Jakarta, CNN Indonesia -- Empat pekan sebelum masa kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, masyarakat khususnya warga Jakarta diributkan oleh pernyataan kandidat petahana Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Jumat lalu (14/10), ribuan orang dari ormas keagamaan berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, memprotes keras pernyataan Ahok yang dianggap menistakan agama. Pernyataan Ahok yang menyitir surat Al-Maidah ayat 51, telah memantik kemarahan publik, khususnya umat Islam.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar sebagai dua partai besar penyokong Ahok, ikut terbawa dalam pusaran polemik kontroversi pernyataan Ahok. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pun ikut angkat bicara.
Orang nomor satu di partai banteng itu mengingatkan sekaligus meminta Ahok untuk berhati-hati dalam melontarkan ucapan. Pun dengan pasangan Ahok, Djarot Saiful Hidayat, pada satu kesempatan menegur Ahok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbeda dengan PDIP, politisi Golkar Nusron Wahid justru membela habis-habisan Ahok. Bekas Ketua Tim Pemenangan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017 itu “pasang badan” dalam membela Ahok di tengah meluasnya kecamanan dan gelombang protes.
Tokoh muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menyorot tajam pembelaan yang dilakukan Nusron terhadap Ahok. Bagi Doli, dalam konteks dan logika politik tentu mengherankan apabila publik melihat fenomena Ahok, Golkar, dan PDIP saat ini.
Seperti yang sudah Doli sampaikan sebelum-sebelumnya bahwa setelah Ahok diusung oleh PDIP, Golkar sangat terlihat “dikecilkan” makna dan posisinya secara politik.
Namun ketika gelombang reaksi penolakan Ahok muncul begitu deras akibat perkara dugaan penistaan agama Islam oleh Ahok, menurut Doli, justru yang "mati-matian" dan "membabi buta" membela Ahok adalah Nusron. Padahal Nusron tidak dalam posisi tim sukses sama sekali saat ini.
Dalam pembelaan terhadap Ahok, Doli menyebut Nusron menegaskan posisinya sebagai Ketua Pemenangan Pemilu DPP Golkar, hingga sudah sampai pula menyinggung ulama dan umat Islam juga.
Sementara dalam pandangan Doli, pengurus atau kader PDIP "sepi" dari pembelaan terhadap Ahok. Situasi seperti itu, bagi Doli yang merupakan mantan Ketua DPP Golkar, tentu membuat posisi Golkar semakin tidak positif di mata publik.
Antipati terhadap Ahok yang sudah meluas secara nasional, menurut Doli, saat ini diiringi pula dengan antipati terhadap Nusron. Nusron dan Golkar sekarang diposisikan sebagai kelompok yang berusaha "membenarkan" kesalahan yang telah dilakukan Ahok.
Dengan nada menyesalkan, Doli mengingatkan bahwa Ahok saja sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf, tapi Nusron dan Golkar tetap "ngotot" dan memaksakan seolah tidak ada yang salah.
Bila hal ini terus berlangsung, Doli mengaku sangat khawatir akan berkembang pula menjadi antipati terhadap Golkar. Apalagi
tagline Golkar selama ini yaitu "Suara Rakyat, Suara Golkar".
Selanjutnya Doli mengingatkan kalau mayoritas masyarakat sudah menolak Ahok, lantas untuk apalagi dasar Golkar tetap mempertahankan Ahok. “Kalau bukan atas dan untuk kepentingan atau suara rakyat, jadi keputusan dukung Ahok itu atas dan untuk kepentingan siapa sebenarnya, sehingga harus dipertahankan terus?” Doli mempertanyakan.
Sepandangan dengan Doli, tokoh senior Partai Golkar Akbar Tandjung menganggap tidak perlunya pembelaan terhadap Ahok dilakukan secara habis-habisan oleh politisi Golkar.
Bahkan Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar itu menilai sifat dan juga gaya kepemimpinan Ahok banyak yang tidak selaras terhadap Pancasila, khususnya bila dikaitkan dengan pernyataan yang diduga menistakan agama.
Semestinya, Akbar menekankan, sifat-sifat kepemimpinan harus menjadi teladan dan contoh dengan mendasarkan pada nilai-nilai Pancasila. “Kalau tidak begitu, tidak bisa jadi pemimpin.”
Maka menurut Akbar adalah hal yang wajar apabila ada tuntutan dari kalangan muda Golkar yang mempersoalkan pembelaan terhadap Ahok dan keinginan penarikan dukungan terhadap Ahok. Lebih buruk lagi, suara Golkar bakal terkikis bila
image partai beringin tak memihak pada rakyat.
(obs/rel)