Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpendapat Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang diteken Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri tidak bermasalah.
Lembaga antirasuah itu hanya fokus mendalami indikasi penyimpangan tentang penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diterbitkan tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung, saat menjabat sebagai Kepala BPPN 2002-2004.
"Jadi yang kami dalami adalah di tataran implementasi," kata Febri di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (27/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Megawati Soekarnoputri menerbitkan Inpres Nomor 8 tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Dalam Inpres tersebut, Megawati memerintahkan tujuh pejabat terkait untuk mengambil langkah yang diperlukan bagi PKPS dalam kasus BLBI.
KPK menilai Inpres yang dikeluarkan Megawati pada 2002 itu memang mewajibkan BPPN untuk menerbitkan SKL kepada obligor, penerima BLBI, yang sudah melunasi kewajibannya.
Namun, kata Febri, dalam implementasinya, BPPN justru menerbitkan SKL kepada obligor yang belum melunasi hutangnya, salah satunya Sjamsul Nursalim, pemilik PT Gajah Tunggal Tbk.
Pemberian SKL tersebut dilakukan oleh BPPN kepada meraka yang menerima kucuran dana bantuan ketika krisis menerpa Indonesia 1997-1998. Selain Sjamsul Nursalim, penerima SKL adalah Bank Umum Nasional (BUN), Mohamad 'Bob' Hasan sebagai obligor; Bank Surya, Sudwikatmo sebagai obligor dan Bank RSI, Ibrahim Risjad sebagai obligor.
Kucuran dana BLBI yang diterima Sjamsul sebagai pemegang saham BDNI sebesar Rp27,4 triliun. Sjamsul kemudian membayar dengan aset-aset miliknya serta uang tunai hingga menyisakan utang sebesar Rp4,8 triliun.
Namun, Sjamsul hanya membayarkan sebesar Rp1,1 triliun, yang ditagih dari para petani tambak Dipasena, yang merupakan debitur BDNI. Sehingga masih ada Rp3,7 triliun yang harus ditagih BPPN ke BDNI. Meski belum lunas, Sjamsul tetap mendapat SKL.
"Kami menemukan indikasi ternyata ada obligor BLBI yang belum melunasi kewajibannya atau masih memiliki kewajiban namun sudah diberikan SKL," tutur Febri.
Febri memastikan, penyidik KPK akan terus bekerja mengungkap fakta-fakta yang terjadi pada rentang waktu 2002-2004, saat Megawati mengeluarkan Inpres dan diikuti penerbitan SKL oleh BPPN saat dipimpin Syafruddin.
"Kami berharap penanganan kasus ini bisa mengurai satu persatu fakta-fakta yang terjadi dalam rentang 2002 sampai dengan 2004," tutur Febri.
Untuk itu, kata Febri, penyidik KPK akan mulai memanggil saksi-saksi yang berkaitan dengan proses penerbitan SKL BLBI kepada BDNI, yang dilakukan Syafruddin.
Sebelumnya, mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri, Kwik Kian Gie sudah dimintai keterangannya.
KPK telah memanggil Artalyta Suryani, terpidana suap kepada mantan jaksa Urip Tri Gunawan dan mantan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Alam, Rizal Ramli, tapi, keduanya mangkir. "Direncanakan proses pemeriksaan saksi-saksi akan dimulai kembali minggu depan," tandas Febri.
KPK sejauh ini baru menetapkan Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka. Mantan kepala BPPN itu sudah dicegah berpergian ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas permintaan KPK untuk enam bulan.