Persekusi Diibaratkan Pembunuhan Dukun Santet Era Digital

CNN Indonesia
Minggu, 04 Jun 2017 19:45 WIB
Ketua YLBHI Asfinawati menilai fenomena persekusi ibarat kejadian pembunuhan massal kepada orang yang dicurigai sebagai dukun santet di Banyuwangi tahun 1998.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Yayasan Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mengatakan fenomena persekusi yang terjadi belakangan ini tak ubahnya dengan kejadian pembunuhan massal kepada orang yang dicurigai sebagai dukun santet di Banyuwangi tahun 1998.

Menurut Asfi, panggilan akrabnya, tujuan pelaku persekusi adalah berusaha memprovokasi massa untuk membenarkan tindakan mereka.

"Tapi tidak penting mereka dukun santet atau tidak. Yang (jadi sorotan) penting itu persekusinya dan kemudian ada operasi atas nama dukun santet," kata Asvi dalam sebuah diskusi di Resto Tjikini 5, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (4/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Asfi mengatakan persekusi pada dasarnya tidak bertujuan untuk menciptakan konflik horizontal tapi dikondisikan sedemikian rupa untuk membenarkan tindakan pelaku persekusi.
Sementara untuk fenomena persekusi yang terjadi belakangan ini, kata Asfi, pola yang dibuat pelaku adalah berusaha menentukan target tertentu, terutama dari golongan etnis dan agama yang berbeda dengan dalih membela ulama atau agama.

"Jadi jangan anggap ini dibuat semacam ada konflik horizontal. Jangan-jangan ini yang dimaui sehingga mendorong untuk saling mempersekusi," ujarnya.

Asfi menambahkan, pelaku sejak awal tidak membidik orang yang dinilai menodakan agama dimana korban didapat secara acak di media sosial. Menurut Asvi pelaku juga dengan sengaja menggiring opini dengan cara memprovokasi massa seolah-seolah seseorang itu memang benar melakukan penodaan agama.

"Dan tidak perlu apakah dia melakukan atau tidak. Karena ada (postingan Facebook) yang dalam bentuk kritik dan analisis kemudian diframing seperti itu (melakukan penodaan agama atau menghina ulama)," ujarnya.
Persekusi mengemuka sejak kejadian dokter Fiera Lovita di Kota Solok, Sumatera Barat beberapa waktu lalu. Dokter yang mengabdi di RSUD Kota Solok ini mendapat perlakuan intimidasi dari Front Pembela Islam gara-gara statusnya mengomentari proses hukum Rizieq Shihab dalam kasus dugaan pornografi.

Kemudian, atas desakan FPI dan diketahui oleh Polresta Kota Solok, Fiera pun dituntut meminta maaf. Karena tak kuat mendapat tekanan, ia pun memilih keluar dari Kota Solok dan hingga saat ini memilih menetap di Jakarta.

Oleh karena tak dianggap tegas menyikapi masalah itu, Kapolres Solok Ajun Komisaris Besar Susmelawati Rosya dari jabatannya.
Tak hanya Fiera di Kota Solok, kasus persekusi juga menimpa PMA di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Bocah berusia 15 tahun itu dipaksa simpatisan FPI untuk mengakui perbuatannya. Dia dituding menghina Rizieq gara-gara postingannya di Facebook.

Pada Jumat (2/6) lalu, Polda Metro Jaya pun menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus persekusi yang menimpa PMA itu. Mereka berinisial AM (22) dan M (57).

Terhitung sejak Januari-Mei 2017, dalam catatan jaringan relawan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara, Safenet,  sebanyak 59 orang telah menjadi korban target persekusi atau 'pemburuan' intimidatif pasca bergulirnya kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Gelombang presekusi yang dikenal 'The Ahok Effect' itu muncul terutama setelah Ahok dipidana. Sejak itu pula Safenet mencatat kenaikan drastis pelaporan yang merujuk Pasal 28 ayat 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER