Tanjung Gusta, CNN Indonesia -- Keberadaan industri di wilayah adat diyakini mengancam hajat hidup masyarakat adat yang tersebar di Indonesia. Ekspansi industri di kawasan adat dianggap berdampak besar pada menyusutnya jumlah populasi masyarakat adat.
Ketua Umum Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Devi Anggraini mengatakan, salah satu industri yang paling mengancam kehidupan masyarakat adat adalah korporasi perkebunan sawit yang mengambil lahan adat.
"Ekosistem hutan adat rusak karena diubah menjadi perkebunan. Masyarakat kehilangan sumber kehidupannya," kata Anggraini kepada CNNIndonesia.com, Kamis (16/3) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perempuan adat, lanjut Devi, menjadi pihak yang paling dirugikan karena konversi lahan dan kerusakan ekosistem mengakibatkan hilangnya tumbuh-tumbuhan yang biasa digunakan sebagai obat oleh masyarakat adat.
Devi menyebut langkanya tanaman obat pada akhirnya mengancam kesehatan perempuan, terutama kesehatan reproduksinya, yang kemudian memicu tingginya angka kematian anak dan ibu melahirkan.
"Kami belum memiliki data yang pasti. Tetapi dari pengamatan di lapangan memang ada peningkatan kematian anak dan ibu melahirkan di masyarakat adat, terutama di daerah Papua yang hutan adatnya dikonversi jadi lahan industri," kata Devi.
Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan juga melihat gejala penyusutan atau depopulasi masyarakat adat. "Bahkan bisa disebut semacam 'genosida' terhadap masyarakat adat. Kami melihat ini terjadi di Papua dan wilayah adat yang dimasuki industri," ujarnya.
Abdon menjelaskan, masyarakat adat tersingkir dari lahannya akibat ekspansi industri. Upaya bertahan hidup juga semakin sulit karena industri merusak mutu lingkungan kawasan adat.
"Memang, mereka (masyarakat adat) ada kecenderungan berpindah ke kawasan lain yang hutannya masih bagus. Tapi kemudian kembali tersingkir karena korporasi lain masuk ke kawasan tersebut," kata Abdon.
Untuk mengatasi itu, Abdon meminta pemerintah melakukan sensus terhadap masyarakat adat. Sensus berguna untuk mengetahui jumlah masyarakat adat di Indonesia dan ancaman-ancaman yang membayangi hidup mereka.
Sementara Devi menuntut pemerintah untuk mengakui pengetahuan masyarakat adat sebagai cara untuk menekan laju depopulasi.
Pengakuan terhadap pengetahuan masyarakat adat terutama terkait dengan praktik pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat adat. Devi mengatakan, pengakuan itu bisa dimulai dengan mengakui keberadaan dukun beranak.
Pemerintah, menurut Devi, tak bisa hanya mengandalkan fasilitas kesehatan formal seperti puskemas yang jaraknya jauh dan susah dijangkau oleh permukiman masyarakat.
"Selama ini kan tidak (diakui). Kebijakan pemerintah mewajibkan dukun beranak didampingi oleh bidan. Kalau tidak didampingi mereka bisa dikriminalisasi. Ini kan melemahkan kepercayaan diri mereka," ujar Devi.