FPI Dukung Polisi Tindak Pelaku Persekusi

CNN Indonesia
Minggu, 04 Jun 2017 11:40 WIB
Ketua Bantuan Hukum FPI Sugito Atmo Pawiro menyebut bila ada simpatisan FPI yang menyikapi secara berlebihan, mereka mendukung aparat penegak hukum bertindak.
Ilustrasi simpatisan FPI. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Organisasi massa Front Pembela Islam (FPI) kembali mendapat sorotan setelah diduga melakukan persekusi. Perempuan bernama Fiera Lovita di Solok di Sumatera Barat dan laki-laki berinisial PMA di Cipinang Muara, Jakarta Timur, menjadi korban persekusi lantaran membicarakan Imam Besar FPI Rizieq Shihab terkait dugaan kasus percakapan konten pornografi di media sosial.

Polisi bergerak cepat menanggapi kasus persekusi tersebut. Dua orang berinisial AM (22) dan M (57) berhasil ditangkap serta ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian atas dugaaan kasus persekusi di Cipinang Muara.

"AM perannya memukul dengan tangan kiri dan mengenai pipi kanan sebanyak tiga kali. M memukul sebanyak satu kali dengan menggunakan tangan kanan dan mengenai bagian kanan kepala korban," kata Argo di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat, Jumat (2/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Ketua Bantuan Hukum FPI Sugito Atmo Pawiro membantah bahwa tindakan persekusi dilakukan oleh anggotanya. Kejadian di Cipinang Muara, Jakarta Timur, dilakukan oleh simpatisan FPI dan warga sekitar. Oleh karena itu, PMA di bawa ke balai Rukun Warga (RW), bukan markas FPI.

Sugito mengaku memang ada prosedur standard di FPI bagi mereka yang menghina ulama. Ucapan meraka di media sosial yang menghina akan difoto, dicari alamatnya, dan akan dilaporkan ke polisi bila sudah diketahui identitas. Bukan tindakan persekusi seperti yang ramai diperbincangkan.

"Kalau pengurus aktif sudah tahu semua, standard mengenai masalah bagaimana memperlakukan mereka yang menghina ulama. Dia akan dikejar untuk mengetahui alamatnya, kemudian akan dilaporkan," kata Sugito kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (3/6) malam.

Prosedur itu sudah berjalan, ia mengklaim FPI telah melaporkan sejumlah orang ke Polisi lantaran menghina ulama. Salah satunya adalah Philip Jong, orang pertama yang menyebarkan video fitnah berbau pornografi tersebut.


Namun laporan itu tidak diproses oleh kepolisian sehingga pada akhirnya ada simpatisan yang melakukan tindakan sendiri.

"Menjadi masalah karena simpatisan tidak tahu batasan dan koordinasi di internal FPI. Bila orang di luar FPI karena kecintaan ulama melakukan tindakan di luar batas, kalau minta tolong, kita akan bantu. Kita simpati pada mereka yang membela ulama walau tindakan mereka salah," kata Sugito.

Sugito tidak mempermasalahkan pelaku persekusi yang sudah ditangkap dan ditetapkan tersangka oleh polisi. Ia mengatakan bahwa tindakan yang ada dalam video tersebut tidak benar.

Ia menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh simpatisan FPI merupakan bentuk balas dendam lantaran Rizieq berstatus tersangka atas dugaan kasus percakapan konten pornografi. Siapa pun yang menghina ulama pasti akan disikapi oleh FPI.


Namun bila ada yang menyikapi secara berlebihan, Sugito mendukung aparat penegak hukum bertindak.

Di sisi lain, Psikolog Universitas Indonesia Hamdi Muluk menilai apa yang dilakukan oleh polisi, dengan menangkap pelaku, sudah tepat. Ia berharap tersangka mendapat hukuman yang tegas agar jera.
Meskipun demikian, menurut Hamdi, hukuman dari aparat penegak hukum tidak cukup bagi pelaku persekusi. Hukuman sosial dari masyarakat juga harus ada agar pelaku persekusi benar-benar jera.

"Kita bisa mengutuk ramai-ramai kalau ada kegiatan itu. Masyarakat jangan diam saja, (pelaku persekusi) diberi hukum tegas agar jera," kata Hamdi.

Pasalnya, kata Hamdi, dalam tindakan persekusi ada sejumlah hal yang ia nilai tidak benar. Selain bentuk intorelansi, dalam persekusi terkandung tindak kekerasan dan main hakim sendiri. Tindakan itu mencederai demokrasi Indonesia.

"Demokrasi mengharamkan penyelesaian masalah dengan cara kekerasan. Dengan itu jelas, walau Anda dicaci, tidak boleh mengambil main hakim sendiri, apa lagi dengan ancaman dan intimidasi," kata Hamdi kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (3/6) malam.

Dari segi psikologis, Hamdi memandang seorang atau sekelompok bisa melakukan tindakan persekusi karena hidup dengan budaya kekerasan dan budaya premanisme. Tindakan persekusi yang salah akan mereka anggap benar karena sudah biasa hidup dalam kekerasan.


Menurut dia, akan lebih baik bila organisasi yang memperbolehkan persekusi diberi sanksi dengan cara pembubaran. Jika tidak, ia menilai kejadian tersebut akan terus terjadi.

"Tidak ada alasan organisai keagamaan yang membenarkan kekerasan. Kalau ada kekerasan, berarti mereka bukan organisasi agama. Mereka memanipulasi agama saja," kata Hamdi.

Mau tak mau tindakan itu akan berdampak kepada masyarakat secara cepat. Beredarnya video persekusi di media sosial pun akan memupuk rasa takut pada masyarakat di Indonesia. Apa lagi dalam video tersebut terlihat ada sejumlah orang yang melakukan kekerasan pada korban.

Hamdi menjelaskan masyarakat seakan serba salah menghadapi orang yang mereka anggap tidak beradab. Jika diikuti, pelaku persekusi akan semana-mena, jika dilawan pelaku persekusi tak segan berbuat nekat.

Sampai saat ini, Jaringan relawan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara, Safenet mencatat sebanyak 59 orang telah menjadi korban target persekusi atau 'pemburuan' intimidatif pasca bergulirnya kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER