Jakarta, CNN Indonesia -- Politikus Partai Golkar Budi Supriyanto mengungkap adanya jatah proyek aspirasi di Papua yang diterima rekannya, Damayanti Wisnu Putranti, sebesar Rp19 miliar. Damayanti merupakan anggota Komisi V DPR RI, telah divonis 4,5 tahun penjara lantaran terbukti menerima suap terkait proyek pelebaran jalan dalam program aspirasi di Maluku dan Maluku Utara.
Hal itu diungkapkan Budi saat membacakan pledoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (3/11).
Menurutnya, dari keterangan staf Damayanti yang bernama Ferry Anggrianto, disebutkan bahwa Damayanti tak hanya mendapat jatah sebesar Rp41 miliar di Maluku dan Maluku Utara, tapi juga Rp19 miliar di Papua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi sebenarnya jatah Damayanti bukan hanya Rp41 miliar tapi Rp60 miliar. Namun selama persidangan hanya disebutkan Rp41 miliar," ujar Budi.
Budi pun keberatan dengan vonis majelis hakim pada Damayanti yang dianggap terlalu ringan. Vonis 4,5 tahun penjara itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yakni enam tahun penjara. Sementara dirinya dituntut sembilan tahun hukuman penjara.
Dia juga keberatan dengan putusan majelis hakim yang mengabulkan pengajuan
justice collaborator Damayanti.
Budi menilai, Damayanti justru berperan paling aktif dalam kasus suap tersebut. Sejak sama-sama di Komisi V, kata Budi, Damayanti kerap mengajaknya ke Hotel Ambara, Jakarta Selatan untuk bertemu dengan Mantan Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Amran HI Mustary.
Damayanti menyampaikan agar dirinya memberi jatah program aspirasi pada Amran di Maluku dan Maluku Utara. "Damayanti bilang kalau ada program aspirasi taruh saja di Maluku dan Maluku Utara. Kemudian saya jawab
monggo saja," ucapnya.
Fakta tersebut, menurutnya, telah menunjukkan bahwa Damayanti menjadi pemeran utama dalam kasus suap tersebut. Budi pun merasa diperlakukan tak adil lantaran dituntut lebih berat ketimbang Damayanti.
"Saya seperti disambar petir di siang bolong mendengar tuntutan tersebut," katanya.
Budi telah merasakan ketidakadilan sejak proses penyidikan di Komisi Pemberantasan Korupsi. Saat itu Budi dua kali tak hadir dipanggil KPK lantaran sedang sakit. Namun, karena penyidik tak percaya, dia dijemput paksa saat masih dirawat inap di sebuah rumah sakit di Semarang.
"Saya sampai lepas sendiri infus saya dan ikut penyidik ke Jakarta. Saya diperiksa dan ditahan di Polres Jakarta Pusat, sampai esoknya saya dirawat di RSPAD untuk operasi ginjal dan terapi syaraf," tuturnya.
Budi berharap majelis hakim bisa memutuskan perkara ini dengan adil. Menurutnya, keterangan dari sejumlah saksi dalam persidangan telah menunjukkan peran masing-masing terdakwa.
Budi sebelumnya telah dituntut 9 tahun penjara oleh JPU karena diduga menerima suap sebesar Sin$305 ribu dari pengusaha bernama Abdul Khoir. Uang itu diberikan melalui asisten Damayanti, Julia Prastiani.
Budi mengklaim tidak mengetahui bahwa uang tersebut adalah uang suap dari Abdul. Dia mengira uang yang diberikan Julia itu adalah uang proyek pengerukan jalan tol di Solo. Sebab, Damayanti pernah mengajaknya untuk mengerjakan proyek bersama di Solo.
(wis)