi juga terekam Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. Sepanjang 2014, jumlah kendaraan di Jakarta sebanyak 17,5 juta. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah kendaraan sepeda motor sebanyak 13, 08 juta dan mobil pribadi sebanyak 3,2 juta.
Emisi bahan bakar yang dihasilkan terbilang fantastis. Merujuk hasil perhitungan riset, Ahmad mencatat pengeluaran bahan bakar kendaraan dalam setahun mencapai 7 juta kiloliter, yakni 4 juta kiloliter untuk bensin dan 3 juta kiloliter untuk solar.
Jika seluruh pengendara di Jakarta menerapkan
eco driving, Ahmad berasumsi ada sekitar 1,4 juta kiloliter cadangan bahan bakar yang terselamatkan berkat 20 persen penghematan emisi
eco driving.
"Di sinilah
eco driving berperan mengatasi persoalan energi dan lingkungan secara beriringan," kata Ahmad.
Di negara maju, ujarnya, pemahaman
eco driving merupakan materi pembelajaran yang harus diadaptasikan sebelum pengendara mengajukan izin mengemudi. Sebanyak 80 persen materi kursus adalah tentang perilaku, sementara sisanya soal bagaimana mengoperasikan kendaraan di lalu lintas.
Sementara di Indonesia, kata Ahmad,
eco driving adalah urusan yang dianggap remeh, dan terkesan sepele untuk mengaitkannya dengan krisis energi dan lingkungan.
Berdasarkan riset data yang dikumpulkan Ahmad pada 2012, dampak pencemaran udara di sektor kesehatan telah mengakibatkan 1,2 juta orang menderita asma, 153 ribu orang mengalami penyempitan saluran pernapasan, dan 2,4 juta orang mengalami ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).
"Bukan tidak mungkin angka itu sekarang bertambah jika melihat kondisi udara Jakarta sekarang," kata Ahmad.
Kondisi udara Jakarta dominan berada dalam kualitas sedang (74 persen), sedangkan sisanya berada dalam kondisi baik (11 persen) dan kualitas udara tidak sehat (12 persen).
Ahmad mengatakan, efek dari kualitas udara secara signifikan bisa memengaruhi antara lain atlet pelari cepat saat berlaga di lintasan. Atlet yang bisa menorehkan waktu 10 detik untuk jarak 100 meter dalam kondisi udara baik, misalnya, tidak bisa mengulang raihannya ketika udara dalam kondisi sedang sekalipun.
"Jadi jangan heran kalau nanti di Asian Games Jakarta atlet sprinter tidak bisa mematahkan rekornya sendiri," kata Ahmad.
 Kemacetan di Jatinegara, Jakarta Timur. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A) |
Mengatasi KemacetanAhmad mengenal
eco driving lebih dari satu dekade silam. Menerapkan
eco driving bagi Ahmad tak hanya berpengaruh pada teknis cara mengoperasikan armada di jalanan, tapi juga mengubah
mindset berkendara.
Seorang
eco driver, kata Ahmad, punya perhitungan jarak, waktu, dan risiko perjalanan yang akan ditempuh. Ahmad biasanya akan menakar titik-titik kemacetan, ruas jalan yang harus dihindari, dan mempertimbangkan estimasi waktu yang dibutuhkan.
"Bahkan kita pun harus bisa memperkirakan berapa kali injak pedal gas demi efisiensi," kata Ahmad.
Menerapkan
eco driving tidak secara langsung mampu mengurai kemacetan. Namun Ahmad menekankan bahwa seorang
eco driver bisa terhindar dari kemacetan karena telah antisipatif menghadapi segala kemungkinan.
Eco driver bisa saja mengakali kemacetan dengan menghindari titik ruas tertentu dan tidak berkendara pada jam-jam sibuk.
"Kalau saya lebih praktis pakai KRL (kereta rel listrik). Memilih transportasi publik juga bagian dari
eco driving," kata Ahmad.
(gil/yul)