ICW Desak KPK Usut Pidana Korporasi Kasus e-KTP

CNN Indonesia
Sabtu, 11 Mar 2017 15:51 WIB
KPK didesak tak segan menjerat pidana korporasi lantaran hal itu telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung yang terbit tahun 2016 lalu.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun mendesak penyidik KPK mengusut pihak korporasi yang diduga terlibat dalam proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Dalam surat dakwaan muncul sejumlah daftar nama perusahaan yang diduga turut menerima aliran dana.

"Kentara, jelas terlihat ada pidana korporasi dan uang-uang yang mengalir di situ. Jadi saya berharap ada sanksi yang diberikan pada korporasi," ujar Tama dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (11/3).

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum memang menyertakan sejumlah nama perusahaan yang diduga ikut mendapat aliran uang proyek pengadaan e-KTP. Perusahaan itu di antaranya PT LEN Industri, PT Sucofindo, Perum PNRI, dan PT Mega Lestari Unggul.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tama menilai, langkah lembaga anti rasuah untuk menjerat korporasi-korporasi tersebut dengan pidana korporasi mestinya tak lagi terkendala. Ia berkata, dalam konteks hukum formal ketentuan untuk menjerat pidana korporasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung yang telah diterbitkan pada akhir 2016.
Aturan tersebut, menurutnya, akan memudahkan KPK untuk menjerat pidana korporasi. Namun Tama menduga saat ini KPK masih memiliki sejumlah pertimbangan untuk tak gegabah dalam menjerat pidana korporasi. Salah satunya karena KPK masih fokus pada proses persidangan kedua terdakwa, Irman dan Sugiharto.

"KPK pasti akan menyasar pihak-pihak lain juga. Tapi ada sejumlah pertimbangan yang mungkin membuat KPK tak langsung menindak," katanya.

Sementara itu pengacara kedua terdakwa Waldus Situmorang meminta agar semua pihak bersabar menunggu fakta persidangan terkait kasus e-KTP. Ia menyebut, kliennya memang didakwa dengan pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang menyatakan tak hanya memperkaya diri sendiri namun juga orang lain dan korporasi.

"Kalau lihat dari dakwaan aliran dana yang disampaikan memang ada ke legislatif, eksekutif, dan korporasi. Ini yang nanti akan diuraikan masing-masing, apakah terbukti di persidangan," tutur Waldus.
Kedua kliennya, lanjut Waldus, telah mengajukan diri sebagai Justice Collaborator (JC) pada KPK. Jika JC diterima, Waldus menilai, hal itu akan memudahkan penyidik untuk membuka fakta lain. Termasuk dalam mengungkap pihak-pihak lain yang diduga turut menerima aliran dana.

"Dalam persidangan nanti jadi pembuktian nama-nama yang ada di dakwaan. Kita tunggu saja," ucapnya.

KPK sebelumnya menyatakan telah menerima uang senilai Rp250 miliar terkait kasus e-KTP. Uang yang dikembalikan berasal dari lima korporasi, satu konsorsium, dan 14 perseorangan termasuk dua terdakwa.
Sementara itu Direktur Utama PT Len Industri (Persero) Zakky Gamal Yasin mengklaim tak tahu menahu duduk persoalan kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik (e-KTP) yang menyeret nama bos Len Industri sebelumnya, yakni Wahyuddin Bagenda.

Zakky menduduki posisi puncak di perusahaan pelat merah tersebut sejak empat bulan lalu. Menurut dia, keputusan perusahaan saat menerima dan menjalankan proyek tak semata ditentukan di tangan direktur utama. 

"Semua proyek tentu harus melalui sejumlah prosedur yang berjenjang, seperti logistik, anggaran, dan lainnya. Kalau sampai sebuah proyek dijalankan, seharusnya memang karena sudah memenuhi semua prosedur," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (10/3).
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER