Mewaspadai Kampanye SARA Jelang Pilkada

Lalu Rahadian | CNN Indonesia
Kamis, 15 Sep 2016 21:11 WIB
Pemilih berhak menentukan pilihan berdasarkan prefensi apapun, tapi tak berarti berhak mempengaruhi pilihan orang lain dengan isu-isu krusial.
Ilustrasi. (diolah dari Thinkstock/Remains)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penggunaan isu agama dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah menjadi masalah untuk perkembangan demokrasi di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, isu SARA seharusnya tak digunakan untuk mempengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilihan umum.

Ray beranggapan, pemilih berhak menentukan pilihannya dalam Pemilu berdasarkan preferensi apapun. Namun, pemilih tak boleh turut mempengaruhi pilihan orang lain menggunakan isu-isu krusial seperti agama.

"Agak bermasalah dalam demokrasi jika Anda mengkampanyekan orang untuk tidak dipilih karena preferensi agamanya. Bahwa Anda memilih karena latar belakang agama, itu tidak apa-apa. Itu dua hal yang berbeda," kata Ray di kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis (15/9).
Keberadaan isu SARA untuk menggiring opini publik menjadi perhatian jelang berlangsungnya Pilkada 2017. Menurut pandangan Ray, isu SARA semakin marak dijadikan senjata untuk mempengaruhi pemilih belakangan ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penggunaan isu SARA memuncak pasca Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memastikan diri maju menjadi bakal calon petahana di Pilkada DKI Jakarta. Menurut Ketua Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Sumberdaya Manusia PBNU Rumadi, perkembangan isu SARA jelang Pilkada DKI Jakarta tahun depan lebih masif dibanding masa Pilkada sebelumnya.

Rumadi pun meminta berbagai pihak untuk tidak menggunakan isu SARA sebagai amunisi menyerang bakal calon gubernur di Pilkada mendatang. Menurutnya, lebih baik 'serangan' ditujukan dengan amunisi lain seperti kritik kebijakan.

"Harapan saya, kalau orang tidak mau memilih Ahok jangan jadikan agamanya sebagai alasan. Persoalkan saja kebijakan yang ia buat. Karena kalau dipermasalahkan berarti kita mempermasalahkan takdir Tuhan," ujar Rumadi.
Walau marak berkembang, isu SARA diyakini tak banyak berpengaruh terhadap preferensi warga ibu kota di Pilkada tahun depan. Sebabnya, warga ibu kota dianggap sudah memiliki kedewasaan politik yang lebih besar saat ini.

"Kalau belajar dari Pilkada 2012, ternyata warga Jakarta tidak termakan dengan kampanye menggunakan isu SARA. Tapi itu terkait kedewasaan orang, kalau dia semakin dewasa dalam beragama dia tak lagi mempermasalahkan pemimpin karena latar agamanya," katanya.

Peran Elite Politik

Isu SARA dianggap sengaja dikembangkan untuk menjatuhkan popularitas salah satu bakal calon gubernur di Pilkada ibu kota. Elite politik dalam hal ini dinilai turut berperan menyebarkan isu SARA.

Menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, isu SARA sebenarnya tidak berkembang di masyarakat. Namun, hal tersebut dapat menimbulkan bahaya jika direproduksi terus menerus.

"Saya yakin gagasan yang memanfaatkan isu SARA dan dimanipulasi elite itu sengaja dimainkan ketika lawan tandingnya (pada Pilkada) dianggap susah dikalahkan oleh gagasan, program, integritas. Ada jarak yang jauh antara elite yang memanfaatkan isu dan masyarakat yang tak peduli dengan itu," kata Sebastian.
Pendapat Sebastian diamini oleh juru bicara Aspirasi Indonesia Iryanto Djou. Menurutnya, isu SARA sebenarnya tak berpengaruh terhadal preferensi sebagian besar masyarakat ibu kota dalam Pilkada.

Iryanto menilai, baiknya elite politik di Jakarta memainkan isu-isu lain seperti kemacetan, banjir, dan pembangunan infrastruktur dibanding mengedepankan isu SARA untuk mendapat perhatian publik.

"Banyak isu yang seksi dan mendidik untuk dimainkan. Misal isu infrastruktur, banjir, kemacetan, itu bisa dikritik. Itu adalah cara melakukan kampanye yang cerdas, bukan hanya mengkritik tapi bisa menunjukan room for improvement," ujarnya.

Penggunaan isu kinerja kepala daerah sebenarnya pernah digunakan sebagian besar calon gubernur DKI Jakarta di Pilkada 2012. Saat itu, pertarungan program antar calon gubernur terasa begitu kental.
Benturan gagasan dan ide di Pilkada 2012 ternyata belum terulang jelang Pilkada 2017. Masykurudin Hafidz, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), menilai bahwa pertarungan gagasan tak terjadi karena minimnya kualitas calon kepala daerah ibu kota saat ini.

"Selain Ahok, minim pasangan calon yang punya pengalaman sebagai kepala daerah atau birokrat yang mengelola daerah dengan baik. Karena itu petahana sekarang menjadi resah karena partner dalam berdiskusi tidak ada," kata Masykurudin.

Akibat ketiadaan pertarungan gagasan, isu SARA pun marak digunakan elite politik. Masykurudin menilai, isu SARA dimainkan untuk mempengaruhi preferensi pilihan 30 persen pemilih ibu kota yang basis keagamaannya kuat. (gil/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER