Jakarta, CNN Indonesia -- Suharmi menutup rumahnya rapat-rapat di satu pagi, pertengahan Maret lalu. Dia mendengar deru mobil yang akan melintasi kampungnya.
Perempuan itu tinggal di Dusun Cawang Gumilir, Kecamatan Muara Lakitan, Musi Rawas, Sumatera Selatan. Iring-iringan kendaraan tersebut membuat keluarga Suharmi ketakutan.
“Diberitakan, segera meninggalkan kawasan ini,” teriak petugas dengan menggunakan pengeras suara. “Sebab ini, kawasan konservasi.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suharmi memahami teriakan itu.
Suara itu datang dari aparat kepolisian yang membantu PT Musi Hutan Persada (MHP), satu perusahaan bubur kertas yang dikendalikan Marubeni Corporation, Jepang. Mereka bersikeras menggusur para petani Cawang Gumilir dengan alasan konservasi hutan. Namun, lahan itu kelak dipakai PT MHP, untuk menanam ekaliptus—bahan baku untuk bubur kertas.
Petani Cawang Gumilir tahu kedatangan aparat adalah upaya penggusuran kedua kalinya setelah Juli 2015. Dusun itu memang berada di area transmigrasi sekaligus di dalam konsesi perusahaan. Cawang Gumilir adalah bagian pemekaran dari Desa Bumi Makmur sejak 2013, sedangkan desa itu sendiri berdiri sejak 1998.
Ketakutan keluarga Suharmi memuncak.
Alat berat mulai masuk, menggetarkan rumah kayu mereka. Buldoser menghancurkan kebun petani: singkong, cabai dan sawah masyarakat, termasuk milik Suharmi. Dia mengatakan uang panen yang sedianya membantu persalinan anak pertamanya yang hamil 7 bulan, pupus sudah.
“Kami kebingungan,” katanya. “Padi, jagung siap panen pun digusur.”
Alat berat datang secara bertahap.
Pada 17 Maret, misalnya, hanya ada sekitar tiga unit alat berat. Namun pada 20 Maret, perusahaan menambahnya hingga total mencapai 11 alat berat. Pada akhir Maret lalu, penggusuran mencapai puncaknya.
Rumah-rumah dihancurkan. Kayu-kayu dan seng berserakan. Ada petani yang sempat mendatangi puing-puing sisa rumahnya. Bantal merah pun tertinggal. Jerigen air di balik tumpukan kayu. Dalam satu video, warga menyatakan mereka tak tahu mau tidur ke mana malam itu.
“Mau tidur di mana kita ini?” kata Sutrisno, salah seorang petani. “Kami mau pulang tak ada tempat lagi.”
“Mau pindah di mana?” kata warga lainnya.
“Sudah mau hujan, rumah digusur,” kata anak Sutrisno yang beranjak remaja. “Sehari belum makan.”
 Para petani Cawang Gumilir memprotes operasi PT MHP dengan mendatangi KLHK, September lalu ( CNN Indonesia/Djonet Sugiarto) |
Dikuasai Marubeni CorporationPT MHP berdiri sejak 1990, awalnya merupakan perusahaan patungan PT Inhutani V (Persero) dan Barito Pacific Group dengan lahan seluas 296.400 hektare di Sumatera Selatan.
Namun, Marubeni membeli seluruh saham perusahaan itu pada 2015. PT MHP sendiri memiliki konsentrasi bisnis untuk menyuplai bahan baku bubur kertas dan kertas—dengan masing-masing penanaman akasia pada lahan seluas 28.426 hektare dan ekaliptus pada 127.351 hektare.
Marubeni adalah konglomerat bisnis yang berbasis di Kota Tokyo dengan lima sektor usaha utama. Ini terdiri dari produk hutan dan kimia; energi dan logam; pembangkit listrik; produk konsumen; serta transportasi. Perusahaan itu didirikan sejak Mei 1858 dan kini punya 132 cabang di 67 negara.
Protes Suharmi sampai pula di Jakarta.
Dia mendatangi halaman kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama dengan empat petani lainnya pada awal September lalu. Mereka melakukan aksi diam—menggunakan masker—dan mendesak kementerian menyelesaikan masalah di Dusun Cawang Gumilir. Ada poster protes yang dipampangkan. Spanduk pun dibentangkan.
Suharmi memakai kerudung dan berkulit sawo matang. Umurnya 40 tahun lebih. Pakaian yang dikenakannya terkesan sederhana. Aksi itu sempat diadang oleh satuan pengamanan KLHK. Kertas yang bertuliskan protes pun direbut. Namun, spanduk akhirnya tetap dipampangkan: Usir Marubeni.
“Kami dalam kondisi ketakutan,” kata Suharmi, mengingat saat penggusuran terjadi. “Alat berat bergerak dari hulu ke hilir.”
Aksi kekerasan itu bukanlah yang pertama kalinya di Cawang Gumilir.
Hairul Sobri, Manajer Basis Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan, pun mengalami kekerasan dalam bentuk berbeda. Peristiwa itu terjadi sekitar 8 bulan sebelum penggusuran kedua kalinya pada tahun ini.
Saat itu, Hairul baru saja sampai di Dusun Cawang Gumilir pada satu siang, 7 Juli 2015. Dia bersama dengan dua anggota tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Daru Andianto dan Yuli Prasetya Nugraha, berangkat sejak subuh dari Palembang. Aktivis Walhi lainnya, Muhammad Syarifuddin pun turut serta.
Dia melihat puluhan sekuriti perusahaan, aparat kepolisian dan polisi hutan berjaga-jaga. Mereka berencana menggusur sedikitnya empat hektare kebun petani di sana. Dua alat berat telah disiapkan.
Daru membuka percakapan dengan mengenalkan diri terlebih dahulu.
“Kami dari KLHK mendapatkan perintah pimpinan untuk melihat langsung di lokasi,” kata Daru.
“Terserah dari mana,” jawab seorang satuan keamanan perusahaan. “Tapi, penggusuran tetap dilakukan.”
Empat orang itu akhirnya menemui para petani. Warga pun meminta KLHK untuk menyetop upaya paksa itu. Hairul dan tim KLHK kembali ke lokasi penggusuran menjelang sore untuk melakukan mediasi dengan manajemen PT MHP. Sejumlah warga ada di belakang mereka.
Tiba-tiba, beberapa anggota satuan pengaman perusahaan mendekat.
“Provokator..provokator,” teriak beberapa dari mereka.
“Tangkap ini.”
Tangan Hairul dipegang paksa.
Daru diseret. Rambutnya dijambak. Kepalanya didorong.
Dia meminta satuan pengamanan memeriksa surat KLHK, namun diacuhkan. Daru akhirnya berhasil mengeluarkan surat itu di saku belakang celananya. Sikap petugas keamanan akhirnya berubah. Usai mengecek surat itu, keempatnya dapat bertemu manajemen PT MHP.
“Ada parang di pinggang pihak keamanan PT MHP,” kata Hairul. “Saya macam jadi sandera.”
“Pihak keamanan perusahaan menyeret kami,” kata Daru. “Disaksikan oleh petugas Dishut dan tentara.”
Namun, kedatangan tim tersebut tak sia-sia.
 Suasana kantor KLHK di Jakarta. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono) |
Surat Siti NurbayaTiga hari setelah kejadian, KLHK menerbitkan surat ke Gubernur Sumatera Selatan dan manajemen PT MHP. Menteri Siti Nurbaya meminta Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Musi Rawas untuk menghormati prinsip hak asasi manusia dalam konflik lingkungan di Cawang Gumilir.
Sedangkan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari I.B Putera Parthama meminta PT MHP tak melakukan tindakan kekerasan.
“Kami mohon bantuan Saudara Gubernur dan Saudara Bupati,” kata Siti, “Untuk menghentikan penggusuran PT MHP di Dusun Cawang Gumilir.”
“PT Musi Hutan Persada,” kata Parthama, “Agar tidak menempuh cara-cara represif dalam menyelesaikan konflik.”
Tetapi, instruksi itu diacuhkan hampir setahun kemudian. Penggusuran kembali terjadi pada 17 Maret 2016.
