MK Terima Sebagian Gugatan Hak Pilih Pengidap Gangguan Jiwa

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Kamis, 13 Okt 2016 23:35 WIB
Gangguan jiwa selama ini disamakan dengan gila atau hilang kesadaran. Padahal ada banyak jenis gangguan jiwa yang tak melulu berarti kehilangan kesadaran.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (kedua kanan) mengabulkan sebagian gugatan mengenai hak pilih pengidap gangguan jiwa. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi memutuskan menerima sebagian gugatan uji materi tentang syarat pemilih dalam Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) Nomor 8 Tahun 2015. Ketentuan yang digugat adalah pasal 57 ayat 3 huruf a yang menjelaskan tentang syarat pemilih bagi pengidap gangguan jiwa dalam pilkada.   

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat seperti dikutip dari web MK, Kamis (13/10).

Dalam pasal itu menyebutkan, 'untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; dan/atau ...'

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Arief menyatakan, ketentuan frasa 'tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya' dalam pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mengalami gangguan jiwa dan atau gangguan ingatan permanen.

Selama ini gangguan jiwa di masyarakat selalu dikaitkan dengan 'gila'. Padahal gangguan jiwa memiliki kategori luas yang disebut dengan stres, cemas, paranoid, latah, fobia, dan gangguan lainnya. Sedangkan ketentuan dalam pasal tersebut dinilai tidak menjelaskan secara terperinci apa yang dimaksud 'sedang terganggu jiwa/ingatannya'.

Selain itu, pasal 57 ayat 3 huruf a juga dianggap membuat negara tidak memperlakukan warga negaranya secara sama dalam setiap aktivitas penyelenggaraan negara.

"Adanya ketentuan dalam pasal tersebut dikhawatirkan menimbulkan stigma atau perlakuan tidak tepat pada orang dengan gangguan jiwa," kata Arief.

Pasal ini juga bertentangan dengan pasal 28 huruf D UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama, termasuk dalam hak pilih pada pilkada.

Sementara jika yang dimaksud oleh DPR dan pemerintah tentang gangguan jiwa dalah orang dengan psikosis atau gila yang memiliki ciri menggelandang, makan sembarangan, asosial, hingga tidak menyadari keberadaannya sendiri, maka tidak perlu diatur dalam ketentuan secara khusus.

"Orang dengan kondisi tersebut memang tidak memiliki keinginan untuk melakukan pemungutan suara," tuturnya.

Permohonan gugatan diajukan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA), dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). (wis/sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER