Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia dan kebebasan beragama, Setara Institute mencatat, peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan semakin sering terjadi di 2016.
Peneliti Setara Institute Halili menyatakan jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan mengalami peningkatan selama 2016, dari 196 pada 2015 menjadi 208 peristiwa.
Menurutnya, sebagian besar peristiwa terjadi di Jawa Barat, dengan catatan 41 peristiwa. Kemudian disusul oleh DKI Jakarta dengan 31 peristiwa, Jawa Timur 22 peristiwa, Jawa Tengah 14 perstiwa, dan Bangka Belitung 11 peristiwa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, ia melanjutkan, Setara Institute juga mencatat bahwa tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2016 juga mengalami peningkatan, dari angka 236 menjadi 270 tindakan.
"Terjadi peningkatan peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di 2016. Jumlah peristiwa dengan jumlah tindakan berbeda, karena dalam satu peristiwa bisa saja terjadi berbagai bentuk tindakan," kata Halili dalam konferensi pers di kantornya, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (29/1).
Ia menjelaskan, sebanyak 140 dari 270 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi selama 2016 menempatkan penyelenggara negara sebagai aktor. Kepolisian, menurutnya, merupakan penyelenggara negara yang paling sering menjadi aktor peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Disusul pemerintah daerah, institusi pendidikan negeri, Kementerian Agama, dan kejaksaan. "Sebanyak 123 adalah tindakan aktif dan 17 lainnya tindakan pembiaran," kata Halili.
Sementara itu, ia menambahkan, sebanyak 130 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan lainnya dilakukan oleh aktor dari berbagai kalangan, mulai dari individu hingga kelompok masyarakat.
Halili mengatakan, kelompok masyarakat yang paling sering melakukan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah Aliansi Umat Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Front Pembela Islam (FPI), dan perusahaan.
"Ada 42 tindakan yang dilakukan kelompok masyarakat. Semuanya masuk dalam kategori tindak pidana," katanya.
Lebih dari itu, Halili menyampaikan bahwa pengikut organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) merupakan kelompok yang paling sering menjadi korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di bawahnya mengikuti kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Syiah, umat Kristen, dan aliran kepercayaan lainnya.
Menurutnya, Pelanggaran yang dialami oleh kelompok tersebut didominasi tindakan intoleransi, penyesatan ajaran, pemaksaan keyakinan, pengusiran, ujaran kebencian, teror, penolakan atau penghentian secara paksa pembangunan rumah ibadat, pemerasan, hingga pelarangan kegiatan ilmiah.
"Gafatar menjadi korban dalam 36 peristiwa, Ahmadiyah 27 peristiwa, Syiah 23 peristiwa, umat Kristiani 20 peristiwa, dan aliran keagamaan lain 19 peristiwa," tutur Halili.
Permintaan untuk JokowiDi tempat yang sama Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos meminta Presiden Joko Widodo lebih memberikan perhatian bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi masyarakat, tak sekadar fokus pada masalah pembangunan infrastruktur dan ekonomi.
Menurutnya, ada tiga poin mendasar yang harus segera diimplementasikan Presiden Jokowi.
Pertama, merestorasi ide konstitusi tentang kebebasan beragama lewat perubahan, perbaikan, dan pembatalan peraturan perundang-undangan yang memunggungi konstitusi, seperti Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadat, serta Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Kedua, menyelesaikan persoalan pendirian rumah ibadat yang terbukti restriktif terhadap Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.
Ketiga, menghentikan kriminalisasi terhadap keyakinan dan segera membebaskan para tahanan yang dipenjara karena pandangan dan keyakinan yang berbeda dengan kelompok mayoritas.
Keempat, menghadirkan penegakan hukum untuk meminta pertanggunjawaban dan memulihkan seluruh hak korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
"Waktu tersisa pemerintahan Jokowi sangat cukup untuk mengambil kebijakan konkrit ini yang diturunkan dari visi dan misi Nawa Cita," tutur Bonar.
(gir)