“Mereka bawa senjata, pakai mobil besar,” kata Yeti Triganti, salah seorang petani. “Semua datang paksa kami keluar. Hancurkan ladang kami juga.”
Para petani sempat tinggal seadanya di pos penampungan. Ada pula yang memilih di rumah kosong atau menumpang di rumah warga lainnya. Sedikitnya, 188 rumah dan area kebun masyarakat dihancurkan saat penggusuran.
Muhammad Aminullah, Manajer Umum Pengamanan Hutan dan Sosial PT MHP, menyebut penggusuran itu adalah upaya mengembalikan kawasan menjadi area konservasi.
Cawang Gumilir, katanya, merupakan kawasan yang dilalui kawanan gajah namun dirambah masyarakat pada 2011. Di sisi lain, Aminullah tak membantah penanaman ekaliptus pun dilakukan di antara tanaman hutan, macam meranti, di kawasan tersebut.
“Ini untuk menjaga kelembapan tanaman hutan,” kata dia. “Ini juga sebagai penanda bahwa kawasan itu dijaga.”
“Berapa batang ekaliptus ditanam di Cawang Gumilir?" tanya CNNIndonesia.com
“Selang-seling. Tiga lajur untuk tanaman hutan. Lima lajur untuk ekaliptus.”
Aminullah menuding sebagian besar petani Cawang Gumilir hanya pendatang, bukan penduduk asli. Upaya pengembalian menjadi area konservasi, kata dia, dilakukan berulang kali baik lisan dan tulisan.
Dia juga menegaskan keterlibatan aparat keamanan pun hanya untuk ‘mengamankan’ operasi tersebut. Tim Terpadu itu dipimpin oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas.
Ketika ditanya apakah perusahaan ikut mengeluarkan uang untuk aparat di lapangan, Aminullah mengiyakan namun enggan merinci nilainya.
“Hanya untuk makan dan minyak,” kata dia. “Ini sama seperti kami menjamu tamu.”
 Menteri LHK Siti Nurbaya sempat menerbitkan surat agar PT MHP menghormati hak warga lokal Cawang Gumilir. ( CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Risman Sudarisman, Kepala Bidang Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas, menegaskan operasi pengembalian fungsi konservasi itu adalah upaya penegakan hukum.
Dia mengatakan hal tersebut dilakukan agar masyarakat tak bisa semena-mena merambah hutan. Ini termasuk penggusuran pada 7 Juli 2015 dan 17 Maret 2016.
“Enggak terlalu represif sih,” kata Risman. “Harus ada
action di lapangan, bahwa mereka harus pindah.”
Dia juga tak mempersoalkan penanaman ekaliptus di kawasan konservasi selama tak menebang pohon. Risman menegaskan yang penting adalah penanaman kembali pepohonan alam di kawasan Cawang Gumilir.
“Sepanjang itu tak menebang, dan rindang kembali,” kata dia, “Itu tak bertentangan.”
Kawasan Penting MarubeniMungkin, masalah Cawang Gumilir memang tak sederhana. Tetapi yang pasti, kawasan itu menjadi bagian penting Marubeni di industri bubur kertas.
Marubeni diketahui terlibat dalam manajemen PT MHP sejak 2003. Grup bisnis itu akhirnya memiliki 60 persen saham perusahaan pada 2005—sebelum memilikinya secara penuh pada 2015. Kini, PT MHP lebih memfokuskan penanaman ekaliptus, dibandingkan dengan akasia akibat serangan hama.
Grup bisnis itu juga memiliki total saham PT Tanjungenim Lestari Pulp & Paper (TEL), satu produsen kertas, dengan kapasitas produksi 490.000 ton kertas per tahun. Kedua perusahaan itu diambil alih secara bertahap dari PT Barito Pacific Timber—milik taipan Prajogo Pangestu—pada 2005. Ketika dikuasai Prajogo Pangestu, kedua perusahaan itu dikenal dengan nama Musi Pulp Project.
Hutan memang bukan hal baru bagi Marubeni.
Perusahaan itu aktif dalam bisnis penghutanan kembali sejak akhir 1990 di sejumlah negara. Ini macam Australia, Brazil, China, Indonesia hingga Selandia Baru.
Luas lahan yang dikelola sempat mencapai 380.000 hektare, namun kini menyusut jadi 210.000 hektare. Secara keseluruhan, volume perdagangan bubur kertas mencapai 1,8 juta ton per tahun, sedangkan kapasitas produksi kertas, 1,9 juta ton per tahun.
“Kami mengerjakan bisnis bubur kertas yang ramah lingkungan dengan kayu hasil tanaman,” demikian Marubeni pada Laporan Tahunan 2010. “Tidak ada satu pun yang diambil dari hutan alam.”
Bubur kertas dan kertas, memang jadi andalan grup bisnis tersebut. Usaha itu tersebar dari divisi bisnis penghutanan kembali, bubur kertas dan kertas hingga perdagangan produk.
Tak hanya di Indonesia, namun ada 14 perusahaan hulu hingga hilir lainnya di sektor kertas, terbentang dari Amerika Serikat, Australia, Brazil, China, Jepang, Kanada serta Selandia Baru.
 (CNN Indonesia/Laudy Gracivia) |
Tetapi, harmoni mungkin saja belum sampai di Cawang Gumilir.
Hal inilah yang membuat 73 individu mengirimkan surat terbuka ke Presiden Joko Widodo pada April lalu. Mereka mengatakan penggusuran PT MHP justru menciderai janji Presiden yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran serta untuk kesejahteraan petani.
“Apa yang terjadi setelah penggusuran?” demikian surat terbuka tersebut. “Lahan bekas penggusuran ditanam dengan tanaman produksi ekaliptus.”
Surat itu mendesak Presiden agar negara hadir di tengah-tengah Cawang Gumilir. Memberikan perlindungan kepada petani, sekaligus menindak dugaan pelanggaran HAM oleh perusahaan. Selain itu, juga menerapkan sanksi pada aparat keamanan yang tak patuh pada KLHK untuk setop operasi tersebut.
“Penggusuran terhadap lahan pertanian dan rumah petani,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumatera Selatan, “Menunjukkan lemahnya wibawa negara di hadapan korporasi.”
Kucuran Miliaran DolarMasalahnya, perluasan bisnis Marubeni tak akan terhenti.
Hingga hari ini, grup bisnis itu justru mendapatkan kucuran miliaran dolar dari lembaga keuangan global—terutama asal Jepang. Pada awal September, riset bersama RAN, Transformasi untuk Keadilan Indonesia dan Profundo menemukan sedikitnya 20 lembaga keuangan ikut mendanai Marubeni, khusus di sektor bubur kertas dan kertas sepanjang 2010—2015.
Dana dalam bentuk utang dan penjaminan itu mencapai US$1,16 miliar—dengan sokongan terbesar dari Mizuho Financial Group yakni US$506 juta. Bank dari Jepang lainnya adalah Mitsubishi UFJ Financial (US$372 juta); dan Sumitomo Mitsui Financial (US$40 juta).
“Ketiga bank itu membiayai Marubeni, di mana anak usahanya terlibat dalam penggusuran dengan bantuan militer,” kata Tom Picken, Direktur Kampanye Hutan dan Pembiayaan RAN. “Ini untuk jalan tanaman bubur kertas.”
Namun miliaran dolar untuk Marubeni, bisa jadi, tak begitu dipusingkan Suharmi.
Ada masalah yang lebih nyata dihadapi perempuan itu beserta keluarganya belakangan ini. Mulai soal bagaimana bertahan hidup tanpa ladang hingga bekal makanan yang menipis. Yang Suharmi tahu, Marubeni—melalui PT MHP— turut menggusur rumah dan kebun para petani Cawang Gumilir. Di dusun itu, mereka kehilangan rumah, tanah—serta bukan tak mungkin, sebuah masa depan.
“Itulah harta kami satu-satunya,” kata Suharmi, pada September lalu. “Mau pulang, tapi pulang ke mana? Kami sekarang sudah tak punya apa-apa lagi.”
(yul)