Kemal Jufri: Saya Bukan Mesin Pembuat Foto

Patricia Diah Ayu | CNN Indonesia
Kamis, 04 Mei 2017 20:02 WIB
Dalam perjalanan kariernya Kemal Jufri membuat serangkaian keputusan penting. Salah satunya adalah ketika ia memilih untuk menjadi fotografer freelance.
Kemal Jufri mulai belajar fotografi di Galeri Foto Jurnalistik Antara berdiri. Ia mengikuti workshop foto jurnalistik di GFJA yang dimentori Yudhi Soerjoadmodjo.(CNN Indonesia/Andry Novelino)
Sebagai jurnalis foto, Kemal melalui jalan yang tak biasa dari fotografer kebanyakan. Ia lebih memilih kemerdekaan mengatur jam kerja sendiri sebagai freelance ketimbang harus bekerja di perusahaan media.
 
Ia tak mau jadi “mesin pembuat foto” yang dituntut menghasilkan karya, terlepas sedang ada peristiwa atau tidak.
 
“Kalau kerja di kantor berita, kita setiap hari dituntut untuk produksi foto. Kalau enggak ada peristiwa, ya tetap harus bikin foto feature. Awalnya sih enjoy dengan ritme kerja seperti itu dan juga bagus buat latihan, mendapatkan jam terbang, dan lainnya. Tapi lama-lama saya ingin lebih punya kebebasan dalam menentukan kapan bertugas dan kapan waktu pribadi di luar pekerjaan,” kata Kemal.
 
Bukan berarti pilihannya itu mudah. Ia harus menebus kemerdekaan mengatur jadwal sendiri dengan stabilitas keuangan yang sedikit lebih rapuh. Para pekerja freelance memang tak memiliki pendapatan yang datang setiap tanggal tertentu seperti halnya pekerja full time. Freelance harus lebih proaktif untuk mencari proyek dan dituntut menguasai berbagai keahlian, mulai dari membuka jejaring hingga pemasaran.
 
“Ada plus minus. Tapi setelah dibandingkan, the price of freedom tetap dari freelance, makanya tetap memilih itu. Tapi bukan berarti enggak ada tantangan dan stresnya. Tetap ada. Equal, cuma beda” ungkapnya.

Salah satu foto Kemal Jufri yang mendapat penghargaan. Foto ini menggambarkan kondisi pengungsi dan imigran dari Timur Tengah dan Asia Tengah di Pulau Lesbos, Yunani. Salah satu foto Kemal Jufri yang mendapat penghargaan. Foto ini menggambarkan kondisi pengungsi dan imigran dari Timur Tengah dan Asia Tengah di Pulau Lesbos, Yunani. (Foto: KEMAL JUFRI)
Anak dari Fikri Jufri, salah satu wartawan senior Indonesia ini, mengaku tak tahu pasti pilihannya berprofesi sebagai seorang jurnalis foto merupakan pengaruh sang ayah atau tidak. Namun ia meyakini, bakat yang ia miliki memang berasal dari sang ayah yang baru-baru ini ia ketahui ternyata juga kerap memotret dan menghasilkan karya-karya foto yang cemerlang saat masih aktif meliput untuk majalah Tempo dengan tujuan untuk dijadikan bahan referensi tulisan.

Kemal bercerita, sejak kecil dirinya kerap diajak sang ayah main ke kantor majalah Tempo. Salah satu lokasi favoritnya di Tempo adalah kamar gelap tempat foto-foto jurnalistik diproses. Namun Kemal mengaku tak pernah menjadikan fotografi sebagai hobi sejak masih belia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keinginannya untuk belajar foto jurnalistik muncul saat Galeri Foto Jurnalistik Antara berdiri. Ia mengikuti workshop foto jurnalistik di GFJA yang dimentori Yudhi Soerjoadmodjo.
 
Selain di GFJA, Kemal juga mendapat bimbingan informal dari fotografer legendaris Indonesia, Oscar Motuloh, sebelum kemudian magang di kantor berita Antara.
 
“Bahkan sebelum magang, saya diberikan kesempatan untuk bisa main-main ke Antara. Dia (Oscar) kasih saya film-film gulungan hitam putih dan disuruh memotret. Balik dari motret, saya cuci sendiri terus diulas. Dari situ dikasih tahu, sebaiknya seperti ini dan seperti itu, belajar sambil langsung nyemplung.”
 
“Setelah foto-foto saya dianggap sudah cukup bagus, saya mulai ditugaskan untuk meliput.  Tapi liputannya waktu itu masih ikut fotografer lain. Kalau ada foto saya yang bagus kemudian dipakai. Awalnya seperti itu sampai akhirnya magang resmi,” ujarnya.
 
Bagi  pria kelahiran 7 Juni 1974 ini, menjadi seorang jurnalis foto, tidak boleh hanya sekedar mengerti tentang teknik fotografi semata. Tetapi juga harus memiliki intelektualitas tinggi. Pada khitahnya, menurut Kemal, jurnalis foto tetaplah jurnalis yang harus memahami ilmu jurnalistik.
 
