Jakarta, CNN Indonesia -- Warga RW 12 Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, menegaskan penolakan untuk meninggalkan hunian yang berdiri atas lahan yang diklaim sebagai milik PT Kereta Api Indonesia (Persero)/ PT KAI, bukan suatu sikap anti pembangunan.
"Kami tidak menolak penggusuran, tidak menolak pembangunan," tutur Sabramsyah (49), anggota Tim 9 sekaligus perwakilan warga, saat ditemui cnnindonesia.com, Sabtu (8/4).
Hanya saja, lanjut Sabramsyah, manajemen PT KAI dianggap warga tidak memiliki tata krama terhadap warga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sabramsyah mengungkapkan, sejak mengirimkan surat undangan sosialisasi penggunaan aset milik KAI di Jalan Dr Sahardjo, Manggarai melalui Surat Undangan Nomor KA.2013/III/3/DO.1-2017 tertanggal 6 Maret 2017, PT KAI tidak pernah mengirimkan manajemen untuk menjelaskan dan mensosialisasikan terhadap warga terkait penggusuran secara langsung.
Senior Manager Penjagaan Aset Daop 1 Jakarta KAI, Drajad Firmansyah Koesoemapoetra, hanya menurunkan bawahannya dengan didampingi petugas kepolisian.
Keputusan yang diambil perseroan juga sepihak. Warga menganggap tak ada itikad baik untuk mendengarkan keluhan 120 kepala keluarga yang terdampak.
"Kalau orang baik seharusnya datang,
kulonuwun untuk menjelaskan," ujarnya.
Bahkan, warga mengaku dipaksa petugas untuk menandatangani persetujuan untuk angkat kaki dari lahan. Namun, warga menolak untuk membubuhkan tanda tangan.
 Kawasan RW 12 Manggarai yang akan digusur PT KAI. (CNN Indonesia/Safyra Primadhyta) |
Tak hanya itu, warga menilai PT KAI juga tidak memberikan ganti rugi yang manusiawi. Menurut mereka, ganti rugi untuk setiap rumah hanya Rp250 ribu layaknya harga 'kandang ayam'.
"Kami bukan hewan, kami manusia," ujarnya.
Masalah pengganti rumah tinggal warga juga tidak dipikirkan oleh perseroan. Padahal, warga telah tinggal puluhan tahun di lahan tersebut.
Sabramsyah mengungkapkan sengketa lahan dengan PT KAI bukan kali pertama terjadi. Pada tahun 2006 lalu, PT KAI telah mengumumkan rencana pembangunan proyek
Double-Double Track (DDT) Manggarai-Cikarang.
"Waktu itu, mereka (PTKAI) memakai aturan yang ada, minta izin dulu, ada yang datang ukur, ada
kulonuwun,"ujarnya.
Bahkan, kata Sabramsyah, ganti rugi yang ditawarkan lebih besar yaitu di kisaran Rp1,4 juta hingga 1,8 juta per meter persegi.
Dalam perjalanannya, negosiasi tidak berlanjut akibat PT KAI dan warga tidak memiliki kesepakatan soal status kepemilikan lahan.
PT KAI mengklaim sebagai pemilik lahan berdasarkan sertifikat Hak Pakai Nomor 47 Manggarai Tahun 1988 atas nama PJKA. Sementara warga merasa hak kepemilikan ada di tangan warga karena warga telah lebih dulu tinggal di lahan tersebut sejak tahun 1950-an.
Masalah sama kembali mencuat saat PT KAI ingin membebaskan lahan demi proyek DDT Manggarai-Soekarno Hatta, tahun ini.
Tim kuasa hukum warga Manggarai sendiri, kemarin, telah melaporkan PT KAI kepada Ombundsman untuk melaporkan indikasi pelanggaran administrasi dalam proyek kereta api Bandar Udara Soekarno-Hatta, yang merupakan proyek strategis nasional.