Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menilai, kondisi saat ini tidak tepat bagi personel TNI untuk ikut terlibat dalam politik praktis. Sejumlah partai politik di Indonesia dipandang tidak solid. Hal ini yang menurutnya akan memecah belah TNI jika dilibatkan dalam urusan politik.
"Sekarang tidak boleh. Dengan kondisi pecah belah begini, nanti TNI terpecah-pecah. Kan partai-partai tak semua solid," kata Ryamizard saat ditemui usai rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Senin (10/10).
Ryamizard menambahkan, bukan tidak mungkin di masa yang akan datang TNI juga memiliki hak politik yang sama dengan masyarakat sipil. Namun dia tidak berani memperkirakan kapan TNI siap untuk terjun ke dalam struktur politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau sekarang tidak pas. Saya tidak mau berpolitik. Kondisi kita kan belum matang berpolitiknya. Jangan sampai nanti ada TNI PDIP, TNI Golkar, TNI apa, nanti perang sendiri," kata Ryamizard.
Mantan Kepala Staf Angkatan Darat era Presiden Megawati ini mengatakan, hak politik anggota tentara sudah habis ketika yang bersangkutan masuk institusi militer. Mereka bisa ikut berpolitik praktis, memilih dan dipilih dalam pemilu, ketika sudah melepaskan masa dinas militernya.
Namun Ryamizard setuju jika nantinya TNI memiliki utusan di MPR seperti pada masa Orde Baru. Dia menilai hal itu sah saja untuk mempersatukan negara.
"Kalau dulu, itu saya setuju-setuju saja, tapi tidak berpolitik, politik negara, tapi politik menyatukan bangsa, iya," kata Ryamizard.
Sementara, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan institusinya tunduk pada undang-undang yang berlaku.
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan, prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.
"Politik TNI adalah politik negara. Jadi, TNI harus berpihak kepada keamanan, TNI harus netral," kata Gatot di Gedung DPR.
Dia kembali mengingatkan kepada seluruh masyarakat untuk ikut mengawasi tugas TNI dalam proses pilkada serentak 2017. Jika ada oknum TNI yang terindikasi tidak netral, kata Gatot, masyarakat diminta melapor ke instansi terkait seperti Koramil, Kodim, Pos Pom, dan sebagainya.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti sebelumnya menilai, TNI tidak siap diberikan hak politik, khususnya hak pilih dalam pemilu maupun pilkada.
Menurutnya, segala sesuatu di TNI adalah
under the command atau di bawah perintah komandannya. Padahal dalam hak berpolitik, setiap individu mesti diberi kebebasan memilih.
"Kalimat pertama yang ada di otak mereka adalah komandannya pilih siapa. Itu tidak bisa. Komandan tidak boleh memaksa untuk pilih calonnya," ujar Ikrar.
Senada, pengamat politik dan militer Kusnanto Anggoro juga menilai saat ini TNI belum siap mendapatkan hak politik. Namun tak menutup kemungkinan apabila nantinya TNI diberikan hak tersebut.
"Kalau memang mau, disepakati saja kapan akan diberikan. Mungkin 2019, lalu dalam waktu empat tahun ke depan bisa disiapkan dulu," kata Kusnanto.
Menurutnya, ketidaksiapan TNI dalam pemberian hak politik terlihat dari sistem demokrasi yang belum berkembang di tubuh TNI. Pemberian hak politik ini dikhawatirkan membuat mereka mempengaruhi pilihan warga non TNI.
Selain itu, Kusnanto juga khawatir terjadi pemanfaatan fasilitas milik TNI oleh partai-partai tertentu.
(rel/yul)