Jakarta, CNN Indonesia -- Etnis Tionghoa sejak dulu memang lebih dikenal sebagai seorang pengusaha atau pedagang. Pandangan tersebut bahkan masih melekat hingga saat ini.
Namun menurut sejarawan Didi Kwartanada awal mula kedatangan orang Tionghoa ke Indonesia bukanlah sebagai pedagang. Orang Tionghoa datang ke Indonesia sebagai perantau. Layaknya perantau, mereka merasa perlu memiliki cara untuk bisa bertahan hidup di daerah rantauan.
Kala itu, orang Tionghoa melihat orang-orang Indonesia yang mayoritas adalah seorang petani tidak bisa berdagang untuk menjual hasil pertaniannya. Belanda pun melihat hal tersebut. Hingga akhirnya Belanda memposisikan orang Tionghoa sebagai kelompok perantara.
"Orang Tionghoa diposisikan Belanda sebagai yang saya sebut minoritas perantara, di tengah-tengah penguasa dan kelas bawah, pribumi. Kelas menengah ini seperti dua sisi mata uang, di satu pihak bisa kaya karena berdagang dapat kemudahan dari Belanda dan juga memiliki akses ke pribumi. Tapi di lain pihak, pribumi tidak suka karena dianggap perpanjangan tangan kolonial Belanda," kata Didi kepada CNNIndonesia.com pekan ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Posisi orang Tionghoa yang berada sebagai perantara itu, lanjut Didi menjadikan mereka selalu menjadi kambing hitam jika terjadi masalah, mulai dari masalah ekonomi, politik, dan lainnya.
Didi mengatakan itu tak hanya terjadi di masa penjajahan Belanda, tetapi berlanjut di masa penjajahan Jepang dan bahkan sampai setelah Indonesia merdeka.
"Orang Tionghoa sebagai minoritas perantara selalu jadi kambing hitam, jaman kolonial, Jepang, revolusi, terkahir Mei 1998, karena gampang, paling kelihatan, yang paling mudah ya minoritas perantara itu," ujarnya.
 Pasca reformasi, sentimen anti-China sudah menurun. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono) |
Faktor itulah yang kemudian menyebabkan etnis Tionghoa juga menjadi korban dalam kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 silam.
Didi mengatakan, sebenarnya etnis Tionghoa tidak benar-benar dilarang untuk ikut berpolitik pada masa pemerintahan orde baru. Namun, orang-orang Tionghoa sendiri merasa takut untuk berpolitik karena adannya trauma di masa lalu, yaitu peristiwa tahun 1965 di mana etnis Tionghoa juga menjadi kambing hitam.
"Tahun 1965 Tionghoa juga dikambinghitamkan, BAPERKI (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan) dituduh antek-antek RRC sehingga ikut ditumpas, jadi ada trauma di situ," ucap Didi.
Meski begitu, pasca 1998 atau setelah reformasi, sentimen anti-China atau posisi orang Tionghoa sebagai kambing hitam sudah mulai menurun.
"Sentimen anti-China itu sudah menurun, namun sekarang (mulai muncul lagi), kemarin ada 411, 212 arahnya ke sana lagi (kerusuhan Mei 1998), paling gampang lewat sentimen ras," ucapnya.