Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menyebutkan ada 36 orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tanpa alat bukti yang cukup.
Pakar hukum dari Universitas Padjadjaran tersebut menyatakan informasi tersebut ia dapatkan setelah berkomunikasi dengan Mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki pada 2015 silam.
Romli mengatakan informasi 36 orang jadi tersangka tanpa bukti cukup itu didapat setelah evaluasi internal di KPK. Kala itu, pada 2015 silam, Ruki yang merupakan Ketua KPK jilid I turun gunung ditunjuk menjadi pelaksana tugas (Plt) setelah Abraham Samad hengkang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemberian informasi itu, kata dia, disaksikan empat mantan Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji, Zulkarnain, Warih Sadono, dan Adnan Pandu Praja.
“Ruki menyampaikan kepada saya, setelah kami (KPK) gelar ada 36 tersangka bukti permulaannya tidak cukup,” ujar Romli dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus Angket DPR atas KPk di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/7).
Romli mengatakan informasi tersebut terbilang mengejutkan. Pasalnya, KPK dengan kemampuan khusus seharusnya bertindak profesional dalam menetapkan tersangka.
“Kalau 36 [jadi tersangka tanpa bukti cukup] tidak mengerti saya. Level Polsek [kepolisian sektor] saja tidak mungkin begini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Romli mengaku, tidak mengetahui status terkini atas 36 orang tersebut. Menurutnya, Pansus Angket sebaiknya memanggil Ruki serta empat wakilnya kala itu untuk bersaksi atas dugaan malasah tersebut.
Ia pun berharap, Ruki tidak munafik dan membeberkan segala fakta yang tentang kinerja KPK yang diketahuinya selama menjabat.
“Saya tidak mengetahui nasib 36 orang itu. Segera Pansus Angket Panggil Ruki untuk bersaksi,” ujarnya.
Ruki sendiri pada akhir pekan lalu bersama sejumlah mantan pimpinan KPK jilid 1 dan 2 mendatangi markas pemberantasan korupsi. Di sana mereka pun memberikan dukungan dan mengkritik keberadaan dan tindakan pansus angket KPK, termasuk beraudiensi dengan narapidana korupsi.
Koordinasi dan Supervisi KPKRomli juga mengkritik KPK yang dinilainya tidak berhasil melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi dalam memberantas tindak pidana korupsi. Ia menilai KPK lebih mengutamakan penindakan dalam mengurangi korupsi di Indonesia.
“Dalam kinerjanya, pengamatan saya KPK tidak bisa menjalankan koordinasi dan supervisi, maupun pencegahan. Bahasa saya gagal,” ujar pria yang juga menjadi salah satu perumus UU 31/1999 tentang pemberantasan tipikor dan UU 30/2002 tentang KPK.
Romli mengatakan, KPK dibentuk untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan seluruh aparat hukum. Tugas tersebut diatur secara jelas dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b UU 30/2002.
Kedua tugas itu juga terkait dengan fungsi KPK dalam melakukan pencegahan tipikor yang melibatkan aparatur negara. Fungsi itu juga merupakan adaptasi atas dihapuskannya Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggaran Negara (KPKPN) pada tahun 2004.