Selain itu, jurnalis foto juga dituntut untuk memiliki kepekaan, empati, dan simpati. Hal tersebut, menurut Kemal, akan berdampak pada kualitas foto yang diambil dan cara fotografer memperlakukan subjek.
 
Tak hanya itu, seorang jurnalis foto juga selalu dihadapkan pada dilema antara menolong korban atau menunaikan tugas sebagai fotografer. Menurut Kemal, dilema antara kemanusiaan dan profesi sebenarnya tidak hanya dihadapi jurnalis foto saja, tetapi juga oleh berbagai profesi lain.
 
Kemal berpendapat, sebagai manusia jurnalis foto tentu tergerak ikut menolong. Namun di satu sisi, mereka juga punya  tugas dan tanggung jawab untuk mengabadikan momen tersebut.
 
“Menurut saya kita lihat situasi, prinsip saya begini, tentu insting pertama ingin menolong. Tapi kita juga ada tugas, tugasnya untuk merekam. Itu juga enggak boleh dilupakan. Kalau bisa, dua-duanya lakukan, bisa nolong tetap bisa motret. Tapi jangan sampai lupa motretnya. Karena kalau akhirnya kita cuma nolong saja, berarti kita enggak profesional, enggak menjalankan tugas kita,” ujarnya.
 
Pria yang mendapatkan beasiswa program Multimedia Journalism dari Ateneo De Manila Univeristy ini menilai salah satu proses kreatif jurnalis foto adalah mengerti tentang story atau cerita foto yang akan dibuat. Kemal menyebut foto jurnalistik itu bukan sekadar foto indah, tapi harus bisa bercerita.
 
Namun, proses kreatif tersebut akan sangat berbeda jika peristiwa yang diliput adalah sebuah breaking news. Dalam situasi tersebut jurnalis foto tak ada kesempatan untuk melakukan perencanaan. Sehingga cara yang bisa dilakukan adalah dengan merespons yang dilihatnya pada saat melakukan peliputan.

Pria yang juga pernah mendapatkan penghargaan dari ajang National Press Photographer Association's Best Of Photojournalism (NPPA BOP) dan Prix De La Photographie Paris ini, melihat fotografi sebagai alat untuk menyampaikan pesan. Foto jurnalistik selain memberikan informasi menurutnya akan lebih bermakna apabila juga bisa menumbuhkan inspirasi serta aksi positif dari mereka yang melihat foto tersebut.
 
Kemal berharap jangan sampai para fotografer muda terjebak rutinitas, jika memilih bekerja full time di perusahaan media. Ia tak ingin mereka kehilangan proses kreatif yang kemudian bisa membunuh gairah dalam berkarya.
 
“Jangan sampai jadi wartawan foto hanya mengejar jenjang karier di kantor, atau berpatokan sudah sukses kalau bisa jadi redaktur. Kalau seperti itu, berarti bukan jurnalis foto tulen,” ucapnya.
Foto Kemal Jufri di penampungan orangutan di Kalimantan. Sejak 2016, orangutan menjadi salah satu spesies langka.  Foto Kemal Jufri di penampungan orangutan di Kalimantan. Sejak 2016, orangutan menjadi salah satu spesies langka. (KEMAL JUFRI)
 
Sementara bagi mereka yang memilih jadi freelance, Kemal berharap mereka punya mental kuat menghadapi ketidakstabilan finansial. Mereka juga harus bisa mengerjakan hal lain di luar foto jurnalistik atau bahkan di luar fotografi. Kemal menyebut kini semakin sulit bagi fotojurnalis freelance untuk hanya mengandalkan pendapatan dari kerja foto jurnalistik semata.
 
“Jangan sampai menyerah. Harus bisa mensiasati. Mengharapkan penghasilan hanya dari foto jurnalistik semata itu almost impossible saat ini. Akan sulit untuk bisa survive. Harus juga dikombinasi dengan mengerjakan proyek foto di luar foto jurnalistik, misal foto corporate, pernikahan, event, atau bahkan dengan memiliki pekerjaan lain di luar fotografi itu sendiri.”
 
“Harus ada penghasilan lain yang bisa menunjang supaya bisa tetap survive secara finansial sehingga karier foto jurnalistik bisa terus berjalan,” ujar Kemal.
 
Satu hal penting lain yang diingatkan Kemal adalah soal kesederhanaan.
 
“Foto jangan dibikin terlalu rumit. Semakin rumit, orang akan susah mencerna. Kadang fotografer berpikir untuk dapat foto bagus itu harus menggunakan angle yang aneh-aneh.
 
“Bagi saya, semakin lama foto saya sendiri jadi makin sederhana. Semakin simpel, semakin sederhana, maka semakin kuat. Jangan sampai orang enggak ngerti sama foto itu, akhirnya pesannya enggak sampai. Pesan foto harus lebih penting,” ucapnya.

------

Tulisan ini diterbitkan dalam rangka merayakan World Press Freedom Day 2017. CNN Indonesia menerbitkan hasil wawancara dengan lima jurnalis foto berpengalaman Indonesia.

(vws)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER