KALEIDOSKOP 2016

Pusaran Perkara Ahok di Pilkada DKI Rasa Pilpres

CNN Indonesia
Sabtu, 31 Des 2016 13:30 WIB
Pilkada serentak gelombang kedua yang bakal digelar pada 15 Februari 2017, menjadi sorotan khusus dan menguras energi sedemikian besar.
Tiga pasangan cagub dan wagub DKI Jakarta 2017 memegang nomor urut pasangan di Kemayoran, Jakarta, Selasa, 25 Oktober 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Berbeda dengan pemilihan kepala daerah serentak gelombang pertama pada 2015, pilkada gelombang kedua yang bakal digelar pada 15 Februari 2017, menjadi sorotan khusus dan menguras energi sedemikian besar.

Publik dan elite politik memberi perhatian lebih karena di ajang pilkada tahun depan, DKI Jakarta —sebagai barometer politik nasional— ikut menghelat pesta demokrasi lima tahunan.

Selain DKI Jakarta, dalam pilkada yang akan diikuti oleh 101 daerah dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, itu sejumlah daerah juga mendapat perhatian khusus. Setidaknya Banten, Aceh, dan Papua, diakui oleh Ketua Badan Pengawas Pemilu Muhammad sebagai daerah yang berpotensi rawan konflik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun dari tiga daerah yang sangat rentan dari sisi penyelenggaraannya dan partisipasi pemilihnya itu, DKI Jakarta menjadi pusat perhatian nasional. Tokoh-tokoh politik besar seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono secara aktif ikut terjun langsung menentukan calon yang diusungnya untuk perebutan kursi gubernur dan wakil gubernur Jakarta.

Terbentuknya tiga poros dalam pilkada Jakarta ini serupa dengan terbangunnya koalisi-koalisi yang bertarung pada ajang pemilihan presiden 2014 lalu. Megawati, Prabowo, dan SBY juga berada pada poros-poros yang saling berlawanan.

Realitas politik dalam pilkada 2017 ini tidak terjadi pada penyelenggaraan pilkada serentak gelombang pertama pada 2015 lalu karena keikutsertaan Jakarta dalam mencari pemimpin baru.

Selain dirasakan oleh masyarakat, perbedaan atmosfir pada pilkada 2017 terkait ikutnya Jakarta dalam pilkada juga dirasakan oleh SBY. “Pilkada DKI rasa pilpres,” ujar SBY pada Rabu malam (21/9) menjelang pengumuman pasangan calon yang akan diusungnya.

Keriuhan pemilihan sekaligus pengumuman tiga pasangan calon mewarnai rangkaian tahapan pilkada. Segala sumber daya politik dikerahkan secara total untuk memenangkan pertarungan di Jakarta. Seluruh partai politik membentuk kekuatan dalam tiga gerbong koalisi.

Dalam perjalanannya, salah satu kandidat Gubernur DKI Jakarta yakni Basuki Tjahaja Purnama tersandung kasus hukum. Ahok, panggilan Basuki, terseret perkara dugaan penistaan agama. Kasus ini menjadi pemantik panasnya suhu politik Jakarta.

Aksi Massa Terbesar

Tingginya tensi politik di ibu kota diwarnai dengan digelarnya aksi massa besar-besaran yang puncaknya terjadi pada 2 Desember lalu. Jumlah massa yang ikut aksi menembus satu juta orang. Massa dari berbagai daerah datang ke Jakarta. Tak hanya di Jakarta, pada waktu yang bersamaan di sejumlah daerah juga menggelar aksi serupa.

Sebelum aksi massa besar-besaran itu digelar, tokoh-tokoh nasional baik dari kalangan partai maupun ormas, saling bertemu dalam upaya untuk mencegah aksi massa agar tidak menjadi anarki.

Presiden Joko Widodo pun ikut aktif turun tangan menggelar berbagai pertemuan, termasuk dengan Prabowo Subianto pada 17 Oktober yang digelar secara tertutup. Dalam pertemuan “istimewa” ini Jokowi mengaku banyak membicarakan bermacam persoalan bangsa dengan Prabowo.

Upaya mewujudkan agar aksi 2 Desember tidak berujung pada kerusuhan seperti pada 4 November menjadi kenyataan. Ratusan ribu orang secara tertib dan damai menggelar doa bersama yang diakhiri dengan salat Jumat berjemaah. Di tengah guyuran hujan deras, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla ikut membaur dengan massa untuk salat bersama.

Jumlah peserta yang luar biasa besar namun berhasil menggelar aksi secara damai, mendapat apresiasi dari seluruh pihak. Kapolri Jenderal Tito Karnavian ketika itu menuturkan aksi damai itu mirip seperti umat muslim yang sedang beribadah di Padang Arafah mengingat sangat besarnya jumlah massa.

Penangkapan Tokoh

Agenda-agenda politik terus digelar oleh berbagai elemen bangsa. Menjelang aksi besar-besaran yang dikenal dengan nama Aksi Bela Islam III alias #Aksi212 yang berpusat di lapangan Monas pada 2 Desember itu, sejumlah tokoh ditangkap.

Mereka yang diringkus berasal dari berbagai latar belakang, dari kalangan aktivis, selebritis hingga pensiunan militer. Di antaranya yaitu Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, Kivlan Zein, dan Ahmad Dhani. Mereka ada yang dijerat dengan pasal makar terkait pemufakatan jahat dan juga pelanggaran dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Sebulan sebelum aksi damai 212 digelar, aksi menuntut Ahok agar diproses hukum secara tuntas dinodai dengan kerusuhan. Aksi pada 4 November yang berbuntut pada kericuhan malam harinya itu membuat Presiden Jokowi menggelar rapat terbatas secara mendadak di Istana Merdeka.

Rapat terbatas dilakukan di tengah situasi sejumlah titik di Jakarta yang memanas usai kerusuhan pecah di depan Istana Negara antara massa demonstran dengan aparat keamanan sejak selepas Magrib.

Saat itu Jokowi terang-terangan menyatakan seluruh kekacauan yang terjadi di Jakarta sepanjang Jumat (4/11) hingga Sabtu dini hari (5/11) ini telah ditunggangi oleh aktor-aktor politik. “Kita lihat telah ditunggangi oleh aktor politik yang memanfaatkan situasi," kata Jokowi di Istana Negara, Sabtu dini hari (5/11).

Penanganan kasus Ahok secara hukum memasuki babak baru dengan ditetapkannya Ahok sebagai tersangka pada 16 November. Namun penetapan status tersangka pada Ahok tak lantas membuat situasi yang memanas menjadi sejuk.

Bergulirnya perkara Ahok ke meja hijau dengan sidang perdana yang dimulai pada 13 Desember tetap diwarnai aksi dari para penentang Ahok yang mendesak agar petahana gubernur Jakarta itu ditahan.

Pada 28 Desember, dalam agenda putusan sela majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang mengadili kasus Ahok memutuskan sidang dilanjutkan.

Kini, di pengujung 2016, proses hukum Ahok terus menggelinding di tengah makin mendekatnya hari pencoblosan pilkada serentak.

Tanpa ada kasus Ahok, gelaran pilkada Jakarta pun sudah riuh rendah. Adanya perkara dugaan penistaan agama memantik situasi dan kondisi panggung politik menjadi semakin memanas.

Fajar 2017 akan segera tiba. Gempita dan hiruk pikuk pilkada berbalut kasus Ahok yang mewarnai sepanjang 2016 ini bakal berlanjut di tahun depan. Bahkan, bisa jadi lebih riuh. Dari segi kualitas, selain diharapkan bisa berlangsung demokratis dan damai, satu hal lain yang jauh lebih penting yakni mampu melahirkan kepala daerah yang berkualitas.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER