Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara yang mendapat sorotan dalam kinerjanya sepanjang 2016. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi rapor merah yaitu penurunan jumlah putusan, waktu penanganan sengketa yang semakin lama, dan tingkat kehadiran hakim.
Lembaga peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) memberikan catatan mengenai tiga poin tersebut yang perlu diperbaiki oleh MK.
Adelina Syahda, peneliti dari Kode Inisiatif memaparkan MK pada 2015 mampu menuntaskan 72 persen beban perkara, sementara tahun 2016 MK hanya menyelesaikan 50 persen saja. "Artinya ada penurunan yang signifikan dari segi produktivitas putusannya," ujar Adelina dalam keterangannya mengenai catatan akhir tahun MK sepanjang 2016 dalam Pengujian UU, Selasa (27/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adelina menyatakan hal tersebut akan berpengaruh pada kepastian hukum dan dampaknya bagi masyarakat. "Karena pengujian ke MK merupakan satu-satunya cara bagi kita untuk mendapatkan kepastian dari norma-norma di dalam undang-undang tersebut terhadap Undang-Undang Dasar,” tambahnya.
Kode Inisiatif juga menggarisbawahi soal waktu pengujian undang-undang di tahun 2016 lebih lama dibanding rata-rata tahunan. "MK rata-rata dalam satu pengujian undang-undang itu memutus dalam waktu 6,5 bulan, tahun ini rata-rata 10 bulan," kata Ketua Kode Inisiatif, Veri Junaidi.
Tahun ini MK masih memiliki beban sebanyak 78 perkara yang harus diselesaikan di 2017. Belum lagi kemungkinan perkara terkait Pilkada. "Manajemen waktu penanganan perkara sudah diperhitungkan matang oleh MK," ujar Veri.
Adapun dalam hal kehadiran hakim konstitusional, hakim hadir lengkap (9 hakim) pada saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) daripada saat Pleno Putusan.
Adam Mulya, peneliti dari Kode Inisiatif menegaskan kehadiran hakim konstitusi sangatlah penting. "Hakim dapat memprioritaskan kehadiran untuk memutus maupun memeriksa serta mengadili putusan mengenai pengujian undang-undang di MK," ujarnya.
Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menuturkan absennya hakim konstitusi dalam persidangan diatur dalam undang-undang. Hakim konstitusi dapat absen sidang karena sakit fisik, sakit jiwa, dan meninggal. "Tiga hal itu yang memperbolehkan hakim konstitusi tidak menghadiri persidangan," tegasnya.
Dari catatan-catatan tersebut, Kode Inisiatif merekomendasikan beberapa hal, yakni perbaikan manajemen penanganan perkara, MK lebih responsif terhadap permohonan, dan perbaikan tingkat kehadiran hakim.
"Jangan sampai akibat putusannya yang terlambat, putusan yang tidak menjawab kebutuhan, tidak memberikan kepastian hukum menjadikan MK ditinggalkan lagi," kata Adelina.
Pertimbangan Memutus PerkaraMenanggapi kritik, Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, ada sejumlah pertimbangan oleh hakim konstitusi dalam memutus perkara. Di antaranya yakni soal jumlah perkara, bobot perkara, dan isu konstitusional terkait perkara yang ditangani.
"Untuk jumlah perkara tahun 2016 saya kira memang lebih banyak dari 2015. Jadi kalau kuantitas lebih banyak dan isunya lebih kompleks tentu tidak relevan untuk menyamakan penyelesaian waktu," ujar Fajar kepada CNNIndonesia.com, Rabu (28/12).
Fajar menjelaskan, dalam peraturan perundang-undangan tak diatur ketentuan soal lamanya penanganan perkara di MK. Batas waktu penanganan perkara hanya diatur dalam uji materi UU pemilihan kepala daerah (pilkada).
Jika waktu penanganan perkara di MK dibatasi, Fajar khawatir hal itu akan menghambat kualitas perkara. Sebab hakim konstitusi terpaksa memutuskan perkara untuk mengejar tenggat waktu. Namun jika tidak dibatasi, maka akan muncul beragam kritik publik.
"Tidak ada aturan yang membatasi MK untuk menyelesaikan perkara pengujian UU. Kami juga sama sekali tidak pernah memperlambat penyelesaian perkara. Pengennya pasti cepat selesai," katanya.
Sementara terkait absennya hakim konstitusi, Fajar menegaskan bahwa ketidakhadiran MK selalu disertai dengan alasan yang sah. Umumnya hakim konstitusi tak hadir dalam rapat pleno lantaran mesti mengikuti kegiatan kenegaraan.
Ia mencontohkan, Ketua MK Arief Hidayat beberapa kali tak bisa hadir dalam rapat pleno lantaran mesti menghadiri acara kenegaraan. Namun ketidakhadiran Ketua MK, menurutnya, dapat diwakili Wakil Ketua MK Arief Usman maupun hakim konstitusi lainnya.
"Sebagai Ketua MK Pak Arief tentu merepresentasikan lembaga MK. Jadi untuk menjaga hubungan baik Pak Arief harus hadir," terang Fajar.
Meski demikian, Fajar mengaku harus membaca secara lengkap data yang disajikan Kode Inisiatif. Ia juga mesti mengetahui metode pengumpulan data yang dilakukan Kode Inisiatif terkait laporan tersebut.
"Saya belum baca metode lengkapnya. Soal penyelesaian perkara itu harus dibaca persentasenya," tuturnya.
(obs)