Jakarta, CNN Indonesia -- Mungkin sebagian orang tak mengetahui siapa perancang lambang negara, Garuda Pancasila. Nama yang disebut-sebut adalah Sultan Hamid II.
Pria yang lahir pada 12 Juli 1913 itu awalnya merupakan seorang perwira tinggi berpangkat Mayor Jenderal di tentara KNIL.
Menurut sejarawan Rushdy Hoesein, Sultan Hamid II awalnya memang tidak pernah terlibat maupun ikut campur dalam urusan politik Indonesia. Sultan Hamid II baru terjun ke dunia politik setelah dirinya diangkat menjadi ketua BFO atau Badan Permusyawaratan Federal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai ketua BFO, Sultan Hamid II berjasa dalam melapangkan langkah Indonesia untuk merebut kemerdekaan dalam Konferensi Meja Bundar.
"Dalam Konferensi Meja Bundar itu, Sultan Hamid II sebagai ketua dari BFO dan Muhammad Hatta sebagai ketua perwakilan Indonesia. Sultan Hamid II ikut melapangkan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia," ujar Rushdy kepada CNNIndonesia.com, Senin (28/5).
Mulai dari situ, kata Rushdy, banyak orang-orang BFO yang kemudian bergabung dengan Republik Indonesia Serikat.
Namun, peristiwa Kudeta Westerling yang terjadi tahun 1950, membuat nama Sultan Hamid II sebagai seorang perancang lambang negara menjadi seakan dilupakan. Karena akibat peristiwa tersebut, Sultan Hamid II dianggap sebagai seorang pengkhianat.
Pemberontakan WesterlingSultan Hamid II dianggap ikut terlibat dalam rencana makar yang dilakukan oleh Westerling. Rushdy menyebut sebelum peristiwa tersebut, Sultan Hamid II memang bertemu dengan Westerling, karena keduanya merupakan bekas tentara KNIL.
Namun, dalam sidang, kata Rushdy, disebut seolah-olah pertemuan antara Sultan Hamid II dengan Westerling adalah berdiskusi untuk melakukan makar dengan menyerbu sidang kabinet di Pejambon.
"Mengingat Sultan Hamid II berambisi menjadi menteri pertahanan kenapa yang diangkat justru Sultan Hamengkubuwono IX," ujar Rushdy.
Rushdy mengatakan akibat peristiwa tersebut, Sultan Hamid II dijatuhi vonis 10 tahun penjara oleh Mahkamah Agung, sehingga Sultan Hamid II harus mendekam di dalam penjara.
Rushdy berpendapat, seharusnya persoalan tentang Sultan Hamid II yang dianggap sebagai pengkhianat harus segera diselesaikan. Apalagi, jasa-jasa Sultan Hamid II cukup besar bagi Indonesia.
"Sangat tragis saya pikir, lupakanlah kalau dia masih menyanggah enggak bersalah. Sedangkan jasa besar dia dalam perundingan KMB dan lainnya. Jadi sejarah ini linear, enggak putus-putus, enggak untuk kepentingan satu orang. Kalau dia diangkat sebagai pahlawan nasional, selesai," ucapnya.