Jakarta, CNN Indonesia -- Rapat Paripurna DPR hari ini, Kamis (27/4), salah satunya mengaggendakan pembacaan surat usulan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan sejumlah anggota Komisi III DPR untuk menyelidiki wakil rakyat yang diduga menekan Miryam S Haryani, tersangka kasus korupsi e-KTP.
Kepada
CNNIndonesia.com, pengamat hukum Alvon Kurnia Palma mengatakan, meski DPR memiliki hak mengajukan hak angket, namun langkah tersebut merupakan upaya DPR menggiring perkara hukum korupsi e-KTP ke ranah politik.
Karena, jika hanya sekadar ingin tahu tentang anggota DPR yang menekan Miryam, angket tak perlu dilakukan. "Cukup dengan Rapat Dengar Pendapat antara DPR atau pimpinan KPK dengan majelis kehormatan DPR," kata Alvon, Rabu (26/4).
Bila DPR memakai hak angket, kata Alvon, kasus korupsi yang merugikan negara Rp2,3 triliun itu bisa melebar pada hak-hak politik lainnya. Hal tersebut dapat berdampak pada intervensi proses hukum bahkan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya ini akan memakai mekanisme politik dan bukan hukum. Legislatif ingin membawa kasus e-KTP ini menjadi kasus politik dan bukan kasus hukum," tuturnya.
Miryam mengaku ditekan anggota DPR agar memberi kesaksian palsu saat diperiksa KPK. Pengakuan itu diungkapkan Miryam saat berada di Kantor Pengara Elza Syarief. Pengacara Elza Syarief, Farhat Abbas menyebut inisial dua orang anggota yang mengancam Miryam, yakni orang suruhan SN dan RA.
Menurut Alvon, wajar bila DPR secara kelembagaan ingin mengetahui orang yang mengancam dan mengintimidasi Miryam.
"Tapi di sisi lain, dakwaan KPK yang menyebutkan keterlibatan orang-orang penting penting lainnya baik di pemerintahan dan legislatif juga mesti dibuktikan sebab sudah menyebutkan nama-nama dan peranannya masing-masing," kata mantan Ketua YLBHI itu.
Hati-Hati
Hak Angket DPR diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1954. Dalam aturan itu disebutkan, sekurang-kurangnya 10 orang anggota DPR bisa menyampaikan usulan angket kepada Pimpinan DPR.
Melalui Hak Angket, DPR bisa melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Namun menurut pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, meski angket adalah hak DPR, tapi penggunaannya harus hati-hati. "Harus digunakan secara dewasa, jangan mentang-mentang punya hak terus seenaknya," kata Emrus kepada
CNNIndonesia.com.
Emrus menilai, dalam kasus Miryam dan e-KTP, sebaiknya DPR mengurungkan niatnya menggulirkan hak tersebut. "
Lebay dan tidak tepat bila hanya digunakan untuk kepentingan individu. Urungkan niat hak angket," katanya.
Berdasarkan catatan, DPR berulangkali menggunakan hak angket untuk menyelidiki suatu kasus. Namun tak jarang, rencana tersebut gagal.
Dua bulan lalu, DPR gencar menyuarakan Hak Angket terkait status Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang belum dinonaktifkan karena maju menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Tapi rencana hak angket itu batal karena ditolak mayoritas fraksi.
Pada 2015, DPR juga pernah menggertak pemerintah dan mengancam akan menggulirkan hak angket saat Komisaris Jenderal Budi Gunawan gagal dilantik sebagai Kapolri. Tapi rencana tersebut menguap begitu saja.