Menteri Agama: Aturan Pencegahan Penodaan Agama Masih Relevan

CNN Indonesia
Selasa, 17 Jan 2017 14:03 WIB
Menteri Agama Lukman Hakim menyebut pencegahan penistaan agama sepatutnya tidak dilihat sebagai instrumen memidanakan masyarakat.
Menteri Agama Lukman Hakim menyebut pencegahan penistaan agama sepatutnya tidak dilihat sebagai instrumen memidanakan masyarakat. (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai aturan pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama masih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Ia mengeluarkan argumentasi itu menyusul dorongan sejumlah antropolog kepada Presiden Joko Widodo untuk mengkaji Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS 1965.

Lukman berkata, peraturan yang diteken presiden pertama Soekarno itu melarang setiap orang menodai agama apapun. Ia merujuk pernyataannya pada putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 atas uji materi beleid tersebut.

"Undang-undang itu lahir dengan prinsip pokok, agama tidak boleh dinistakan oleh siapapun juga. MK menyebut undang-undang itu masih sangat relevan untuk konteks keindonesiaan," ucapnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (17/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lukman menuturkan, penetapan presiden tersebut harus dilihat sebagai alat pencegah penodaan agama, bukan sebagai instrumen menghukum individu.

"Harus dimaknai, bahwa ajaran agama tidak boleh disimpangi dan mencegah menimbulkan kerawanan sosial," kata dia.
Senin kemarin, beberapa antropolog yang bertemu Jokowi. Mereka mengeluh Penetapan Presiden 1/PNPS 1965 tidak efektif melindungi aliran kepercayaan yang dianut kelompok masyarakat tertentu.

Sebaliknya, mereka menilai peraturan itu justru menjadi alat diskriminasi terhadap penganut aliran kepercayaan dengan dalih penistaan agama.

Antropolog Yando Zakaria mengatakan, penetapan presiden tentang pencegahan penodaan agama dan pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana harus dikaji ulang.

"Yang harus dilihat, penistaan itu multitafsir. Kalau sudah merusak, itu bukan penistaan tapi kriminal," ucapnya.

Tahun 2010, MK menyatakan Penetapan Presiden 1/PNPS 1965 tidak bertentangan dengan konstitusi. Majelis hakim sepakat, pencabutan aturan itu berpotensi menimbilkan anarki di tengah masyarakat.

Sementara pada 2013, MK juga menolak permohonan uji materi pasal 156 KUHP. MK menyebut ancaman pidana yang diatur pada pasal itu tidak dapat dipisahkan dari Penetapan Presiden 1/PNPS 1965 dan bersifat ultimum remidium.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER