Jakarta, CNN Indonesia -- Suasana lengang dan tenang langsung terasa ketika keluar dari lift dan menginjakkan kaki di Lantai 3 Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, 14 Oktober lalu. Seorang petugas keamanan bersiaga persis di depan lift.
Setiap tamu wajib mengisi buku daftar pengunjung di lantai itu, meski hal yang sama telah dilakukan di lantai dasar gedung. Lantai 3 Kantor KPK memang terkesan sakral dan tak tersentuh. Hanya tamu dengan janji pasti yang bisa menginjakkan kaki di lantai itu.
Di lantai itu, lima pimpinan KPK—dengan segudang kode etik dan aturan ketat—berkantor. Satu ruang lainnya di lantai itu milik Juru Bicara KPK yang hingga kini masih kosong sejak ditinggalkan Johan Budi Sapto Pribowo ke Istana awal tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di antara ruang kerja lima pimpinan dan ruang kerja Jubir KPK, ada sebuah ruang tamu. Menarik lantaran salah satu aksesori di ruang tersebut adalah pigura besar dengan judul menantang: “Deklarasi Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia”.
Pigura itu ditandatangani oleh Ketua Sementara KPK Taufiequrachman Ruki, Wakil Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, Jaksa Agung HM Prasetyo, dan Panglima TNI Jenderal Moeldoko, tertanggal 19 Maret 2015.
Keempatnya berjanji, “Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan tekad untuk menyelamatkan sumber daya alam Indonesia dengan mendukung tata kelola sumber daya alam yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta menegakkan hukum di sektor sumber daya alam sesuai kewenangan masing-masing.”
Yang lebih menarik lagi, Deklarasi itu ditandatangani di hadapan Istana, disaksikan oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebanyak 20 menteri dan sembilan lembaga negara lainnya ikut menandatangani Nota Kesepakatan Rencana Aksi Bersama Gerakan Penyelamatan SDA Indonesia.
Janji yang dinilai signifikan bagi upaya pembangunan berkelanjutan itu, dipimpin oleh lembaga sekaliber KPK, ditandatangani di tempat sesakral Istana, dan disaksikan oleh simbol negara.
Fokus pencegahan KPK tahun ini masih memasukkan sumber daya alam, termasuk lingkungan hidup dan kehutanan, sebagai salah satu isu yang terus dibenahi. Sebuah penegasan yang disampaikan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat ditemui CNNIndonesia.com di ruang kerjanya, Jumat pekan lalu.
"Yang menjadi fokus untuk tahun ini yaitu infrastruktur, pencegahan korupsi sumber daya alam, termasuk di dalamnya soal kehutanan dan lingkungan hidup, dan yang juga penting adalah pendidikan dan kesehatan," kata Basaria.
Hal itu terlihat dari serangkaian kajian yang dilakukan yaitu pembenahan pertambangan batubara dari hulu ke hilir; kajian soal air tanah di DKI Jakarta; dan ikut dalam diskusi soal reklamasi Jakarta.
Tujuannya satu: ekspansi perusahaan tidak merusak lingkungan.
Pada bidang penindakan, KPK bahkan menangkap tangan Anggota DPRD dan pengusaha dalam upaya suap terkait pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) terkait reklamasi di Teluk Jakarta. Kasus itu hingga kini masih bergulir.
Sementara inisiatif Jokowi menjaga sumber daya alam sebenarnya sudah dilakukan di masa awal menjabat. Jokowi menggabungkan dua kementerian menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta menambah satu struktur di KLHK yaitu Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum.
Dirjen Penegakkan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menyebut, dirinya merupakan orang pertama yang menjabat di posisi itu. Jabatan yang sebelumnya tak pernah ada.
Keberadaan Roy—sapaan Rasio Ridho Sani—dinilai untuk mengejawantahkan upaya Istana menjaga ketahanan lingkungan dan kehutanan di negeri ini. Hal itu terlihat dari tugas-tugas Roy yang mengusut penegakkan hukum administrasi, pidana, dan perdata dalam kejahatan lingkungan dan hutan.
Per Oktober 2015, sebanyak 14 perusahaan telah berhadap-hadapan dengan Ditjen Gakkum KLHK terdiri dari mencabut izin tiga perusahaan, membekukan izin tujuh perusahaan, dan empat perusahaan diminta melakukan berbagai perbaikan.
“Jumlah ini akan bertambah, karena hasil pengawasan kami masih ada 13 perusahaan yang bermasalah, dan kami juga sedang memantau 41 perusahaan lainnya,” kata Roy saat itu.
 Foto: ANTARA FOTO/Rony Muharrman Kebakaran hutan yang diduga dilakukan oleh perusahaan. (ANTARA FOTO/Rony Muharrman) |
Benturan ESDM dan KLHKSecara teori, restu Istana terhadap “Deklarasi Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia” dan pembentukan Ditjen Gakkum di KLHK memang patut diacungi jempol. Namun upaya itu saja belum cukup karena realisasinya berbanding terbalik dengan keinginan Jokowi.
Deklarasi Penyelamatan dilakukan saat KPK sedang gencar membenahi sektor pertambangan batubara. Dari satu sektor pertambangan ini saja, terlihat jelas pertentangan antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan KLHK.
Seolah dua kementerian ini tidak berada di bawah kepemimpinan Presiden yang sama dan tidak memiliki visi yang searah.
Kementerian ESDM menjaga betul ‘hubungan baik’ dengan perusahaan sebagai pihak yang dapat mendatangkan pundi-pundi rupiah bagi pemasukan negara. Sebaliknya KLHK ngotot agar lingkungan dulu, ekspansi pertambangan kemudian, dan meminta perekonomian Indonesia tidak bergantung pada sektor ini.
Tidak ada formulasi yang sejalan di antara kedua lembaga ini menyikapi eksplorasi pertambangan dan upaya menjaga lingkungan. Padahal kedua kementerian sama-sama mengklaim menjalankan tugas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tumpang tindih memang menjadi isu utama yang membayang-bayangi aturan di negeri ini.
Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menyebut, Kementerian Hukum dan HAM di bawah Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan seharusnya menjadi lembaga terdepan mengatasi tumpang tindih aturan di antara kementerian.
"Kementerian Hukum dan HAM yang harus memimpin. Bidang hukum harus benar-benar mendapat perhatian. Presiden dan Wakil Presiden harus punya wawasan hukum," kata Jimly dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional 2016, 6 Oktober lalu.
Namun suara kementerian yang dipimpin Yasonna Laoly ini tak pernah terdengar di antara pertentangan dua lembaga atau lebih yang meributkan aturan tumpang tindih.
Yang terjadi akhirnya, dalam benturan ESDM dan KLHK misalnya, diduga dimanfaatkan pihak tertentu untuk menjalankan kepentingannya di sektor kekayaan alam Indonesia.
Menurut Ketua Tim Satuan Petugas Sumber Daya Alam KPK Dian Patria, pertentangan antara ESDM dengan KLHK maupun sejumlah kementerian lain terjadi karena beberapa hal.
Pertama, ego sektoral yang masih sangat kuat.
Kedua, filter terhadap izin usaha pertambangan (IUP) yang berstatus
Clean and Clear (CnC) hanya dari Kementerian ESDM.
Di masa mendatang, KPK menargetkan,
filter untuk IUP selanjutnya tidak lagi hanya dari ESDM, melainkan dari tiga lembaga lain yaitu KLHK soal lingkungan; Kementerian Keuangan dari sisi pajak, penerimaan negara bukan pajak, serta bea cukai; serta Kementerian Sosial.
“Kalau dalam aktivitas pertambangan ternyata memiskinkan masyarakat, Kemsos jangan diam saja. Kalau ternyata tambang membuat konflik sosial, Kemsos harus ikut memberi pertimbangan. Jangan sampai masyarakat sekitar dirugikan,” ujar Dian, awal September 2016.
 Foto: Adhi Wicaksono Ilustrasi aktivitas bongkar muat batu bara. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Resistensi di DaerahPertentangan antarkementerian di pusat juga diikuti resistensi di daerah. Seolah hidup di negara yang berbeda, ketentuan daerah sering sekali berbenturan dengan perintah dari pusat.
Salah satu isu yang menjadi perhatian saat ini adalah perintah Jokowi kepada Kantor Staf Presiden (KSP) untuk menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atas rencana penambangan dan pembangunan pabrik di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Padahal dalam hukum positif di Indonesia, KLHS bukanlah barang baru. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Pasal 15 dan Pasal 16 UU PPLH yang mengatur soal KLHS menyatakan, KLHS meliputi kepasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan, perkiraan dampak dan risiko lingkungan hidup, kinerja layanan atau jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, dan tingkat ketahanan serta potensi keanekaragaman hayati.
Namun pemerintah pusat maupun daerah belum pernah membuat KLHS atas rencana pembangunan infrastruktur di wilayah mereka. Jika terealisasi, KLHS ini bahkan menjadi yang pertama di seluruh Indonesia.
Rencana penambangan di Kawasan Bentang Alam Kart (KBAK) di Rembang saat ini sedang panas di antara PT Semen Indonesia (Persero) Tbk dan petani bersama Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Semen Indonesia saat ini sedang menunggu salinan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung yang mengalahkan mereka atas petani dan Walhi, sebelum memutuskan langkah hukum selanjutnya.
Sementara KSP menyebut, butuh waktu maksimal hingga Agustus 2017 untuk menuntaskan penyusunan KLHS. Padahal pabrik semen di Rembang ditargetkan mulai beroperasi pada Desember 2016.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo—yang satu partai dengan Presiden Jokowi di PDIP—sebenarnya lebih setuju Semen Indonesia melanjutkan ekspansi di Rembang. Karena meski ada perbedaan ketentuan antara pusat dengan daerah terkait penambangan di KBAK Rembang, segala izin telah diterbitkan untuk perusahaan pelat merah itu.
Bersamaan dengan isu panas di Jawa Tengah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga masih berseberang-seberangan dengan KLHK dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) soal reklamasi teluk Jakarta. Keputusan Jakarta yang masih menggunakan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta memang janggal.
Jauh setelah Keppres rezim Orde Baru itu terbit, Indonesia telah memiliki aturan-aturan lain yang sejalan dengan semangat reformasi. Sebut saja UU Nomor 1/2014 sebagai perubahan atas UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam UU 1/2014, kewenangan menerbitkan izin terkait reklamasi di teluk Jakarta ada di tangan Menteri Susi Pudjiastuti. Aturan yang berkebalikan dengan Keppres 52/1995 tetapi ngotot digunakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
Soal reklamasi Jakarta ini masih menunggu kajian menyeluruh yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang ditargetkan rampung akhir bulan ini. Yang terbaru, permohonan banding Pemprov DKI atas izin reklamasi di Pulau G dikabulkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pemprov Jakarta menang melawan penggugat Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, 13 Oktober lalu. Koalisi memutuskan akan mengambil langkah kasasi ke MA dalam waktu dekat.
Resistensi penegakkan hukum bidang lingkungan hidup juga terlihat ketika Polda Riau menghentikan penyidikan atas 15 perusahaan terkait kebakaran hutan dan lahan. Perusahan-perusahaan itu antara lain PT Bina Duta Laksana, PT Dexter Perkasa Industri, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bukit Raya Pelalawan, KUD Bina Jaya Langgam, dan PT Palm Lestari Makmur.
Sejumlah pihak mendesak Polda Riau membeberkan berkas perkara 15 perusahaan yang dihentikan. Gelar perkara khusus atas kasus itu juga diminta dilakukan.
Peraturan Kapolri Nomor 14/Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana menyatakan, gelar perkara khusus bisa dilakukan ketika Kapolri mendapat persetujuan khusus dari Presiden. Gelar perkara khusus dapat dilakukan terhadap kasus yang menyorot perhatian publik secara luas. Kekayaan sumber daya alam Indonesia dari berbagai sisi, memang menarik minat investor lokal maupun asing untuk terus berekspansi. Namun mengeruk kekayaan alam tanpa memerhatikan lingkungan, bukan tak mungkin, meninggalkan jejak buruk bagi bumi—yang akhirnya juga berdampak pada keselamatan publik.
Ada sebuah janji yang harus ditepati. Pigura besar yang tergantung di dinding Lantai 3 Kantor KPK mengingatkan soal janji itu.
(asa)