Jakarta, CNN Indonesia -- Hasil penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak era Joko Widodo hingga Basuki Tjahaja Purnama (2012-2016), hampir selalu menggunakan jasa aparat TNI dan Polri saat melakukan penggusuran paksa.
Pelibatan aparat TNI dan Polri menyebabkan terjadi kekerasan terhadap warga korban penggusuran.
Penelitian terbaru LBH Jakarta berjudul
Mereka Yang Terasing mencatat, 88,2 persen warga korban penggusuran paksa yang diwawancara mengakui aparat Polri terlibat pada proses penggusuran paksa. Sisanya, sebanyak 11,8 persen warga menyatakan sebaliknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lebih lanjut, 71,4 persen warga mengakui keterlibatan TNI dalam proses penggusuran paksa yang menimpa mereka, sementara hanya 28,6 persen warga yang menyatakan tidak ada keterlibatan aparat TNI," demikian hasil penelitian yang dikutip CNNIndonesia.com, Kamis (22/12).
Penelitian LBH Jakarta berisi laporan mengenai pemenuhan hak atas perumahan yang layak bagi korban penggusuran paksa di Jakarta yang kini menghuni rumah susun.
Dari hasil wawancara penelitian, LBH menyebut warga merasa terintimidasi dengan kehadiran aparat TNI, Polri, dan Satpol PP dalam peristiwa penggusuran.
"Keterlibatan aparat berseragam tersebut juga menghalangi warga untuk menyampaikan aspirasi mereka yang sesungguhnya, padahal warga berharap terjadi dialog yang seimbang dengan pihak pemerintah tanpa ada berbagai bentuk ancaman."
Keterlibatan aparat menjadi penyebab terjadinya kekerasaan terhadap warga. LBH menyebut sejumlah warga mengakui menyaksikan penggunaan kekerasan, baik fisik ataupun verbal, pada kasus-kasus penggusuran paksa yang terjadi terhadap mereka.
Beda Cara GusurLBH Jakarta tak menampik kekerasan dan intimidasi dalam penggusuran yang dilakukan pada masa Gubernur Sutiyoso hingga Fauzi Bowo.
Hanya saja, intimidasi dalam proses penggusuran paksa pada era Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan Fauzi Bowo kerap dilakukan dengan menggunakan aparat informal.
"Sementara, penggusuran paksa pada era Gubernur DKI Jakarta dan Joko Widodo menggunakan aparat berseragam resmi, seperti TNI dan Polri," kata LBH Jakarta.
Jokowi saat menjabat Gubernur DKI Jakarta tercatat pernah melibatkan Satpol PP, TNI dan Polri saat menggusur warga yang tinggal di bantaran Waduk Pluit, pada Agustus 2013. Kekerasan sempat terjadi saat penggusuran itu.
 Penggusuran yang dilakukan di Bukit Duri, September lalu. ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Kekerasan Terhadap WargaDi era Ahok, kekerasan salah satunya terjadi dalam kasus penggusuran Bukit Duri tahap pertama. Kuasa hukum yang mendampingi warga untuk menempuh proses hukum turut menjadi korban kekerasan oleh aparat Satpol PP dan Polisi.
Pengakuan warga tersebut sejalan dengan temuan LBH Jakarta. Dari temuan penelitian itu, 33 persen warga mengaku mengetahui ada kekerasan fisik yang berlangsung saat proses penggusuran di wilayah tempat tinggal mereka dahulu.
Sementara, 35 persen warga mengaku mengetahui ada kekerasan verbal yang dilakukan oleh pihak yang melakukan penggusuran paksa.
Berdasarkan hasil wawancara, warga menyatakan bahwa pihak-pihak yang kerap menjadi pelaku kekerasan fisik dan verbal adalah aparat teknis pelaksana penggusuran paksa, yaitu oknum Satpol PP dan Polisi.
Tak hanya melakukan kekerasan, kehadiran aparat juga menghalangi warga untuk menyampaikan aspirasi mereka yang sesungguhnya.
Nuri Fauziati, korban penggusuran Banjir Kanal Timur yang kini menghuni Rumah Susun Cipinang Besar Selatan menyatakan hal tersebut. Nur adalah salah satu warga yang diwawancarai oleh LBH Jakarta.
“Ya kita
nerima-nerima aja, pasrah, gak ada demo-demo.Ya mau gimana kalau demo percuma aja buang-buang tenaga karena kan dia (TNI, Polri, Satpol PP) lebih banyak anggota daripada kita. Mau demo juga ya ujung-ujungnya digusur juga ke rusun” ujar Nuri.
 Ilustrasi aktivitas di rusun.( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menyatakan, penelitian lembaganya menunjukkan bahwa penggusuran paksa dan memindahkan warga ke rusun justru menurunkan kualitas hidup mereka.
Sebab, kata dia, hal itu memicu meningkatnya biaya untuk sewa tempat tinggal, biaya tagihan listrik, air, dan transportasi.
Hal positif dari penggusuran paksa hanya berupa meningkatnya perlindungan privasi, meningkatnya keamanan, kelayakan kamar mandi, kebersihan, dan kelayakan secara fisik.
"Namun itu tidak signifikan. Oleh sebab itu, berdasarkan hal-hal tersebut, Pemprov DKI sudah seharusnya menghentikan penggusuran paksa dan memindahkan korban ke rusun. Solusi alternatif harus dicari dan menghargai masukan dari warga," ujar Alghiffari.
(wis/asa)