Politikus Diusulkan Tak Boleh Jadi Hakim

Lalu Rahadian | CNN Indonesia
Sabtu, 28 Jan 2017 17:11 WIB
Belajar dari kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, RUU Jabatan Hakim akan mempertimbangkan aturan yang melarang politikus menjabat posisi hakim.
Patrialis Akbar usai diperiksa setelah tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1). (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penangkapan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi disebut akan mempengaruhi pembahasan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim yang saat ini tengah digodok Komisi Hukum DPR RI.

Akibat penangkapan itu, RUU Jabatan Hakim kemungkinan bakal mengatur soal latar belakang hakim, salah satunya dengan mempertimbangkan usulan untuk melarang politikus menjabat sebagai hakim. 

"Saya kurang setuju (politikus jadi hakim). Kalau politisi ya politisi saja. Kecuali, kalau politisi itu memiliki background hukum yang kuat, dia menulis, dia intelektual, dia membaca jurnal," kata anggota komisi hukum DPR RI dari Fraksi Golkar, Syaiful Bahri Ruray di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (28/1).
Syaiful mengatakan, usulan itu muncul karena dua hakim konstitusi yang pernah ditangkap KPK terkait kasus suap dan korupsi memiliki latar belakang politikus.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Patrialis diketahui pernah menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PAN. Ia juga sempat menjabat Menteri Hukum dan HAM di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Selain Patrialis, hakim konstitusi yang pernah tersangkut kasus hukum adalah Akil Mochtar. Sebelum menjadi hakim, Akil pernah menjabat Wakil Komisi Hukum DPR RI dari Fraksi Golkar.

"Hakim itu harus negarawan, betul-betul memahami hukum, intelektual sepanjang hidupnya. Kalau hakim tidak menguasai itu, akan memengaruhi kualitas keputusan dia," ujar Syaiful.
Pendapat berbeda diutarakan mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki. Menurutnya, masalah integritas hakim tidak tergantung pada latar belakang individu yang bertugas. Namun, hal tersebut dipengaruhi oleh mekanisme rekrutmen hakim yang dimiliki lembaga peradilan sendiri.

Alih-alih melarang politisi menjadi hakim, Suparman justru meminta MK memperbaiki mekanisme rekrutmen hakimnya saat ini. Ia berkata, peraturan teknis ihwal pemilihan hakim konstitusi harus diatur dalam UU MK.

"Saya tidak melihat ini problem partai, karena saya kenal banyak teman-teman partai juga punya kredibilitas," katanya.

Sumber masalah lain juga adalah proses rekrutmen hakim MK yang justru terdapat dalam Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang MK.

Suparman mengatakan dalam pasal 20 UU MK disebutkan bahwa mekanisme penentuan nama yang hendak diusulkan menjadi hakim konstitusi dikembalikan sepenuhnya kepada pemerintah, DPR, dan MA.
Karena mekanismenya dibebaskan, dikhawatirkan pengusulan nama calon hakim MK berjalan beda-beda di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

"Ini harusnya direvisi, harus diatur oleh UU. Kalau tidak ini kan selera-selera saja. Zaman Pak SBY dia menggunakan segala cara, awalnya bentuk tim seleksi kemudian berikutnya dia tunjuk saja tanpa tim seleksi. Pak Jokowi kemarin bentuk tim seleksi," tutur Suparman. (wis/asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER