Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa hukum calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, I Wayan Sudirta, menyebut kepolisian tidak menerapkan standar yang sama untuk kasus penistaan agama dan perkara pembatalan Kebaktian Kebangkitan Rohani (KKR) di Sabuga, Bandung, Jawa Barat, pekan lalu.
Sudirta mengutip pernyataan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar terkait pembatalan KKR Natal oleh organisasi masyarakat Pembela Ahli Sunah.
Kepada pewarta, Sabtu pekan lalu, Boy menyebut pembatalan kegiatan kerohanian di Sasana Budaya Ganesha Institut Teknologi Bandung tersebut telah selesai usai musyarawah di antara para pihak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Konflik di masyarakat dapat diselesaikan secara r
estorative justice. Kami menyayangkan, tidak ada
equal treatment pada perkara dugaan penodaan agama ini," tutur Sidarta.
Tak hanya itu, Sidarta juga menyebut penyidik dan jaksa penutut umum telah mnelanggar prinsip hukum pidana, yakni
lex specialis derogat legi generali.Prinsip itu menyebut, aturan hukum yang bersifat khusus harus mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum. Sudirta mendasarkan eksepsi itu pada pasal 1, 2, dan 3 UU 1/PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Pasal itu, kata Sudirta, mengharuskan ada peringatan keras kepada orang yang menafsirkan agama secara keliru.
Pasal 2 ayat 1 beleid itu berbunyi, barang siapa melanggar pasal satu diberikan perintah atau peringatan untuk menghentikan perbuatannya.
Peringatan itu harus tertuang pada keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Sudirta menganggap penegak hukum telah mengabaikan ketentuan tersebut. Ia berkata, penyidik dan jaksa penutut umum malah memproses Ahok dengan pasal 156a KUHP.
"Itu melanggar prinsip hukum pidana yang bersifat imperatif dan limitatif. Penegak hukum langsung menggunakan pengaturan yang bersifat umum," katanya.
(abm/rdk)