Jakarta, CNN Indonesia -- Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK) menyebut kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok merupakan politik identitas yang dibangun dan diseberluaskan sebagai syiar kebencian.
Perwakilan AMSIK, Sulistyowati Irianto, mengatakan kasus Ahok telah dipolitisasi dengan pandangan dan prasangka kebencian terhadap kelompok etnis atau agama tertentu, secara menyesatkan dan tak bertanggung jawab.
"Ini telah terjadi politik identitas yang mempolitisasi perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Telah terjadi pemaksaan nilai yang tunggal dan seragam terhadap masyarakat Indonesia yang faktanya adalah masyarakat plural bersendikan Pancasila dan kebhinekaan," kata Sulistyowati dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (10/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, peristiwa ini memberikan pembelajaran yang buruk bagi masyarakat Indonesia dalam memahami filosofi Pancasila dan kebhinekaan. Peristiwa ini juga menampilkan wajah Indonesia yang intoleran dan mengingkari cita-cita pendiri bangsa.
Salah satu guru besar di Universitas Indonesia itu menambahkan, peristiwa ini juga akan memengaruhi kematangan demokrasi dan kemampuan masyarakat dalam menggunakan hak suaranya di Pilkada DKI Jakarta 2017.
"Kegaduhan politik yang terjadi seperti saat ini telah menghilangkan kesempatan masyarakat Jakarta untuk merayakan pesta demokrasi dengan bertanggung jawab," ujarnya.
Lebih dari itu, Sulistyowati menyampaikan bahwa situasi saat ini mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Menurutnya, perasaan masyarakat jadi diselimuti rasa takut dan cemas akibat kebencian yang diterkan dalam beberapa bulan terakhir.
Berangkat dari pandangan tersebut, perwakilan AMSIK lainnya, Mohammad Monib, menyatakan pihaknya memandang Ahok sebagai korban kriminalisasi melalui pemelintiran yang bermaksud jahat.
[Gambas:Video CNN]Ahok juga korban dari penggunaan 'pasal karet', yakni Pasal 156 dan 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang bisa digunakan untuk menjerat sesorang sesuai kepentingan penguasa dan pihak yang mengaku minoritas.
Ia pun meminta hakim yang akan menangani kasus Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dapat menjadi penjaga gerbang keadilan dalam proses peradilan nantinya. Hakim harus dapat bersikap adil, jujur, terbuka, independen, dan bebas dari intervensi pihak mana pun.
Hentikan Ujaran KebencianAMSIK juga meminta segenap masyarakat berhenti menyebarkan ujaran kebencian yang berlandaskan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Para tenaga pendidik dan jajaran birokrasi pemerintah yang bergerak di sektor pendidikan juga diminta meninjau kembali kurikulum yang ada saat ini.
Sebab, menurutnya, metode belajar yang berjalan di dunia pendidikan Indonesia saat ini rentan disusupi paham konservatif, sehingga menempatkan perbedaan sebagai permusuhan.
"Pendidikan mulai melenceng dari ajaran Pancasila dan konstitusi, cita-cita kemerdekaan, dan membahayakan masa depan bangsa," tutur Monib.
Selain Sulistyowati dan Monib, pernyataan yang dibuat AMSIK ini juga disepakati oleh 11 tokoh lainnya.
Mereka adalah aktivis HAM Todung Mulya Lubis, Ketua Setara Institute Hendardi, tokoh agama Neng Darra Affiah, akademisi Jim B Aditya, pegiat keragaman Henny Supolo, praktisi hukum Andi Syafrani, pendamping masyarakat adat Ruby Khalifah, aktivis kebinekaan Nia Syarifuddin, aktivis keberagaman Penrad Siagian, aktivis perlindungan anak Ilma Sovriyanti, san aktivis Thomas Nugraha.
(aal/gil)