Jakarta, CNN Indonesia -- Buruh perempuan di berbagai daerah di Indonesia masih mengalami diskriminasi di tempat kerja. Bentuk diskriminasi itu beragam, mulai dari kesenjangan hak kerja hingga pelecehan seksual.
Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) mencatat, pelecehan seksual banyak terjadi di pabrik garmen. Pasalnya 99 persen pekerja di pabrik garmen adalah perempuan.
Ketua FBLP Jumisih berkata, pelecahan tersebut terjadi karena situasi yang tidak setara antara buruh perempuan dengan pekerja laki-laki. Tak hanya dilakukan sesama rekan buruh laki-laki, pelecehan juga dilakukan mekanik dan supervisor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau buruh perempuan menolak, ancamannya diputus kontrak atau beban pekerjaan ditambah," ujar Jumisih di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Rabu (23/11).
Jumisih berkata, buruh perempuan yang umumnya berlatar belakang ekonomi rendah terpaksa menuruti niat jahat rekan kerja laki-laki mereka.
Perlakuan tak sopan seperti diraba-raba, diintip saat buang air kecil, dipaksa kencan, hingga diperkosa sampai hamil, kata Jumusih, merupakan hal yang biasa dialami buruh perempuan.
Tak jarang buruh perempuan ini juga menerima kekerasan fisik dengan dipukul, dilempar benda keras, dan digebrak meja tempatnya bekerja.
Jumisih menuturkan, para buruh kerap kesulitan mengadukan perlakuan tersebut. Mereka trauma dan menganggap hal itu sebagai aib sehingga tak berani melaporkan pada orang lain. Padahal, kata dia, perlindungan buruh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
"Kami harus secara persuasif menanyakan langsung pada buruh perempuan untuk mengetahui kasus ini. Mereka tidak akan mau cerita sendiri," katanya.
Selain sejumlah perlakuan yang tak menyenangkan, buruh perempuan juga kerap kesulitan mendapatkan cuti haid atau hamil dari tempat kerjanya. Jumisih menjelaskan, dalam pasal 81 UU Ketenagakerjaan telah diatur tentang ketentuan cuti haid bagi buruh perempuan.
Soal cuti hamil, kata dia, buruh perempuan semestinya mendapatkan jatah selama enam bulan. Jatah cuti ini dibagi setelah melahirkan dan satu bulan pertama saat mereka hamil.
Namun kenyataannya, para buruh perempuan rata-rata hanya diberi cuti hamil selama tiga bulan. Alih-alih memperoleh hak cuti, para buruh justru diminta untuk mengundurkan diri. Tak sedikit akhirnya buruh perempuan yang meninggal saat hamil karena kelelahan bekerja.
Kondisi ini yang membuat posisi buruh perempuan makin sulit di tempat kerja. Padahal, menurut Jumisih, buruh perempuan terpaksa bekerja lantaran suaminya tak mendapatkan upah yang cukup.
Rencananya, para buruh perempuan yang tergabung dalam Kelompok Kerja Buruh Perempuan ini akan melakukan aksi di kawasan industri Cakung, Jakarta, pada 25 November besok.
Aksi tersebut sekaligus sebagai peringatan hari perempuan internasional. Mereka akan memasang plang dan menyebar brosur bertuliskan 'Area Bebas Kekerasan' sebagai bentuk pembelaan terhadap buruh perempuan.
"Jadi jangan hanya penuntutan soal upah saja. Masalah pelecehan seksual pada buruh perempuan ini juga harus diangkat," ucapnya.
Diskriminasi Jurnalis
Tak hanya buruh perempuan yang bekerja di pabrik, diskriminasi nyatanya juga masih dialami para jurnalis perempuan. Bukan hanya di lapangan, perlakuan tak menyenangkan ini juga dialami di tempat kerja.
Aliansi Jurnalis Independen mencatat ada 19 kasus pelecehan seksual yang dialami jurnalis perempuan sepanjang tahun 2016. Perwakilan AJI, Nufus, mengatakan, salah satu kasus teranyar adalah seorang jurnalis perempuan magang di sebuah harian Jawa Timur, yang mengalami pelecehan seksual oleh redaktur senior.
"Sayangnya hal itu dianggap biasa," tuturnya
Kasus ini akhirnya dibawa ke pengadilan dan pelaku mendapatkan hukuman delapan bulan penjara. Ia berharap ada tindakan tegas dari pemerintah bagi pengusaha maupun pelaku lain yang melakukan pelanggaran pada pekerja perempuan.
(abm/yul)